"Nikah sama aku saja, Lex."
Lexi menghentikan tangannya yang akan mengambil toples camilan pada meja di depannya, mengangkat kepalanya menatap Ben terkejut. Kalimat yang baru saja lelaki itu keluarkan, berhasil membuat Lexi membeku.
"Lex…" panggil Ben.
Ucapan Ben kembali menyadarkan Lexi dalam lamunan nya, Lexi masih sedikit linglung dan bingung seraya menatap Ben yang melihatnya dengan mata serius. "Ha―hah?"
"Kalau kamu tidak mau di jodoh kan lagi, ayo kita menikah," ajak Ben kembali.
Lexi merasa mulutnya seperti di rekatkan menggunakan lem yang super power lengket, karena untuk membalas ucapan Ben saja. Lexi rasanya tidak sanggup, entah kenapa gadis itu tidak dapat mengeluarkan satu kata patah pun saat ini.
Rasa terkejut masih melingkupinya sekarang.
"Lexi, kamu ngak apa-apa?" tanya Ben khawatir melihat Lexi yang memandangnya tapi terus diam sedari tadi.
"Ben, bercanda kamu gak lucu, heheh." Lexi berusaha mencairkan suasana dengan tertawa, meskipun tawa nya terdengar sangat canggung bahkan di telinganya sendiri.
"Aku serius dengan ucapan ku barusan, Lexi."
Menyelusup ke dalam mata Ben, Lexi tahu jika Ben sangat serius dengan ucapannya yang mengajak Lexi menikah. Lexi menelan ludahnya dengan susah payah, gadis itu sangat tidak suka dengan pandangan yang di layangkan Ben padanya.
Pancaran mata yang serius dan penuh keyakinan, Lexi sangat tidak suka itu.
"Hahah, kalau kamu cuma kasihan sama aku. Lebih baik lupakan saja, aku akan menganggap jika kamu tidak pernah mengatakan apapun padaku. Kita lupakan pembicaraan ini sekarang."
Tahu jika Ben serius dengan ucapannya, lebih baik Lexi mengambil sikap seperti ini. Dia tidak suka dengan pandangan mata Ben padanya. Mereka sudah saling mengenal selama lima belas tahun dan itu bukanlah waktu yang singkat. Lexi sangat mengerti dengan sikap Ben saat ini.
Lelaki itu tidak main-main dengan ucapannya dan Lexi tidak ingin ada kelanjutan dari percakapan ini.
"Kenapa kamu menolak aku, Lex. Bukankah kita sudah mengenal cukup lama, kita juga sudah sering tinggal bersama, bahkan di lemari kamu sekarang banyak baju-baju yang aku tinggalkan di sana. Keluarga kita juga sudah saling mengenal satu sama lain," sergah Ben tidak terima dengan penolakan sekilas yang diterimanya.
"Aku nolak karena itu kamu, Benjamin."
Ben tersentak sedikit, terkejut karena nada tinggi yang digunakan Lexi ketika berbicara padanya. Napas gadis itu juga nampak memburu, menandakan bahwa dia sedang mencoba untuk mengontrol emosi nya dengan baik.
"Maaf aku tidak bermaksud untuk berbicara keras seperti tadi," sesal Lexi ketika menyadari kesalahannya berbicara dengan keras pada Ben.
"Jelaskan padaku kenapa kamu menolak ku."
"Apakah masih tidak cukup jelas. Karena itu kamu, Ben. Kamu sahabat yang sudah aku kenal selama lima belas tahun lamanya. Aku tidak ingin hubungan persahabatan kita rusak hanya karena desakan menikah dari keluarga kita berdua."
Ya, Lexi juga tahu jika Ben juga memiliki permasalahan yang tidak jauh berbeda dengannya. Yakni menikah, tidak hanya Lexi yang selalu di berondong oleh pertanyaan kapan menikah oleh keluarga besarnya, teman, dan kerabat. Ben juga merasakan hal yang sama.
Tetapi, menikah karena desakan dari orang lain yang menyuruh mereka untuk segera menikah. Bukan berarti mereka berdua harus menikah karena memiliki permasalahan yang sama bukan, apalagi Lexi tahu jika perasaan mereka berdua tidak sejauh itu.
"Kamu melanggar janji kamu, Lex."
"Apa maksud kamu, memang nya aku pernah berjanji tentang apa?" Lexi menatap Ben heran, lelaki itu membahas tentang sebuah janji.
"Kita berdua akan menikah, ketika dalam usia 30 tahun kamu dan aku belum juga menikah dan memiliki pasangan."
Lexi mengerutkan dahi nya, berusaha untuk mengingat tentang janji yang pernah dibuatnya bersama dengan Ben. Tapi, sekeras apapun Lexi ingin mengingat, dia tidak mendapatkan apapun yang diinginkannya.
"Kapan aku pernah mengucap janji seperti itu?"
"Sewaktu aku baru lulus sekolah menengah."
Mengupas kembali ingatannya ke beberapa tahun lalu, ketika Ben baru saja menyelesaikan sekolah menengah nya. Lexi berusaha untuk mengingatnya dengan sangat keras, hingga tiba-tiba sebuah ingatan muncul di dalam pikirannya.
Sepertinya itu adalah ingatan yang Ben sedang bicarakan.
"Maksud kamu sewaktu kita berdua duduk di bawah pohon beringin di belakang sekolah?" Lexi mencoba memastikan ingatannya pada Ben dan lelaki itu menganggukkan kepalanya membenarkan ucapan Ben.
Lexi meringis, jadi Ben masih ingat dengan janji yang pernah mereka lakukan sewaktu keduanya masih menjadi bocah ingusan. Untuk sesaat Lexi mengagumi ingatan Ben yang sangat tajam, sebelum kemudian merutuki dirinya sendiri karena sudah mengatakan hal tidak masuk akal.
Bagaimana bisa dia berjanji pada Ben, jika mereka akan menikah. Jika di usia 30 tahun keduanya belum menikah dan memiliki pasangan. Ucapan yang tidak terencana itu malah menjadi sebuah kenyataan, yang lebih mirip dengan ucapan kutukan.
Karena hal tersebut benar terjadi, buktinya Lexi dan Ben di umur 30 tahun masih belum menikah bahkan memiliki pasangan, alias single, alias jomblo ngenes.
"Tapi, `kan itu sudah lama sekali, Ben. Lagi pula waktu itu kita berdua masih sangat kecil, aku juga mengucapkan janji itu hanya secara asal saja. Aku yakin kamu juga begitu," sangkal Lexi.
"Tidak!"
"Apanya yang tidak?"
"Aku sangat yakin dengan ucapan ku waktu itu, aku sama sekali tidak main-main dengan ucapan ku waktu itu, Lexi."
"Ben…"
Entah kenapa saat ini tiba-tiba jantung Lexi berdetak dengan sangat kencang, tidak tahu karena candaan Ben tentang mengajak nya menikah menjadi sesuatu yang serius. Atau karena Lexi mulai merasa sedikit panik karena harus menepati janjinya pada Ben.
"Tapi walaupun begitu aku tidak akan memaksa kamu untuk menikah denganku, seperti katamu mungkin saat itu kita masih kecil dan berjanji secara asal saja tanpa memikirkan dampak ke depannya bagaimana. Aku akan memberikan waktu untuk kamu berpikir."
Ben menatap Lexi dengan penuh keyakinan, Lexi menundukkan kepalanya karena tidak sanggup untuk melihat tatapan mata Ben saat ini. Tapi, bukannya merasa lebih baik perasaan Lexi malah menjadi tidak karuan rasanya.
Karena pelukan hangat dari Ben yang memeluknya secara tiba-tiba membuat tubuh Lexi tegang. Padahal biasanya dia tidak pernah seperti ini ketika Ben memeluknya, kenal selama lima belas tahun tentu Lexi sudah sering merasakan bagaimana hangatnya rengkuhan dari Ben.
Tapi, biasanya Lexi tidak pernah tegang dan berdebar seperti sekarang. Apa mungkin karena pembicaraan mereka tadi. Tubuh Lexi menjadi bereaksi di luar kebiasaannya, Lexi yakin Ben pasti juga merasakan tubuhnya yang menegang seperti ini.
"Tidak perlu tegang seperti itu, Lexi. Aku tidak akan berbuat hal yang aneh denganmu, bersikaplah seperti biasanya. Aku akan menunggu jawaban dari kamu segera, aku berharap jawaban yang kamu berikan akan sesuai dengan yang aku harapkan."
Lihat, benar bukan dugaan Lexi. Ben pasti menyadarinya.
"Aku membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir, Ben." Lexi membalas ucapan Ben seraya membalas pelukan dari sahabatnya itu.
"Gunakan waktu sebanyak yang kamu mau, aku akan menunggunya dengan sabar."