"Ar, ayo!"
Kesadaran Arkan kembali pulih setelah mendengar suara Lusi menginterupsi. Dia beranjak dari duduknya sembari merapikan pakaiannya sendiri.
"Terima kasih sudah berkunjung. Kukira kau akan sedikit berlama-lama di sini."
"Tidak bisa, Dave. Aku harus kembali untuk mengecek pekerjaan Keke. Jadi, lain kali aku akan kembali mengunjungimu."
Dave tersenyum dengan terpaksa. "Baiklah. Sekali lagi terima kasih, dan sampaikan salamku pada Keke."
Lusi mengangguk sambil tersenyum, lalu melambaikan tangan pada Dave seraya meninggalkan tempat tersebut.
"Kalian terlihat sangat dekat. Apa kau menyukainya?"
Lusi mendongak dengan kedua alis bertaut. Wajah Arkan terlalu tinggi untuk dilihat. "Arkan, berapa tinggi badanmu?" tanya Lusi, diluar topik yang sedang Arkan tanyakan.
"Dua meter."
"Akh... pantas saja aku harus mendongak jika ingin melihat wajahmu. Apa kau tidak tahu? Rasanya tulang leherku hampir patah."
Arkan berdiri dihadapan Lusi, menghentikan pergerakan kedua kaki wanita itu dan sedikit menunduk.
"Aku sudah menunduk. Tataplah wajahku sesuka hatimu."
Deg!
Jantung Lusi serasa ingin meloncat dari tempatnya. Bukan ini yang dia maksud. Lusi tidak ingin berada di posisi seperti ini. Wajah Arkan terlalu memesona untuk diperhatikan, apalagi dengan waktu yang cukup lama.
"Eh... bu-bukan seperti itu maksudku. Aku hanya....."
"Huh, sudahlah. Sepertinya kau belum terbiasa menatap wajahku."
Lusi mengigit bibir bawahnya ketika Arkan sudah kembali pada posisinya semula. Hatinya bergemuruh, perasannya kini sangat sulit dan merepotkan. Apa dia akan mati?
"Jangan seperti ini lain kali," ucap Lusi masih dengan rasa gugup.
"Seperti apa yang kau maksud? Bukankah aku hanya memberimu kemudahan?"
"Ar... apa kau tidak mengerti?" Lusi kembali berdiri di hadapan Arkan dengan kening sedikit mengerut dan bibir yang maju beberapa mili.
"Tidak. Bagaimana bisa aku mengerti jika kau tak memberitahu?"
"Sudahlah, ayo kembali. Keke pasti sudah sangat menunggu."
***
"Huh... sudah hampir setengah jam, tapi Lusi belum juga kembali."
Sembari menunggu kepulangan Lusi, wanita itu kembali memeriksa pekerjaannya yang hampir rampung. Keke sampai lupa, jika ia merasa kesulitan, pasti ada Google yang selalu bisa membantu semua orang.
"Coba saja jika aku membuka situs itu sedari tadi. Mungkin pekerjaannku akan selesai dalam hitungan menit."
Sambil memeriksa, Keke juga mencantumkan alamat surel pribadinya. Lusi memberikan tugas ini pada Keke sepenuhnya, dengan dalih bahwa dia adalah asisten pribadinya.
Suara pintu mengalihkan perhatian Keke. Wanita itu menoleh dan berdiri lalu berjalan menghampiri Lusi.
"Jarak dari gedung apartemen ke coffee shop apa membutuhkan waku selama ini?"
"Apa yang kau katakan, Keke? Sudah bagus aku kembali."
Keke menghela napas dan berbalik. Dia duduk di sofa, menantikan cup kopi yang masih berada di tangan Lusi.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Coba kau lihat dulu, siapa tahu ada perubahan lagi."
Buru-buru Lusi meletakkan barang bawaannya dan beralih pada laptop milik Keke yang masih menampilkan pekerjaannya. Yaitu sebuah pengumuman online yang menyatakan bahwa Lusi tengah mencari seorang pria lajang untuk dijadikan kekasih.
"Wah... kau benar-benar asistenku yang luar biasa, Keke! Ini sangat bagus! Tidak sia-sia aku membelikanmu segelas kopi sore ini."
"Jangan panggil aku Keke, jika hal sepele seperti ini saja tidak bisa aku kerjakan."
Senyum bahagia terpancar dari bibir Lusi. Selesai memeriksa pekerjaan asistennya, wanita itu duduk di seberang Keke sembari menikmati kopi matcha miliknya.
"Kau memang sangat pintar, Keke. Aku sangat mengapresiasi pekerjaanmu hari ini."
***
Dua hari berlalu, sejak pengumuman itu dibuat, kini Lusi dan Keke tengah disibukkan dengan proses pemasaran Para Pencari Cinta.
Ya. Setelah Lusi dan Keke menyelesaikan pekerjaan pribadi mereka, Arman menghubungi Keke dan memberitahukan kabar baik ini padanya. Bahwasanya proses penerbitan Para Pencari Cinta sudah bisa diterbitkan lebih awal dari jadwal yang sudah ditentukan.
Keke dan Lusi sudah berada di gedung perusahaan Creatif Publisher dari pukul enam pagi. Didampingi Arman, mereka tengah membicarakan rencana pemasaran yang akan dilakukan.
"Selain melalui toko buku online, apa kau memiliki cara lain?" tanya Arman. Di tangannya sudah ada ponsel yang tengah melihat perkembangan pasar internet tentang penjualan novel. Arman juga mencari beberapa toko buku online yang paling dikenal oleh banyak orang.
"Bagaimana kalau kita mendatangi sekolah-sekolah yang memiliki jurusan Sastra atau bidang kepenulisan lainnya?"
Lusi dan Arman menoleh pada Keke yang baru saja bersuara. Wanita itu nampak memperlihatkan senyum percaya diri pada dua rekannya.
"Ide yang bagus. Karena kebanyakan orang yang masuk ke jurusan tersebut menyukai buku dan membaca," tutur Arman. "Bagaimana, Lusi?"
"Tidak masalah. Tapi, apa masih ada sekolah yang memiliki jurusan Sastra di zaman sekarang ini?" tanya Lusi sedikit khawatir.
Setahunya tidak banyak sekolah maupun kampus-kampus yang memilih Sastra untuk dijadikan tujuan pembelajaran atau jurusan. Karena orang-orang zaman sekarang sangat terpaku pada deretan angka.
"Aku akan mencari." Keke kembali membuka suara. Dengan cepat tangannya mengambil ponsel dan mencari beberapa sekolah yang masih memakai jurusan Sastra atau Bahasa.
"Ada dua sekolah," imbuh Keke. "Yaitu Andalanesia University dan SMA Dirgantara." Keke melanjutkan.
"Baik. Kalau begitu aku akan membantu menghubungi dua sekolah itu dan menawarkan kerja sama ini dengan mereka."
"Biar aku bantu, Mas Arman." Keke kembali bersuara. Wanita itu terlihat semangat sekali hari ini. Padahal dia hanya tidur beberapa jam saja.
Berbeda jauh dengan Lusi, si pelakon utama yang saat ini tengah memijat dahinya. "Kalian urus saja. Kepalaku sepertinya sudah tidak tertolong."
"Kau istirahatlah, Lusi. Kau sudah terlalu kelelahan."
"Hm. Mas Arman, biarkan aku tidur di sini sejenak."
"Baik. Aku akan kembali dengan pekerjaan, kalian berdua beristirahatlah dulu."
"Terima kasih, Mas."
Keke menoleh ke samping. Lusi sudah tertidur dengan kepala yang tergeletak di atas meja. Wajah wanita itu terlihat sangat kelelahan.
"Kau terlalu bekerja keras, Lusi. Aku akan membantumu untuk menyelesaikan semuanya."
***
"Halo, bagaimana dengan tawaran kami?"
"Pihak kampus sangat setuju, Mbak. Apalagi Lusi adalah penulis yang cukup dikenal banyak orang. Setelah melakukan survei dengan beberapa mahasiswa di jurusan yang bersangkutan, ternyata banyak dari mereka yang menjadi pembaca novel Lusi. Dan siapa tahu Lusi bisa menuangkan semangatnya kepada seluruh mahasiswa kami."
Di tempatnya saat ini, Keke tersenyum. Lega sekali rasanya mendengar pihak Andalanesia University memberi respon positif terhadap Lusi.
"Kalau begitu, silakan kalian atur jadwalnya. Sesuaikan dengan kegiatan kampus di sana, dan beritahu kami jika sudah siap."
"Baik."
Sambungan terputus. Keke kembali duduk di depan laptopnya yang masih menyala. Selain mengatur jadwal dengan dua departemen pendidikan, Keke juga membuat promosi di akun sosial media pribadi Lusi dan miliknya.
"Pembaca Lusi di platform ini memang rendah hati. Mereka bahkan tidak peduli, jika buku tersebut harus menyelesaikan masa pre order."
Ponsel Keke bergetar, sebuah pesan dari pihak Andalanesia University mengirimkan jadwal yang sudah disepakati.
"Lusi, dua hari lagi kita berkunjung ke kampus!"