Pagi ini orang di istana begitu sibuk dengan persiapan upacara penyambutan beberapa tamu penting dari negeri lain. Para pelayan membersihkan halaman istana yang nantinya akan dijadikan sebagai tempat penyambutan, para pengawal juga melakukan persiapan menjaga ketat area istana karena semua bisa saja terjadi, termasuk sebuah kemungkinan buruk yang membahayakan warga kerajaan. Beberapa orang gadis berlatih keras untuk menjadi penari dalam upacara penyambutan. Mereka akan berdandan dan menarikan tarian khas dari Dabarath diiringi musik yang mengalun merdu.
Yuan selaku putra sulung ikut sibuk dengan semua persiapan di istana. Dia tidak ingin mempermalukan ayahnya dan membuat negeri lain menjelekkan negeri tempat tinggalnya. Jadi, sejak kemarin dia sudah sangat sibuk mengawasi persiapan yang nanti malam menjadi puncaknya. Dia pergi berkeliling dan menegaskan pada para pengawalnya untuk siaga di tempat masing-masing kapan pun itu.
Filo juga ikut turun tangan membantu para pelayan membuat kerajinan tangan sebagai hiasan. Ada lampion, alas duduk, bahkan karpet panjang untuk alas jalan para tamu. Filo juga memandu koki istana untuk membuat hidangan istimewa yang tentunya sangat berkelas. Dia harus bisa memikat ayahnya agar mau menjadikannya pemimpin di masa depan. Atau setidaknya ada pangeran dari negeri lain yang nantinya jatuh cinta akan pesonanya.
Tak jauh dari keramaian, Jifan duduk di dalam ruang bacanya. Seorang diri menghabiskan hari dengan setumpuk buku yang baru kemarin ia dapatkan. Tidak peduli pada kerusuhan di luar kediamannya, dia hanya ingin ketenangan. Lagipula acara ini tidak akan melibatkannya sedikit pun. Ayah akan melarangnya keluar kamar satu langkah pun.
Meskipun pria paruh baya itu mengatakan padanya akan memperkenalkan dirinya kepada negeri lain tapi Jifan yakin itu semua hanya bualan semata. Mana mau ayahnya memperkenalkan dirinya dalam waktu dekat ini. Sudah pasti pemimpin Dabarath itu lebih memilih menyembunyikannya dari tatapan pemimpin negeri lain. Dia seperti berlian. Sangat berharga melebihi perhiasan apapun di dunia ini. Dia tahu itu.
"Yang Mulia Raja datang!"
Seruan dari luar kamar membuat Jifan mengembuskan napasnya. Ayahnya datang di waktu yang tepat. Ya, tepat saat dia memikirkan ayah kandungnya.
"Kamu tidak bosan membaca buku?" tanya Juan saat masuk ke dalam kamar putra bungsunya dan melihat Jifan baru saja keluar dari ruang baca. Jifan menggeleng tampak sama sekali tidak ada wajah bosan untuk menghabiskan hari di ruang bacanya tersebut.
"Membaca buku sudah seperti makan untukku. Jadi, apa yang membawa ayah kemari?" tanya Jifan dengan sopan. Juan tersenyum lantas mengelus puncak kepala putranya. Senang karena jawaban yang dilontarkan Jifan. Baru ia temui orang yang menganggap membaca sebagai kebutuhan, bukan kewajiban.
"Ayah hanya bosan mengurus semua yang ada di istana. Ingin mengunjungi putra tampan ayah yang terus mengurung diri di kamar," jawab Juan jenaka. Jifan tersenyum mendengar gurauan ayahnya.
"Ayah sendiri yang ingin aku duduk manis tiap saat di dalam kamar. Lagipula kak Yuan akan menjahiliku kalau aku keluar kamar, itu menyebalkan," ungkap Jifan. Juan terkekeh melihat wajah cemberut bungsunya.
"Keluarlah kalau mau, begitu Yuan menjahilimu adukan kepada ayah. Ayah bisa menegurnya," usul Juan tidak tega melihat bungsunya jadi bulan-bulanan para saudaranya.
Setelahnya Juan merangkul putranya keluar kamar. Menunjukkan betapa ramai keadaan di luar kamar Jifan. Jifan mendongak menatap lampion yang digantung berjejer membentuk are berjalan. Sangat indah. Matanya terus menatap kegiatan orang-orang di sekitarnya dengan antusias. Beberapa pelayan terkejut melihat wajah asing yang identitasnya sudah tidak menjadi rahasia lagi. Mereka hanya terkejut melihat betapa penampilan Jifan sangat berbeda dari para saudaranya bahkan para penduduk Dabarath.
Namun, tidak ada yang berani bersuara mengungkapkan semua komentar itu. Menatap mata si bungsu saja sudah sangat sulit dilakukan apalagi mengomentari penampilannya. Yang bisa mereka lakukan hanya saling lirik dan memandangi Jifan dalam diam.
Filo yang pertama menyadari kehadiran Jifan berdecak tidak suka. Kerja kerasnya pagi ini tidak berbuah apapun saat melihat ayahnya lebih tertarik pada tatapan takjub seorang Jifan. Menyebalkan.
"Bukankah dia seperti monster?" gumam Filo membuat para pelayan yang sedari tadi melirik Jifan tersentak kaget mendengar suara Filo. Mereka dengan gugup mengangguk menyetujui komentar Filo yang mewakili isi kepala mereka. Filo tersenyum culas mendapat respon anggukan tersebut. Jifan memang monster.
"Ayah," panggil Filo dan melangkah mendekati ayahnya dengan anggun. Menundukkan kepalanya saat tiba di hadapan sang ayah. Dia tersenyum manis menatap ayahnya yang menatapnya juga dengan senyuman. Senyuman Juan memang terus muncul saat bersama Jifan. Membuat Filo semakin benci makhluk bernama Jifan.
"Kamu yang membuat lampion-lampion ini?" tanya Juan melihat darimana arah Filo datang. Itu tempat para pelayan melakukan kerajinan tangan.
"Benar ayah, hanya sedikit yang bisa aku kerjakan. Selebihnya tangan terampil para pelayan," jawab Filo dengan suara lirih yang anggun.
Jifan tidak tertarik dengan obrolan semacam ini, dia lebih tertarik pada lampion yang diletakkan di atas sungai. Sungai tersebut sepertinya dihentikan alirannya sehingga lampion bisa mengambang dengan tenang di atas air. Itu menarik.
"Tanganmu memang cantik, Filo. Ajari Anne membuat kerajinan tangan juga. Ayah yakin kalau kamu yang melatihnya dia juga akan pandai sepertimu," usul Juan melihat Anne hanya sibuk menyomoti makanan untuk suguhan tamu istimewanya. Dia tersenyum lebar melihat Anne melambaikan tangan kepadanya dengan mulut yang sibuk mengunyah kesemek kering. Sungguh putrinya satu itu suka sekali dengan makanan.
"Sepertinya tangannya hanya berbakat untuk menyentuh makanan," ejek Filo yang ditanggapi Juan dengan kekehan. Si sarkas Filo memang mengerikan saat membuka mulut. Ucapannya bisa lebih menakutkan dari seorang algojo. Tapi, begitulah ciri khas putri pertamanya.
"Kamu bisa istirahat Filo, biarkan para pelayan yang menyelesaikan itu semua," titah Juan dan diangguki oleh Filo. Dia juga lelah ingin istirahat dan meregangkan tubuhnya yang mulai terasa kaku. Mungkin karena terlalu lama duduk diam berkutik dengan lampion sehingga membuat ototnya tegang.
"Baik, Ayah. Aku permisi dulu," pamitnya dan melangkah pergi diiringi pelayan pribadinya.
Jifan menatap kepergian Filo dengan senang. Setidaknya kakaknya satu itu tidak akan berkutik saat di hadapan ayah. Jadi, dia tidak perlu berurusan dengan mulut pedas Filo. Sayangnya saat dia memalingkan wajah yang ia dapati adalah tatapan dari Yuan. Sial sekali.
"Ayah," sapa Yuan dengan sopan. Dia baru melihat kehadiran ayahnya saat pengawal memberitahukan kehadiran tuan mereka. Ditambah kehadiran Jifan yang jarang dilihat membuat para pengawal membicarakan adik kecilnya itu meski dengan suara riuh rendah.
"Oh bagaimana persiapannya, Yuan?" tanya Juan melihat putra sulungnya sudah berdiri di hadapannya.
"Sejauh ini berjalan dengan lancar, semoga bisa terlaksana dengan baik," jawab Yuan dengan senyuman menawannya. Jifan hampir berdecak melihat satu saudaranya lagi tengah cari muka di hadapan sang ayah.
"Saat acara berlangsung, kamu bisa duduk di dekat Jifan?" tanya Juan yang segera direspon dengan tatapan tidak mengerti kedua putra laki-lakinya.
"Maksud ayah, aku tidak menemui para petinggi?" tanya Yuan memastikan. Pasalnya Jifan tidak akan ikut dalam pertemuan itu dan sudah bisa dipastikan remaja 16 tahun itu hanya akan duduk di dalam kamar atau ruang bacanya.
"Tidak, Jifan akan ikut dalam pertemuan. Jadi, temani dia selama pertemuan. Kendalikan juga Filo agar tidak mengacaukan pertemuan itu."
"Ayah ..."