Suasana lengang sesaat. Baik Jifan maupun Yuan sama-sama tidak membuka mulut. Yuan sibuk dengan pikirannya sendiri tentang ucapan adiknya, sementara Jifan yang sedari awal tidak menyambut kakaknya itu kembali merebahkan kepalanya di atas meja. Menahan rasa lapar yang begitu menyiksanya. Baru kali ini dia merasakan perasaan sekacau ini. Itu semua karena ucapan ayahnya.
"Pergilah, aku ingin sendiri," ujar Jifan akhirnya kembali membuka suara. Dia hanya tidak mau membuat orang lain berdiri di depan pintu ruangannya apalagi itu adalah Yuan.
"Ayo makan malam bersama!"
Ajakan itu membuat Jifan mengembuskan napasnya. Dia lapar tentu saja tertarik. Tapi, selama ia hidup, dia tidak pernah makan bersama para saudaranya yang lain. Mereka selalu memiliki kesibukan dan dia juga tidak pernah peduli pada mereka. Bahkan Anna sekalipun tidak pernah makan malam dengannya.
Yuan di depan pintu menunggu respon adiknya. Ini pertama kalinya dia menawarkan makan malam bersama dengan si bungsu. Rasanya cukup canggung dan tidak sesuai karakternya. Tapi, akan jadi masalah besar kalau Jifan tak kunjung keluar ruangan tersebut. Ayahnya akan begitu terpukul dan menyalahkan semua orang yang ada di lapangan bertanding itu, termasuk dia.
"Ini perintah Jifan!"
Tegasnya agar membuat remaja di dalam sana mau keluar dan menemuinya. Mendapat informasi dari para pelayan, Jifan belum makan sejak pagi ini. Diam-diam dia khawatir melupakan fakta bahwa remaja itu selalu ia jahili. Rupanya ucapannya itu manjur untuk Jifan. Buktinya remaja dengan hanfu kecokelatan itu melangkah keluar ruangannya.
Dia menggiring adiknya duduk di tengah ruangan menunggu makanan selesai dibuat. Yuan hanya menatap menelisik pada wajah dan tubuh adiknya. Melihat ada banyak sekali luka memar di area wajah, tubuh kecil itu juga tampak kelelahan.
"Kenapa tidak melawannya? Kemampuanmu sungguh payah," ujar Yuan memulai pembicaraan. Jifan yang mendengar itu hanya memutar bola matanya enggan menanggapi. Ucapan melecehkan Yuan benar-benar terasa sudah biasa untuknya.
Makanan datang tak lama setelah keheningan itu tercipta. Yuan mengambil sumpitnya dan mulai menyumpit nasi di mangkuknya. Jifan tampak mengembuskan napasnya dan mengambil sumpitnya. Menyuap makanan di depannya dengan wajah enggan. Padahal beberapa menit lalu perutnya begitu tersiksa menahan lapar. Sekarang malah perutnya terasa penuh dan tidak nafsu makan.
Yuan yang menyadari adiknya tampak tak menikmati makan malamnya segera menghentikan makannya. Ditatapnya mangkuk berisi nasi yang di angkat Jifan. Tampak masih penuh dan hanya berkurang sedikit. Melihat remaja itu menyumpit nasi yang jumlahnya bisa dihitung oleh jari tangan membuat Yuan meletakkan mangkuknya. Suara mangkuk emas yang mengetuk meja kayu dengan keras membuat Jifan mendongak. Menatap si empu pembuat suara berisik dengan tatapan tidak suka.
"Kamu sepertinya tidak tahu aturan meja makan," ujar Jifan dengan culas dan kembali melanjutkan acara makan malamnya yang terganggu.
"Hei, sepertinya kamu yang tidak memahami ilmu bersyukur. Makan hasil bumi dengan wajah tertekuk lesu seperti itu. Bukankah itu sama saja dengan tidak bersyukur?" sahut Yuan dengan nada remehnya seperti biasa. Jifan hampir berdecak kalau saja dia tidak ingat siapa laki-laki di depannya ini.
"Bersyukur atau tidak, hanya diri sendiri yang tahu," jawab Jifan menahan diri untuk tidak berbuat tidak sopan di depan kakaknya. Meskipun ingin dia tidak bisa melakukan itu semua. Rasanya lebih mudah mengabaikan papanya dari pada mengabaikan kakaknya. Itu karena dari awal dia tidak pernah dengan para kakaknya. Rasanya akan sangat canggung kalau berbuat sembrono di depan mereka.
"Kamu marah karena dipukuli Filo?" tanya Yuan akhirnya menanyakan alasan sang adik sampai mengunci diri di ruangannya. Jifan tampak menatapnya sekilas lantas kembali sibuk mengaduk-aduk isi mangkuknya tampak sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan dari Yuan. Yuan meneguk air minum di cangkir emasnya, lantas meminta pelayan menyingkirkan makan malam merek.
"Apa yang kau lakukan?" geram Jifan tampak tidak suka dengan cara kakaknya mengakhiri sesi makan malam. Makanan mereka belum habis dan pemuda itu baru saja meremehkannya tentang rasa syukur. Seperti menelan ludah sendiri. Benar-benar tidak konsisten.
"Percuma itu ada di depanmu, kamu tidak berniat memakannya kan?" tebak Yuan membuat Jifan melengos tanpa sadar. Yuan menaikkan sebelah alisnya, "kamu baru saja memalingkan wajah dariku?" tanya Yuan tidak suka. Adiknya satu ini memang sulit ia kontrol dengan jabatannya. Terlalu sering dimanja sampai lupa tata krama.
"Pergi dari sini, tujuanmu sudah tercapai kan?" ujar Jifan dan pergi berdiri. Dia melangkah tertatih masuk ke dalam ruangannya meninggalkan Yuan yang menatapnya sendu.
Filo keterlaluan kali ini. Bukan dia buta apalagi tidak perasa. Dia tahu jelas perasaan Jifan hanya tidak mampu mengurangi rasa sedih pada hati adiknya itu. Dia terlalu mementingkan imagenya sampai mengabaikan jika saja dia berusaha lebih baik mendekati Jifan, pasti remaja itu mau lebih baik meresponnya.
"Yang Mulai datang!"
Seruan dari luar pintu membuat Yuan segera bangkit berdiri dan menyambut ayahnya. Menundukkan kepalanya saat pria paruh baya yang tak lagi bertubuh kekar itu masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dan membuat Yuan diam-diam berpikir untuk segera melarikan diri dari kamar ini.
"Bagaimana keadaan Jifan?" tanya Juan pada putra sulungnya yang lebih dulu berada di kamar. Dia mendapat kabar siuman Jifan, hanya saja dia terpaksa menunda untuk datang ke tempat si bungsu untuk mengurus pekerjaannya di ruang kerjanya.
"Dia hanya makan sedikit, baru saja masuk ke dalam ruang pribadinya," jawab Yuan dengan takzim. Juan mengangguk mendengar jawaban itu. Setidaknya putranya mau makan dan bertemu saudaranya. Meskipun dia merasa iri karena bukan dia yang menemani Jifan makan melainkan putra sulungnya.
"Bisakah kamu keluar? Ada yang ingin ayah bicarakan dengan Jifan," ujar Juan kepada Yuan. Yuan segera berpamitan dan keluar dengan begitu sopan. Bagaimanapun dia tahu lelaki di depannya seorang raja di tempat dia berpijak. Bahkan sekalipun dia adalah putra raja.
Sepeninggalan Yuan, Juan mendekat pada pintu setinggi 3 meter di kamar Jifan. Mengetuknya tiga kali dan memanggil lembut putra kecilnya. Tidak ada sahutan dari dalam. Berkat itu, Juan jadi tahu kalau putranya tengah marah kepadanya. Buktinya dia mau menemui sang kakak bahkan makan malam bersama dengannya, sedangkan sekarang? Saat dia datang Jifan malah kembali mengurung di ruangannya.
"Kamu marah? Marah dengan ayah? Haruskah ayah bersimpuh meminta maaf kepadamu?"
Tanya Juan setelah lama tak kunjung mendapat respon. Dia berdiri diam menatap pintu dan berharap putranya itu mau membuka atau setidaknya menyahut panggilannya. Kalau sudah seperti ini, Juan sungguh tak berdaya. Rasanya sungguh kacau dan perasaannya memburuk hanya karena tak mendengar dan melihat putra kecilnya.
"Ayah akan bersimpuh di depan pintu. Keluarlah setelah kemarahanmu sirna," ujar Juan. Dia mulai berlutut dan menatap pintu di depannya. Membiarkan kehormatannya sebagai raja tak berharga sedikitpun saat berhadapan dengan diamnya Jifan.
Sejak kematian istrinya, dia merasa begitu bersalah pada Jifan. Bayi kecil yang tak sempat melihat wajah ibundanya sendiri. Kasih sayang dari seorang ibu yang tak pernah didapatkan Jifan membuatnya terluka namun, tak mampu berbuat apa-apa. Jadi, dalam diam dia memutuskan menjadikan Jifan seorang penerus kerajaan ini. Hanya alasan sepele dan itu adalah karena perasaannya pribadi. Itu sebabnya, sejak awal Juan menyembunyikan Jifan. Agar Jifan tak pernah dibeda-bedakan oleh rakyat dengan para saudaranya yang lain.
Pintu terbuka membuat lamunannya buyar.