"Kapan kamu akan menikah, Lexi?" tanya Tante Rose, adik dari Mamah Lexi.
Saat ini sedang berlangsung arisan keluarga besar dari pihak Ibu Lexi, acara yang selalu dibuat setiap bulan itu sudah menjadi agenda rutin bagi keluarga mereka. Tapi, hal itu juga menjadi alasan kenapa Lexi tidak ingin mendatanginya.
Seperti sekarang contohnya, baru saja Lexi mendudukkan dirinya diantara mereka satu jam yang lalu. Dia sudah di cecar dengan pertanyaan yang membuat Lexi memutar bola matanya malas, tentu saja dia tidak melakukannya di depan keluarganya. Lexi memutar matanya di dalam hati alias hanya bayangan semata.
Bisa-bisa Lexi akan di cap sebagai anak yang tidak sopan dan tidak tahu diri oleh keluarganya, jika dia melakukan tindakan tersebut di depan mereka. Belum lagi kemarahan dari Mamah Lexi, yang Lexi sendiri bahkan tidak ingin untuk membayangkan nya.
"Belum ketemu jodoh nya, Tante," balas Lexi yang tidak lupa tersenyum. Meskipun terpaksa.
Jika Tante Lexi peka, dia pasti akan tahu jika senyum yang Lexi berikan adalah senyuman tertekan dan terpaksa. Tapi sayangnya Tante Rose sama sekali tidak peka akan hal itu, dia malah membalas senyuman Lexi menggoda, menganggap jika Lexi sedang malu.
Bagas, anak dari Tante Lexi yang berusia lima tahun lebih muda dari Lexi. Tertawa tertahan melihat bagaimana Lexi berusaha untuk memberikan ekspresi terbaik nya untuk ibunya. Padahal Bagas sangat tahu, jika Lexi saat ini pasti sedang mengumpati ibunya di dalam hati.
Lexi memberikan tatapan tajam pada Bagas, ketika Tante Rose lengah. Kemudian, tersenyum ketika Tante Rose kembali. "Teman Tante punya anak laki-laki seusia kamu, masih single dan seorang pengacara. Kalau kamu mau, Tante bisa bantu kenal kan. Siapa tahu jodoh," tawar Tante Rose.
"Oh, ngak perlu Tante. Em―Tante sudah makan?" tanya Lexi pada Tante Rose.
"Sudah tadi, bersama dengan yang lain."
"Aku belum makan, kalau begitu aku ke belakang dulu, ya, Tante. Mau makan."
Gadis itu berdiri dan meninggalkan ruang keluarga. Aksi menghindarinya dari pertanyaan Tante Rose berhasil, setidaknya Tante Rose tidak menghalangi kepergian Lexi dari sana, paling hanya menatapnya dengan tatapan bingung.
Dapur dan meja makan di rumah Lexi berada di tempat yang sama, tempat itu sepi karena semua orang saat ini berada di ruangan keluarga. Lexi membuka lemari pendingin dan meraup botol berisikan air putih, lalu meneguk nya dengan cepat. Berharap air tersebut dapat mendinginkan perasaan Lexi yang panas sekarang.
"Haus banget, Kak?"
Lexi hampir saja tersedak air karena rasa terkejut nya, dari ujung matanya Lexi melihat Bagas yang sedang tertawa kencang. Sepupu kurang ajar, dia sangat senang sekali jika melihat Lexi yang kesusahan seperti sekarang.
"Kamu tuh, ya, hobinya kaget orang saja. Kalau tadi Kakak tersedak bagaimana." Lexi menatap nyalang pada Bagas. Setelah menaruh kembali botol ke dalam lemari pendingin, Lexi menyambar bitter sweet dan membawanya ke meja makan.
Bagas mengekori Lexi dari belakang dan ikut duduk di sebelah kakak sepupu nya tersebut. Melihat bagaimana Lexi dengan rakus nya memakan makanan manis itu dengan sangat lahap. Lexi bahkan tidak repot-repot menawarkan makanannya pada Bagas dan sibuk makan sendiri.
"Aku gak ditawari nih, Kak. Makan sendirian saja," keluh Bagas.
Lexi menatap nyalang pada Bagas, melihat tatapan mematikan yang Lexi berikan Bagas menangkup kedua tangan di depan meminta maaf pada Lexi atas perbuatannya tadi. "Oke, aku minta maaf soal yang tadi, ya. Kakak aku yang paling cantik."
Melihat tatapan Bagas yang memohon, Lexi menganggukkan kepalanya memaafkan lelaki itu dengan mudah. Bagas sudah tahu itu, Lexi memang orang yang memiliki hati lembut, dia tidak akan pernah bisa marah lama-lama dengannya.
Bahkan setelah memaafkan Bagas, Lexi menyodorkan sendok yang sudah berisikan bitter sweet yang sedang di makannya pada Bagas. Tentu Bagas menerima suapan itu dengan suka rela, siapa yang menolak dessert yang enak itu.
Bagas rasa hanya orang aneh yang akan menolak memakannya.
"Kakak kenapa selalu menghindari Mamah aku?" tanya Bagas.
"Bosan gue dengar pertanyaan yang sama setiap bulannya dari Tante Rose, selalu tentang di mana pacar aku dan kapan akan menikah. Arghhh, seperti tidak ada topik lain saja untuk dibahas," gerutu Lexi.
"Kakak beruntung karena hanya bertemu dengan Mamah satu bulan sekali, apa kabar aku yang setiap hari selalu disodorkan dengan pertanyaan yang sama." Bagas mengambil sendok nya sendiri dan ikut makan bitter sweet bersama dengan Lexi.
"Kalau aku jadi kamu, aku bakalan memilih hidup sendiri dan pergi dari rumah."
"Bukan Kakak saja yang berpikiran seperti itu, aku juga sempat kepikiran kayak begitu. Cuma mana tega aku meninggalkan Mamah sendirian di rumah, Papah masih sibuk dengan bisnisnya. Paling cepat pulang ke rumah tiga hari sekali."
Lexi menatap Bagas kasihan, padahal Bagas masih berumur 25 tahun. Tapi selalu di cecar dengan pertanyaan kapan menikah setiap hari oleh Tante Rose. Lexi sangat bersyukur sekali karena memiliki orang tua yang setidaknya tidak akan membahas pernikahan setiap hari seperti Tante Rose.
Ya, meskipun mamahnya juga tidak kalah cerewet dengan Tante Rose, jika menyangkut tentang jodoh anaknya. Tapi setidaknya, dia lebih baik dari pada Tante Rose.
Mamah memang yang paling terbaik.
"Untuk aku bukan kakak kandung kamu ya, Bagas. Kalau iya, mungkin aku bakalan bertengkar dengan Tante Rose setiap hari."
"Aku bahkan tidak bisa membayangkan nya, Kak." Bagas bergidik ngeri membayangkan jika Lexi menjadi kakak kandungnya dan terlahir dalam rahim yang sama. Mungkin rumahnya akan selalu menjadi medan perang setiap harinya.
"Tapi Gas, bukannya kamu punya pacar, ya. Siapa yang satu kampus sama kamu dulu itu, Sarah bukan namanya."
Bagas menghembuskan napas panjang, berat sekali rasanya jika harus mendengar nama Sarah kembali. Namun, begitu Bagas tetap mencoba tersenyum dihadapan Lexi. Mencoba untuk bersikap baik-baik saja, meskipun hatinya sedang hancur seperti kaca yang pecah.
"Aku putus dengannya, Sarah melanjutkan pendidikan spesialis nya di Inggris."
"Wow benarkah, hebat sekali dia—" Lexi langsung menghentikan ucapannya yang memuji Sarah, ketika menyadari wajah sendu Bagas.
Sepertinya Lexi mengerti kenapa keduanya memilih untuk putus, karena Lexi sendiri sudah merasakan bagaimana beratnya mengambil pendidikan spesialis. Lexi memang tidak melanjutkan sekolah kedokteran nya hingga keluar negeri seperti Sarah, tapi Lexi cukup bangga mengambil pendidikan spesialis di salah satu universitas negeri di dalam negeri menggunakan beasiswa, yang juga tidak kalah bagusnya dengan pendidikan di luar negeri.
Menjadi dokter itu sangat sulit, memiliki otak yang pintar tidaklah cukup. Itu semua harus dibarengi dengan keadaan ekonomi yang menjamin dan mental yang kuat. Banyak waktu, materi, tenaga, dan orang tersayang yang harus dikorbankan. Untuk yang terakhir sepertinya Sarah harus merelakan Bagas, dalam mengejar impiannya di negeri orang.
"Kamu yang sabar saja, ya, Gas. Kalau kalian berdua memang berjodoh, Tuhan pasti akan selalu menuntun jalan pertemuan kalian kembali. Jangan terlalu bersedih, aku tidak dapat memberikan pendapat. Karena aku sendiri merasakan bagaimana beratnya menempuh pendidikan spesialis yang sama sekali tidaklah mudah. Jika kamu dan Sarah dapat menjaga hati kalian masing-masing, aku yakin kalian berdua akan kembali bersatu."
Bagas tersenyum manis pada kakak sepupu nya, perasan nya memang sedang kalut dan kacau karena kepergian Sarah. Namun, mendengar penuturan dari mulut Lexi yang tidak jauh berbeda dengan yang Sarah katakan ketika gadis itu akan lepas landas ke Inggris.
Perasan nya menjadi sedikit lebih baik. Bagas jadi punya keyakinan, jika Sarah-nya akan kembali lagi padanya nanti.