"Nggak usah aneh-aneh. Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya juga di dapur." Suara nyaring itu memenuhi pendengaranku dan mengacaukan ingatanku. Air mata sudah tak bisa menahan bendungannya lagi tapi ia tetap memaksakan untuk tak jatuh. "Lihat tuh ibu kamu. Sekolah tinggi sampai ninggalin keluarganya, tapi apa yang didapat? Nggak ada. Buang-buang duit aja." "Iya. Lebih baik kamu nikah. Cari suami yang mapan biar bisa bantu ngehidupin adik-adik kamu. Lagian ngapain harus sekolah jauh-jauh? Nanti kayak kakak kamu itu kabur. Nggak ada kabarnya sampai sekarang."
Aku memejamkan mataku sambil menghirup napas dalam kemudian membuangnya perlahan. Ucapan-ucapan yang dulu begitu menyakitiku, masih saja menghantui. Kadang ia muncul dalam bentuk mimpi buruk atau terkadang ia menyelip dalam lamunanku di siang hari. Begitu besar pengaruh ucapan-ucapan tajam dari keluarga memang. Setelah sepeninggalan Ayahku, tak ada yang bisa membelaku untuk memperjuangkan impian yang selama ini kuelu-elukan. Aku putus asa dan hampir merelakan impianku. Berusaha memutuskan untuk menerima hidup sesuai dengan apa yang keluarga besarku tentukan. Terkadang, rasa pesimis yang merayuku untuk membuang segala impian, muncul ketika aku memandangi adik-adikku. Bagaimana nasib mereka jika aku tetap mempertahankan egoku untuk pergi meraih impianku? Tak mungkin aku menelantarkan adik-adikku. Ia kini menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Dalam benak, aku berpikir tak apa aku mengorbankan impianku, dan nantinya merekalah yang akan menerima takdir untuk memperjuangkan impian. Mereka masih begitu hijau. Akulah satu-satunya tempat bersandar untuk mereka.
Satu tahun aku terjebak dalam masa-masa kelam dalam hidupku. Berusaha mati-matian untuk bertahan hidup dan menghidupi adik-adikku. Tentu saja aku tidak sendiri. Masih ada saudara dari Ayah dan Ibu yang mengulurkan belas kasihnya kepada kami. Tapi tetap saja tanggung jawab sepenuhnya ada pada diriku. Bagaimanapun, akupun ingin agar adik-adikku mendapatkan pendidikan yang cukup agar masa depan mereka cerah kelak.
"Nduk, kalau kamu masih tetap ingin kuliah, bagaimana kalau kuliah disini saja? Di dekat sini juga ada universitas yang cukup bagus tho. Kamu bisa kuliah disana." Bude Sandra mencoba untuk memberikan solusi akan keresahanku. Di antara keluarga besarku, memang bude Sandra yang memiliki pandangan yang lebih terbuka dibanding dengan anggota keluarga yang lain. Sosoknya yang hangatpun selalu mengingatkanku kepada Ibu yang sudah lama alfa dari dunia.
"Ngapain tho capek-capek sekolah lagi? Udah mending kamu nikah aja. Bude denger-denger tuh si Anto lagi nyari calon. Sekarang dia udah jadi PNS. Gaji tetap, tunjangan juga dapat. Kalau kamu nikah sama dia, hidup kamu sama adik-adikmu itu pasti bakal terjamin." Timpal bude Lestari yang membuat suaraku bungkam. Malas untuk menanggapi.
"Iya bener tuh, Gi. Kamu lihat aku sekarang. Nih, buat dapetin perhiasan emas kayak gini, kamu nggak perlu capek-capek kerja. Duit juga selalu dikasih. Kalau kita nikah muda juga, semisal anak kita udah gede, kitanya masih keliatan muda. Hati-hati lho, jadi perawan tua nanti kamu." Ucapan anak bude Lestari, Mimin, tak kalah memuakkannya dengan ucapan ibunya. Apa mereka kira hidup perempuan hanya untuk menikah, memproduksi anak dan mendapatkan uang saja. Apa hanya itu definisi kehidupan bagi mereka? Sempit sekali. Banyak hal yang lebih berharga untuk diperjuangkan dibandingkan itu semua.
"Gimana, nduk?" Bude Sandra menagih jawaban atas pertanyaannya yang belum kujawab. "Kalau kamu mau kuliah disini ya nggak apa-apa. Bude bakal bantu sebisa bude."
"Tapi disini nggak ada jurusan yang Gia pengen, bude." Jawabku. Karena memang di universitas dekat tempatku kebanyakan hanya memiliki jurusan di bidang pendidikan dan agama. Juga fasilitas yang masih serba terbatas.
"Emang kamu mau masuk jurusan apa tho, nduk?"
"Sastra Inggris, bude." Jawabku singkat.
"Halah. Ngapain tho kamu tuh masuk jurusan Bahasa Inggris gitu. Mending kalau mau kuliah itu ya masuk Pendidikan Agama yang lebih bermanfaat. Terus nanti kamu bisa jadi guru disini." Bude Lestari mulai mengomel lagi.
"Gia nggak pengen jadi guru, bude." Tegasku.
"Terus apa? Penulis? Apa gunanya nulis gitu? Nggak ada duitnya. Kamu harusnya belajar dari ibumu itu. Nulis dongeng nggak jelas. Buat apa? Mending nyari kerja yang pasti-pasti." Aku tidak suka cara bude Lestari yang meremehkan impianku dan Ibu.
"Tapi guru juga gajinya kecil." Sanggahku.
"Ya walaupun kecil tapi lebih terhormat." Bude Lestari tak ingin kalah. "Lagian kamu itu egois, Gia. Tahu adik-adikmu udah nggak punya siapa-siapa, malah milih mau pergi. Tanggung jawabmu itu dimana?" Iya. Aku tahu keputusanku memang egois. Tapi akupun memikirkan semua ini dengan pemikiran yang panjang. Mencoba meraih impianku dan berharap bahwa impiankupun bisa menjembatani impian-impian adikku. "Nanti kayak kakakmu lagi, kabur gitu aja." Celetuk bude Lestari yang membuatku naik pitam.
"Kakak pasti punya alasan kenapa belum ada kabar sampai sekarang, bude." Nadaku meninggi. Kata-katanya semakin keterlaluan. Pemikiran kolot yang memuakkan.
"Sudah… Sudah… Kalau memang kamu ingin kuliah di Jakarta, persiapan apa yang sudah kamu lakuin dan gimana rencana kedepannya? Kalau untuk kehidupan adik-adik kamu disini, bude masih bisa bantu. Tapi kalau untuk kamu kuliah disana, itu sudah di luar kemampuan bude, nduk." Bude Sandra akhirnya memahami keinginanku.
"Kamu itu lho, San. Nggak usah serba diturutin. Nanti yang ada malah ngerepotin kamu. Anak kamu juga sebentar lagi udah mau SMA. Butuh biaya banyak tho. Toko kamu emang lagi lancar sekarang, tapi nggak tahu nanti. Biar Gia punya rasa tanggung jawab. Kerja atau nggak nikah buat ngehidupin adik-adiknya juga."
"Itu hak Gia mbak yu buat nentuin jalan yang dia pilih. Adik-adik Gia juga tanggung jawab kita sebagai keluarga. Bukan Gia saja. Itu gunanya keluarga tho. Saling bantu."
"Gia punya tabungan, bude. Seenggaknya untuk biaya pendaftaran awal dan kehidupan setahun disana. Setelah itu Gia mau coba untuk cari kerja sambil kuliah. Nanti kalau Gia udah dapat kerja, Gia bakal kirim ke bude buat biaya adik-adik."
"Kamu nggak perlu khawatir untuk biaya adik-adik kamu. Biar bude yang bantu. Terus untuk tinggalnya gimana?" Tanya Bude Sandra.
"Gia mau cari kosan dekat kampus bude."
"Ngekos!? Anak perempuan ngekos sendirian di luar? Nggak bener nantinya. Jadi liar nanti kamu." Bude Lestari dengan logatnya yang menyebalkan, lagi-lagi ikut campur dalam keputusanku.
"Bude juga khawatir. Gimana kalau selama disana, kamu tinggal di rumah bulek Ranti?"
"Rumah bulek jauh dari kampus incaran Gia, bude. Gia juga bisa jaga diri kok. Bude percaya aja sama Gia."
"Banyak sekali alasan. Bilang aja pengen bebas. Wong wedok kok susah di atur." Aku sudah tidak peduli dengan ucapan-ucapan bude Lestari.
Setelah itu, perdebatan masih saja berlangsung cukup lama. Setelah meyakinkan mereka akan keputusanku, akhirnya akupun diiizinkan untuk berlayar pada mimpiku menuju samudra yang luas. Mengambil alih penuh kemudi pada pelayaranku.
* * *
Hai Capt, jika saja saat itu kau melihat perjuanganku melawan ombak kecil yang menghadang, apa kau akan bangga dengan perlawananku? Berat memang, meninggalkan insan-insan terkasihmu yang masih begitu rapuh. Tapi aku harap kau bisa mengerti dan memaafkan keegoisanku. Suatu saat nanti, ketika aku telah mampu mencapai pelabuhan terakhirku, akan kubawa serta mereka untuk berlayar menuju impian yang mereka inginkan.