Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Tentang Ombak, Samudra dan Impian yang Berlayar

Hanna_J
--
chs / week
--
NOT RATINGS
13.8k
Views
Synopsis
Namaku Gia. Gianira! Gadis pemimpi yang memberanikan diri untuk berlayar mengarungi lautan luas demi impian yang harus kutuntaskan. Aku tahu pelayaran ini tak akan mudah. Badai besar menungguku di depan sana, banyak rintangan yang akan kuhadapi, tapi semua itu tak juga menggetarkan tekadku. Hatiku mantap untuk menjadikan petualangan ini sebagai satu dari bagian hidupku.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Awal Pelayaran

Jakarta, September 2013

Disinilah awal pelayaranku. Kota metropolitan yang katanya tak pernah sepi dan selalu ramai dengan hiruk pikuk yang membuat jenuh namun candu. Kota yang selalu ingin kusambangi dan kujadikan salah satu tempat pelayaranku. Aku menghirup aromanya yang tak lagi murni. Ada campuran polusi yang susah untuk dihilangkan, kecemasan di segala sudut kota, kemacetan, kesibukan, kebahagiaan, kesedihan, namun satu yang mendominasi indra penciumanku. Aroma kebebasan. Kuhirup dalam dan kuhembuskan dengan kebanggaan. Setelah beberapa tahun aku tinggal di salah satu desa kecil di pertengahan pulau Jawa, akhirnya langkahku sampai kemari. Seorang diri di kota asing dan jauh dari keterikatan. Aku bebas menentukan langkahku. Aku bebas meraih masa depan yang kuharapkan. Aku bebas berlayar disini.

Kulangkahkan kakiku menuju sebuah tempat singgah yang memiliki tiga petak ruang dengan satu kamar mandi di dalamnya. Terbilang luas untuk sebuah kontrakan di kota besar dengan harga di bawah satu juta perbulannya. Dengan dibalut warna putih dan sekat dinding yang memisahkan tiap ruangnya, juga perabot-perabot yang ditata secara apik dan rapi, membuatku tak sabar ingin menjadikannya sebagai tempat teduh pada pelayaranku di kota ini. Ada sepasang jendela yang menghiasi ruang tamu, kemudian di ruang tengah ada tempat tidur milik gadis yang nantinya akan menjadi teman berbagi tempat dan cerita denganku. Ah iya, aku tinggal di tempat ini bersama kawan yang kutemui di suatu seminar kepenulisan yang sebelumnya aku ikuti. Karena ketertarikan dan selera humor yang sama, membuat kami terus berhubungan dan saat dia tahu aku akan mengemban sebagai mahasiswi di universitas yang sama dengannya, ia menawarkan untuk berbagi tempat tinggal. Gadis asli Bandung ini, sudah satu tahun lebih dulu singgah di kota Jakarta. Bergelut sebagai mahasiswa sastra Bahasa Indonesia di sebuah universitas swasta yang nantinya namakupun akan masuk dalam bagiannya. Berbeda dengan dia yang sudah menjalani peran mahasiswi selama satu tahun, aku baru akan masuk tahun pertama di bulan ini. Padahal usia kami sama. Namun, keadaan yang tidak mendukung, membuatku harus menunda keinginanku untuk meneruskan pendidikan. Tentu saja ada perasaan ciut yang membuatku iri dengan teman-teman sebayaku yang bisa langsung merangkul peran mahasiswa setelah lulus dari seragam putih abu-abunya. Tapi aku meyakinkan diriku bahwa nanti akan ada waktu yang tepat untukku melangkah keluar dan berlayar bebas tuk berlabuh pada mimpi-mimpiku. Dan sekaranglah waktu yang tepat untukku berlayar menuju impianku.

Kulangkahkan kaki lebih dalam hingga ruangan terakhir. Disana terdapat kamar mandi dan dapur mungil yang bersih. Terlihat jelas bahwa kawanku merawat dengan bagus tempat ini. Semua perabot; kasur, lemari, tv, kompor dan semua yang ada di ruangan ini, miliknya. Sedang aku, hanya membawa laptop kesayanganku, beberapa pasang baju ganti dan kasur gulung tanpa bantal maupun guling. Aku memang tipe orang yang tidak ingin membawa barang banyak ketika bepergian ke suatu tempat. Nanti juga bisa membeli segala keperluan disini. Tak perlu repot-repot membawa banyak barang dari desa ke kota ini yang memakan perjalanan kurang lebih dua belas jam menggunakan bus malam. Membayangkannya saja sudah pusing bagaimana repotnya membawa barang-barang berat itu.

"Kamu mau mandi dulu apa langsung istirahat, Gia?" Tanya kawanku sembari menyuguhkan teh hangat kepadaku.

Aku baru saja tiba beberapa menit lalu setelah perjalanan dua belas jamku dengan bus malam. "Aku mandi dulu aja. Habis itu aku tidur ya. Capek banget."

"Ya udah sana mandi. Ada handuk kan?"

"Ada. Aku minta sabunnya dulu ya. Nanti sore antar aku buat belanja keperluan bulanan."

"Oke."

* * *

Hei Captain, akhirnya aku tiba di awal pelayaranku. Setelah memberanikan diri setengah mati dan melawan semua rasa takut juga ombak yang menghadang. Akhirnya aku berani untuk melebarkan layar perahuku tuk memulai sebuah petualangan. Bukan hanya bersembunyi di bawah gubuk pantai yang selama ini menawarkan kenyamanan tanpa bisa menikmati keindahan dunia. Perahuku mulai meninggalkan bibir pantai dan menuju lautan atau mungkin samudera, menyambut segenap petualangan-petualangan yang nantinya kan mengejutkanku.

Capt, setelah kepergianmu, sulit bagiku untuk meninggalkan gubuk ternyamanku di tanah kelahiranmu. Ada rasa tanggung jawab yang harus kupenuhi tuk kehidupan orang-orang yang kau kasihi. Tapi kali ini aku berpikir untuk bersikap egois karena ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus aku emban. Kebahagiaanku dan mimpi-mimpiku. Tenang saja, insan-insan yang kau kasihi baik-baik saja disana meski ada sepi yang harus aku tinggalkan. Kau tidak perlu khawatir. Nikmati saja pelayaranmu di dunia sana bersama cinta sejatimu.

Aku melipat secarik kertas yang telah kupenuhi dengan kata-kata. Dengan hati-hati dan apik, kuubah kertas itu menjadi sebuah bentuk perahu. Perahu kertas! Kutaruh perahu itu di telapak tanganku dan memandanginya dengan menyematkan sebuah harapan. "Perjalananmu masih panjang, Gi. Setelah ini kau akan bertemu dengan hal-hal yang tak pernah kau duga. Perahu ini, aku akan membawanya berlabuh pada pulau impian. Pasti!" Ucapku penuh harap.

Sejak lahir hingga beberapa hari lalu, langkahku terkunci di sebuah desa kecil di suatu pelosok pulau jawa. Desa yang meskipun kecil namun menawarkan suatu kenyamanan dan memanjakan pandangan mata karena keasriannya. Hamparan sawah yang masih memadati bagian-bagian desa menjadi penyejuk jiwaku ketika merasa terpuruk. Pemandangan gunung yang terlihat indah di pagi hari membuatku tak henti-hentinya kagum.

"Alam memang tak pernah berhasil membuat kita bosan dengan keindahannya." Kata-kata Ibuku selalu terngiang di telingaku. Kata-kata yang selalu ia ucapkan ketika merasa takjub dengan ciptaan Tuhan yang Maha Indah. Setiap pagi, ia selalu mengajakku yang saat itu masih kecil untuk berjalan menyusuri sawah menyambut kedatangan mentari. Mengisi daya dengan sentuhan hangatnya. Membuang segala energi negatif dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih positif. Katanya semacam ritual healing untuk menyehatkan rohaninya. Ibu sangat menyukai pemandangan pedesaan. Baginya hal itu menenangkan dan mampu membawa kedamaian dalam dirinya. Terkadang di sela-sela perjalanan pagi kita, Ibu menceritakan tentang dongeng-dongeng yang pernah ia tulis. Ibu suka sekali menulis cerita dongeng yang ia bukukan sendiri untuk diceritakan kembali kepada anak-anaknya. Mungkin kesukaanku menulis menurun dari Ibu yang memiliki imajinasi-imajinasi unik dalam pikirannya. Aku sangat senang ketika ia sudah bercerita tentang dongeng-dongeng yang ia ciptakan. Nada dan mimik wajahnya saat bercerita mampu membuatku tenggelam dalam adegan-adegan yang ia gambarkan. Padahal ia begitu lihai dalam bercerita dan menciptakan cerita, tapi sayang sekali ceritanya itu hanya bisa dinikmati oleh anak-anaknya saja. Saat kutanya kenapa ia tidak mencoba untuk mengirimkan ceritanya ke penerbit, ia hanya tersenyum sambil berkata, "Anak-anak Ibu mau mendengarkan cerita Ibu saja, bagi Ibu sudah cukup." Aku agak menyayangkan pemikirannya saat itu.

Berbeda dengan Ibu yang lebih menyukai pemandangan pedesaan, ayahku lebih menyukai pemandangan laut. Untungnya, tempat tinggal kami cukup dekat dengan pantai. Hanya butuh waktu tiga puluh menit saja untuk semesta menyuguhkan hamparan air asin yang dibatasi dengan pasir hitam yang memanjakan kaki. Dan ketertarikanku menurun dari Ayah yang begitu menyukai laut yang berisik dengan suara ombaknya. Tak jarang kita menghabiskan waktu bersama dengan memancing di pinggir pantai. Sebenarnya hanya Ayah yang sibuk memancing, sedangkan aku asyik menikmati suasana laut sembari menulis kata-kata di buku kecilku. Begitu banyak imajinasi-imajinasi tercipta dalam pikiranku yang menuntut untuk dituangkan dalam kertas-kertas kosong. Awalnya hanya untuk kepuasan diri dan pelampiasan emosi yang kurasakan, namun lambat laun ada keinginanku untuk berharap bukan hanya aku yang bisa menikmati cerita-cerita yang kutulis. Aku ingin orang lain juga menikmati karyaku. Aku ingin menyampaikan keresahan-keresahanku yang mungkin bisa mereka rasakan juga. Atau mungkin menginspirasi mereka untuk tetap berjuang pada masalah seperti yang kurasakan. Sejak itu, tekadku untuk menjadi seorang penulis telah lahir. Ayah dan Ibu yang begitu pengertian dengan keinginanku, teramat mendukung impianku. Tetapi berbeda dengan saudara-saudara dari Ayah dan Ibuku yang menganggap bahwa impianku itu terlalu tidak realistis. Bagi mereka impian menjadi seorang penulis adalah profesi fantasi yang tidak patut dibanggakan. Bagi mereka impian yang patut dibanggakan adalah sebagai seorang pekerja kantoran, guru atau semacam profesi yang mendapatkan gaji tetap dan tinggi. Aku jadi tahu alasan Ibuku yang lebih memilih untuk menelan sendiri karya-karyanya. Aku yang saat itu masih berusia labil, tidak bisa mengacuhkan begitu saja perkataan-perkataan mereka yang menyakitiku. Seperti biasa, ketika suasana hatiku sedang gundah, Ayah selalu mengajakku pergi ke pantai. Kemudian menyewa sebuah perahu kepada seorang nelayan kenalannya untuk berlayar menyebrang ke pulau kecil yang tak jauh dari bibir pantai.

"Anakku, apa kau tahu? Kehidupan ini seperti kau berlayar di samudera yang luas. Laut yang kau lihat sekarang, belum seberapa dibanding samudera yang terbentang jauh di depan sana. Perjalananmu masih panjang. Kau akan terus berlayar sampai kau menemukan pelabuhan terakhirmu. Tentu saja, pelayaran tak akan selamanya berjalan mulus. Ada ombak dan banyak rintangan yang mencoba menghentikan pelayaranmu. Tapi pertahanan dan kegigihanmu, yang akan membantumu untuk tetap bertahan. Saat ini, perahumu masih membutuhkan seorang pemandu agar nanti kau bisa menjalankannya seorang diri. Untuk sementara, biarkan Ayah yang menjadi nahkodamu dan membimbingmu untuk bisa menjalankan perahumu sendiri. Nanti saat kau sudah siap, kau yang akan mengambil alih kemudi. Ayah akan membiarkanmu untuk memilih kompasmu sendiri dan ketika sudah memastikan arah yang kau pilih aman, Ayah akan membantumu untuk mencapai arah mata angin yang kau pilih. Sedari awal, keputusan ada di tanganmu. Kau yang menjalani kehidupanmu." Kata-kata Ayah bagai belaian angin laut yang menenangkan.

"Tapi paman dan bibi bilang mimpiku itu tidak realistis. Kegiatan yang membuang-buang waktu."

"Anggap saja mereka ombak kecil yang berusaha untuk mengalihkan arah pelayaranmu. Apa kau akan berhenti hanya karena ombak kecil yang tak seberapa, sedangkan di depan masih ada rintangan yang jauh lebih besar. Jika ombak kecil seperti ini saja kau tidak bisa melaluinya, bagaimana dengan rintangan yang lebih besar di depan sana? Kau pasti bisa melaluinya, sayang. Ambil gayungmu dan arahkan perahumu kemanapun kau mau. Ayah akan selalu mendukung pilihanmu."

Ada perasaan aneh yang mengalir di tubuhku setelah mendengar kata-kata Ayah. Sebuah energi besar yang mampu membangkitkan semangatku dan menguatkan tekadku. Ya, selama kemudi masih bisa kuarahkan, aku bebas menjalankan perahuku kemanapun aku mau.

"Jadi, kau siap untuk berlayar menuju pulau impian?"

"Siap, kapten."

Dan akhirnya setelah susah payah memberanikan diri untuk melawan ombak kecil yang menghadang, aku bisa berlayar di tempat ini. Di kota besar jauh dari pedesaan yang membawa kebebasan pada langkahku. Aku tak sabar menantikan hal-hal gila yang kan menyambut langkahku.

Kutaruh perahu kertasku di dalam kotak yang akan menjadi pelabuhan sementaranya bersama perahu-perahu kertas lainnya yang sudah menemani perjalananku. Sepertinya aku akan membuat kotak baru untuk perahu-perahu kertasku. Perahu kertas yang baru kutulis ini adalah awal baru. Akan kupisahkan nanti di kotak yang lain.