Filo bangkit berdiri tanpa luka sedikitpun karena Jifan sama sekali tak menyerangnya. Dipikir berulang kali dia merasa makin jengkel, Jifan meremehkannya. Itu karena bocah itu seolah mengatakan, "aku menang tanpa harus melukaimu".
Dengan langkah mengentak dia berlalu keluar lapangan meninggalkan kesunyian tegang dan melewati rajanya begitu saja. Dia tidak peduli pada ayahnya atau bahkan kakaknya yang bediri di sebelah gelanggang. Juan lantas berbalik meninggalkan area lapangan latihan diikuti Yuan yang juga sudah tidak ada kepentingan di sana.
Juan pergi ke kediaman bungsunya untuk mengecek keadaan putra kesayangannya. Sampai di sana seorang tabib keluar dan membungkuk takzim. Juan menghentikan langkahnya, "bagaimana keadaannya?" tanya Juan penasaran apakah putranya mengalami luka serius atau tidak.
"Maaf Yang Mulia, pengeran Jifan tidak menghendaki kami memeriksanya," ujarnya masih menunduk. Juan mengembuskan napasnya mendengar itu.
"Ayo masuk!" ajaknya dan berjalan masuk diikuti sang tabib. Melihat kamar berantakan yang entah mengapa tidak dibereskan oleh pelayan pribadi Jifan. Ruangan pribadi itu tertutup rapat. Juan mendekat membuat sang tabib bergerak cepat mengetuk pintu terlebih dulu. Tidak ada sahutan dari dalam, seolah ruangan itu tanpa penghuni.
"Keluar Jifan!" titahnya dengan suara berat. Tidak lama si empu ruangan keluar masih dengan penampilan yang kacau. Darah kering di wajahnya sudah bersih, mungkin ia bersihkan di dalam. Melihat betapa buruk keadaan Jifan membuat JuanĀ khawatir. Dia melirik sang tabib, "periksa keadaannya!" titahnya.
Sang tabib bergerak mendekat meminta si bungsu kerajaan duduk di dipannya yang dalam keadaan berantakan. Namun, Jifan tak kunjung bergerak dari ambang pintu ruangannya. Dia tampak tidak ingin diobati bahkan tidak ingin bertemu siapapun sekarang.
"Pergilah, aku ingin sendiri!" ujarnya mengusir. Entah di depannya seorang raja atau ayahnya dia sudah tidak lagi peduli. Dia membungkuk sekilas dan kembali menutup pintu ruangannya.
"Pergilah lebih dulu, panggil pelayan Jifan kepadaku," titah Juan dan diangguki sang tabib. Dia membungkuk takzim dan keluar kamar Jifan. Meminta seorang pelayan masuk ke dalam kamar menghadap sang raja yang masih berdiri di depan pintu ruangan Jifan. Juan berbalik menatap pelayan putranya, "bereskan kamar ini segera atau aku hukum kalian!" Raja yang biasanya tenang itu tampak murka melihat kinerja para pelayan yang bertugas melayani putra bungsunya. Para pelayan bergegas membereskan kamar tuannya dengan gerakan cepat namun teratur karena diawasi sang raja.
Begitu kamar selesai dibereskan Juan memerintah mereka keluar ruangan. Menutup pintu kamar dan membiarkannya berdua bersama putra bungsunya yang tampak mengurung diri. Dia duduk di dipan Jifan dan tersenyum.
"Jifan masih marah?" tanya Juan tak mendapat balasan. Putranya sudah jelas masih marah kepadanya, mungkin ditambah kejadian tadi saat dia memanggilnya dengan nama lengkap. Dia pasti terluka dengan ucapan tegas itu. Memanggil nama lengkap selalu menjadi tanda bahwa ia tengah menyebutnya sebagai seorang raja kepada rakyatnya. Jifan pasti terluka karena hal tersebut, "keluarlah saat kamu sudah merasa baik," pesan Juan yang entah didengar atau tidak oleh Jifan. Juan beranjak pergi keluar kamar putranya. Memerintahkan pelayan untuk segera membawa tabib begitu tuan mereka keluar ruangan pribadinya. Dia juga minta seseorang memanggilnya begitu Jifan keluar dari ruangan tersebut.
Sementara di dalam Jifan merebahkan kepalanya pada meja. Membiarkan hatinya tenang. Ayahnya keterlaluan sampai menyebut nama lengkapnya di depan saudaranya, seolah menegaskan bahwa sosok itu membela Filo. Padahal dia yang terluka dan hampir terbunuh. Menyebalkan.
Jifan sudah menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak keluar dari ruangan ini. Sampai ayahnya meminta maaf padanya tentang hal tadi. Biarkan dia bersikap badung, karena hatinya terluka sekarang. Seumur hidupnya dia tidak pernah diperlakukan sekasar itu oleh ayahnya, bahkan dia sudah melapangkan dada untuk tidak melukai kakaknya. Dia hanya menahan kakaknya tanpa memukul sedikitpun. Kebaikannya rupanya hanya sebagai angin lalu untuk ayahnya.
Perlahan matanya mulai tertutup, remaja itu mulai terbuai mimpi. Membiarkan ruang pribadinya berantakan tanpa berniat membenahi. Dia kelelahan karena pertandingan itu. Belum juga rasa remuk di tubuhnya yang membuatnya enggan bergerak apalagi menata ruangannya.
*
Begitu Jifan bangun, suasana di kamarnya menyambutnya. Entah siapa yang memindahkannya ke ranjang ini Jifan masih belum tahu. Tetapi, orang itu jelas lancang dengan masuk ke ruang pribadinya. Dia bangkit duduk dengan kepala pusing. Pandangannya mengabur sesaat. Namun, dia paksakan untuk berdiri dan melangkah menuju ruangannya.
Ruangan itu sudah bersih dan rapi. Seseorang sangat lancang masuk ke ruangannya. Dia menggeram kesal karena ruang pribadinya diterobos masuk seperti pagi ini. Ah, benar ini sudah malam. Dia baru sadar dengan hal itu. Perutnya yang sejak pagi tak terisi apapun sudah mengeluh ingin mencicipi makanan.
Karena egonya yang tinggi, Jifan memilih masuk ke ruang tersebut. Mengabaikan suara berisik perutnya dan kerongkongannya yang terasa sangat kering. Dia tengah menyiksa diri sendiri. Seperti saat keputusasaan melanda dan tak ada yang bisa diperbuat, maka menyiksa diri adalah jalan keluar yang dipilih.
Jifan duduk di kursinya. Meja bacanya sudah dibereskan dan tidak ada buku. Hanya ada lilin dan seperangkat alat tulis. Dia pandai menulis kaligrafi, belajar seorang diri membuatnya merasa begitu pandai. Didukung pendapat ayahnya yang mengatakan tulisan Jifan begitu indah dan mudah dibaca. Anak itu besar kepala saat itu, sekarang biasa saja.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan di pintu membuat Jifan mendongak. Dia enggan membuka pintu tersebut, bahkan kalau itu adalah ayahnya dia tidak akan membukanya sebelum sang ayah meminta maaf. Dia diam saja saat ketukan kembali terdengar.
"Buka pintunya!"
Itu suara si sulung. Jifan makin enggan membuka pintu. Dia tak punya muka untuk menghadapi kakaknya yang super menyebalkan itu. Bahkan si sulung dengan tega membiarkan ayahnya memanggilnya seperti pagi tadi. Dia sakit hati.
"Buka pintum ..."
"Untuk apa?" potong Jifan keras. Dia tidak sopan memotong pembicaraan kakaknya tetapi, tidak ada hal yang membuatnya bisa membiarkan kakaknya terus mengetuk pintu di luar sana. Dia tidak mau terus diganggu tetapi, enggan keluar.
"Keluar dan berbicara. Kamu mau dihukum karena bersikap lancang?" tanya Yuan. Dia masih ada di depan pintu. Dia menggedor tak sabaran pintu ruangan adiknya. Emosinya terpancing karena bocah itu tak kunjung membuka pintu.
"Untuk apa? Aku bisa menghukum diriku sendiri. Kamu hanya perlu tinggalkan aku sendiri dengan begitu aku mati tanpa mengotori tanganmu, tuan Ho Yuan," sahut Jifan.
"Apa maksudmu?" tanya Yuan. Adiknya gila atau apa sampai berpikir tentang mati. Tangannya sudah tak menggedor lagi dan siap mendengar adiknya. Pikiran remaja itu mungkin terganggu karena mendapat pukulan beruntun dari Filo.
"Kalian ingin aku mati kan? Jadi, cukup biarkan aku diam di dalam sini. Bersenang-senanglah dengan harta ayah, aku tidak akan mengambil sedikitpun dari itu. Tinggalkan aku sendiri!" seru Jifan. Bocah itu terdengar menyedihkan sekarang. Yuan diam saja apalagi kedatangan ayahnya diumumkan dan pintu kamar Jifan terbuka.