Chereads / LOVE REVENGE / Chapter 2 - Hampir Hilang Akal

Chapter 2 - Hampir Hilang Akal

Kemudian tanpa aba-aba Revin

mengambil salah satu botol anggur merah yang tergeletak di atas mejanya. Ia langsung saja meneguknya sehingga bertumpuhan pada jas dan kemejanya.

Tanpa mempedulikan hal itu. Revin ambruk di atas kasurnya masih dengan tangan yang memegang botol tersebut.

Tetapi seketika dengan gerakan perlahan, botol itu ia lepaskan dan jatuh di lantai. Tidak pecah hanya menggelinding saja hingga ke pojok sudut kamar.

Matanya lurus menatap langit-langit kamarnya yang kosong, hampa dan juga suram. Tidak ada warna dan sinar lagi ketika istri pergi.

Padahal dahulu mereka sering sekali menatapnya secara bersamaan. Saling tukar pendapat dan pikirannya masing-masing. Dan itu terjadi sebelum terlelap dalam tidurnya.

Tak lupa dihiasi dengan tawa canda yang dihasilkan oleh Revin karna jahil dengan Maya.

"Sayang....."

Revin jadi teringat kenangan-kenangan itu. Tanpa saja ia memejamkan matanya sejenak.

"Sayang. Kamu liat aku dong." Suara Maya yang melengking dan Revin tersenyum geli ketika mendengarnya.

Lalu ia menuruti perkataan istri cantiknya tadi. "Ada apa? Aku udah liat ke arah kamu nih?"

"Kita akan terus sama-samakan?" Revin mendadak diam sepersekiandetik Revin tersenyum lebar.

"Memangnya aku mau pergi kemana? Sampai nanti bakal ninggalin kamu itu?" tanya Revin yang terpancar senyum jahilnya.

"Ah pasti kamu gak akan pergi kemana-mana." Nada yang tiba-tiba saja berubah. "Memangnya mau kemana?" Maya mengucapkannya dengan serius.

Dan itu benar-benar membuat Revin tertawa puas. Mengapa istrinya ini tidak bisa diajak bercanda sedikit pun dan selalu saja menganggap serius. Padahal yang sebenarnya Revin takut sekali kehilangan Istri tercintanya ini.

Maya mengerutkan dahinya sejenak. Mata yang menajam. "Kenapa kamu malah tertawa? Memangnya ada yang lucu?"

Revin hanya menggeleng pelan. Ia malah menatapnya lamat-lamat. Tersenyum lebar, sangat lebar malahan sehingga terlihat deretan giginya yang rapi.

"Mengapa menatapku seperti itu?" Raut wajah kebingungan. Dan masih saja belum mengerti dengan tatapan dari Revin.

"Jawab!" sergahnya dengan memutarkan kedua bola matanya secara bersamaan. Dan kembali menatap langit-langit kamarnya. Tanpa mempedulikan tatapan Revin yang memang membuatnya kesal walau hanya melihatnya saja.

Revin sendiri kadang-kadang menyengir lebar. Percayalah dia sedang merencanakan sesuatu di dalam benaknya untuk menjahili istrinya.

Lalu ia mendekatkan diri dan wajahnya pada Maya yang sedang menatap langit-langit kamar kosong itu.

Tetapi jika menatapnya secara bersamaan. Revin tidak merasa kosong dan hampa. Akan ada banyak gambaran di atas sana mengenai apapun yang mereka bicarakan. Pasti bayangan-bayangan muncul seketika dan tergambar di langit-langit kamar itu.

"Coba nanti bayangin kalau kita bakal jadi orangtua." gumam Maya yang tanpa sadar membuat Revin langsung saja memeluknya dari samping dan berdehem. "Khem."

Maya yang merasa aneh pada pergerakan Revin barusan hanya bisa menolehkan kepalanya. "Ada apa?"

"Kenapa kamu tiba-tiba jadi seperti ini?" tanyanya masih dengan dahi yang mengerut. Dan Revin hanya mengangkat kedua alisnya saja bersamaan.

"Kamu itu kenapa sih?!!" gerutunya yang mulai lelah karna tidak mengerti maksud dari kode-kode yang diberikan oleh Revin. Mulai dari tatapan, senyuman dan terakhir kedua alisnya.

"Ngomong aja. Aku gak paham. Maksud—" Memberhentikan ucapannya sejenak. Ketika tersadar dari apa yang dilakukan Revin barusan semuanya. "Oh.... Kamu mau jahiliin aku lagi ya?"

"Ketahuan kamu!! Ternyata ta—" ucapannya terpotong. Ketika Revin sudah menselancarkan aksinya untuk menggelitiki Maya dan aksi lainnya. Sampai-sampai Maya sendiri kewalahan dan berujung menyerah.

"Ampun.... Ampun...." Masih dengan tawanya. Dan Revin benar-benar puas menggelitiki Maya sampai tidak henti-hentinya.

"Revin!! Kalau kamu gak berhentiin aksi kamu ini. Aku yang bakal ninggalin kamu untuk selamanya."

'Deg!'

Revin terhentak hebat dan langsung saja membuka matanya secara lebar. Menatap sekelilingnya dengan wajah yang tercengang.

Tiba-tiba saja tubuh dan pikirannya mendadak berhenti. Dan memikirkan apa yang barusan saja ia lakukan. Mengapa ia seorang diri di kamar ini.

Kemana Maya. Kemana perginya Maya. Apa dia benar mengabulkan ucapannya itu.

"Maya...." Mengucapkannya dengan nada yang lirih. Revin memutuskan untuk membangkitkan tubuhnya. Tetapi ia merasa kepalanya ini dihujami oleh banyak peluru sehingga rasanya sakit sekali.

"Argh!!!" Mengerang sejenak. Mencengkram erat selimut kasurnya. Untuk menetralisir rasa sakit tersebut.

"Huh!" Mengatur napasnya. Dan Revin memutuskan untuk berbaring kembali. Masih dengan pikiran yang berkenala.

"Jadi tadi itu semua...." Pandangan lurus dan sendu. Dengan peluh keringat yang membasahi dahinya. "Hanya sebuah mimpi."

"Maya benar-benar sudah tidak ada." Pandangan yang teduh. Tiba-tiba saja emosinya memuncak. "Tapi mengapa!!! Mengapa...."

"Aku masih saja terus memikirkannya. Dan merasa bahwa dia berada di dekatku?" Suara yang memelan dan melirih.

Revin menghela napasnya panjang. Memejamkan matanya sejenak. Memijat-mijat dahinya yang sedikit pening. Tapi tiba-tiba saja ia jadi teringat kejadian barusan.

"Astaga!!!" Menepuk dahi pelan. Dan menggeram kesal pada dirinya sendiri yang begitu bodoh.

Mengapa Revin bisa percaya begitu saja dengan ucapan Ruri. "Bodoh!! Bodoh!! Bodoh!!!" Memukul-mukul kepalanya dan benar-benar menurukinya.

"Kenapa bisa?!!" pekiknya yang menyesalinya sekali. Padahal ia sudah yakin untuk membuktikan bahwa memang Rurilah pemilik tahi lalat di dahi itu.

"Kayaknya aku harus membuktikan secepatnya. Tapi...." Berpikir sejenak. Ini sudah larut malam sekali. Sepertinya ia tidak mungkin untuk pergi ke kamar Ruri memastikan itu semua.

Keesokan paginya, Revin bangun lebih cepat. Ah, malahan setelah terbangun dari mimpi buruknya itu. Revin memutuskan untuk tidak tidur lagi.

Melainkan menyelesaikan semua pekerjaan dan kembali mencari informasi tentang pelaku yang sudah membunuh istri tercintanya.

Revin melihat ke arah arjoli yang melingkar indah di pergelangan tangannya. "Sudah pagi." gumamnya sejenak.

Lalu Revin membereskan segala berkas-berkasnya yang berada di mejanya dan menjadikannya satu dengan tumpukan lainnya.

Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu ruangannya ini. Revin mengerutkan dahinya. Dan berpikir Siapa yang sudah berani mengetuknya itu.

Tetapi ketukan itu tak lama kemudian menghilang. Dan Revin hanya mengangkat kedua bahunya saja secara acuh.

Ah, ia jadi teringat dengan rencananya semalam. "Apa Oma sudah bangun?"

"Kayanya lebih baik aku saja yang melakukan ini." Melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan kerjanya.

Tapi siapa sangka, ketika ia membuka pintu tiba-tiba saja sudah ada Ruri di hadapannya dengan membawa nampan.

"Selamat pagi, Tuan." Ruri menampilan senyuman kecilnya sejenak. Dan secara ragu mengangkat kepalanya yang tertunduk.

Revin langsung saja menatap Ruri secara lekat. Sepertinya Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Ruri datang sendiri tanpa diminta atau juga ia melakukan sesuatu.

'Aku harus membuktikannya sekarang.' batin Revin yang tanpa disadari tersenyum miring.

"Sa-saya.... Saya ingi-" Dengan gerakan cepat tiba-tiba saja Revin langsung mendorong bahu Ruri ke tembok sampingnya.

"Astaga!! Tuan!!" Ruri yang terperanjat kaget dengan membulatkan kedua bola matanya lebar.

"Tu-Tuan.... Tuan ingin apa?" Ketika melihat tangan Revin yang terangkat ke atas mengarah pada kepalanya.

Dan juga wajahnya yang mendekat ke arahnya.

Menipiskan jaraknya sehingga hembusan napas Revin saja mampu menerpa wajah Ruri.

Jantung Ruri yang berdegub kencang tak beraturan. Serta pikiran yang tiba-tiba saja menjadi tidak fokus dan buyar.

"Tu-Tuan.... Saya-saya mohon sama Tuan untuk tidak maca—" Memejamkan matanya serta menumpahkan nampan yang sedang ia pegang.

'Prang!'

***