Chapter 5 - Perahu Kertas

Hari minggu yang menenangkan. Tak ada omelan dosen, deadline tugas yang mencekik, latihan yang menguras energi dan tak perlu bangun terlalu pagi. Dunia begitu nyaman dibalik selimut hangat yang membalut seluruh tubuh. Minggu lalu, aku sudah menghabiskan hari liburku dengan mondar-mandir di Ibukota dengan Siren untuk membeli perlengkapan sehari-hariku. Jadi aku sudah bertekad untuk mengosongkan hari liburku saat ini untuk bermalas-malasan dan tak akan beranjak kemanapun.

"Gia! Kok lu masih tidur sih? Buruan siap-siap." Teriakan Siren mengacaukan hari yang seharusnya menjadi tenang buatku.

"Siap-siap kemana sih, Ren?" Tanyaku malas-malasan sembari mengeratkan pelukan selimut yang tak mau lepas dari tubuhku. Waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi. Waktu-waktu sakral untuk bermesraan dengan kasur dan kawan-kawannya di hari libur. Tapi gadis ini justru merusak momen yang seharusnya tak bisa diusik itu.

"Hari ini gua ada janji sama Galih buat bantuin dia ngerjain tugasnya. Dia minta tolong gua jadi model buat produk yang mau dia presentasiin." Terang Siren sambil membenahi polesan wajahnya yang sudah cukup sempurna menurutku. Tak heran jika secepat itu Siren dekat dengan orang yang baru dia kenal. Apalagi kalau orang itu menjadi pusat incarannya. Walaupun belum ada genap satu minggu dia mengenal laki-laki yang hari ini akan menemaninya menghabiskan waktu. Siapa yang tidak tertarik dengan gadis cantik yang berwawasan luas? Dia juga pintar sekali dalam bergaul dan menjaga diri. "Gi, ayo dong bangun." Siren menarik lenganku sehingga menyembulkan tubuhku dari balik perlindungan selimut hangatku. Susah sekali untuk melawan keinginan nona satu ini. Akupun mengubah posisi berbaringku dengan posisi duduk, namun masih dengan mata terpejam dan penampilan yang acak-acakan. Berat sekali rasanya untuk membuka mata. "Gi." Terdengar nada putus asa dari panggilan yang keluar dari mulut Siren.

Dengan berat hati, akupun membuka kedua mataku. "Gua punya pertanyaan." Aku mengacungkan tanganku seperti seorang murid yang ingin bertanya kepada gurunya di ruang kelas. "Yang punya janji kan lu sama Galih. Kenapa gua juga harus siap-siap?"

"Gua ngerasa canggung kalo pergi berdua aja. Jadi gua bilang lu juga ikut."

"Gua menolak." Ucapku cepat kemudian kembali ke posisi ternyamanku di balik selimut hangat.

"Yah Gi, ayo dong temenin gua." Siren menggoyang-goyangkan tubuhku mencari celah untuk meruntuhkan pertahananku.

"Nggak. Gua gak mau merelakan hari bermalas-malasan gua buat jadi nyamuk."

"Lu nggak bakalan jadi nyamuk. Kan ada Akar juga."

Sesaat aku berharap apa yang kudengar salah. Itu pasti cuma akal-akalan Siren supaya aku luluh dan berakhir mengikuti rencananya yang sepihak. "Nggak." Tegasku.

Nada dering di handphone Siren berbunyi, dia mengangkatnya dengan ragu. "Halo, Lih?"

Sepertinya dari Galih.

"Iya ini gua udah siap kok, tinggal nunggu Gia doang."

Aku melotot ke arah gadis yang seenaknya mengambil keputusan sendiri itu.

"Akar juga ada kan?"

Oke. Sepertinya tadi aku memang tidak salah dengar.

"Lima belas menit lagi lu sampai? Oke oke." Siren kelihatan panik kemudian menutup sambungan teleponnya. "Gi, buruan siap-siap. Galih sama Akar mau jemput. Lima belas menit lagi nyampe." Siren panik sambil melempar handuk ke arahku. Akupun yang terbawa dengan suasana Siren, ikut panik sambil mengambil handuk yang dilempar Siren dan segera menuju kamar mandi.

* * *

Aku tidak mengerti. Mengapa aku rela mengorbankan hari mingguku yang seharusnya indah dan malah ada di dunia luar menemani nona rempong yang seenak jidatnya memutuskan bagaimana aku menghabiskan hari liburku. Aku hanya bisa membayangkan diriku dalam pelukan selimut hangat sambil ditemani deduksi-deduksi Sherlock Holmes yang rencananya akan kutonton hari ini. Ditambah camilan manis yang sudah kusiapkan di hari sebelumnya. Hari yang sungguh sempurna. Tapi kenyataannya tak bisa begitu. Dibilang menemanipun, disini aku hanya menganggur. Siren sibuk dengan posenya, mempromosikan produk yang Galih buat dan Galih memotret Siren sambil terkadang tersipu malu karena melihat paras cantik dibalik lensa kameranya. Akar juga membantu mengarahkan pose Siren agar terlihat bagus. Sedangkan aku, diantara orang-orang sibuk di studio foto yang luas ini, hanya aku yang tak mempunyai kegiatan. Menjadi penonton dengan tontonan yang membosankan. Untung saja aku menemukan kertas origami yang sama menganggurnya dengan diriku di meja depanku. Jadi kebosananku terlampiaskan dengan lipatan-lipatan yang membentuk sebuah perahu kertas.

"Wah wah wah, apa-apaan ini? Lu mau bikin pasukan?" Siren yang telah menyelesaikan kesibukannya menghampiriku yang dikelilingi dengan perahu-perahu kertas yang berjejer.

"Iya. Buat nyerbu benteng lu."

"Maaf ya, Gi. Lu jadi dianggurin." Galih yang menyusul dari belakang Siren, menimpali sembari tertawa.

"Lu hutang sepiring nasi goreng di warung Ucup ama gua ya." Ucapku mencoba menukar jasa yang kulakukan dengan sebuah traktiran.

"Gampang." Timpal Galih. "Btw, itu origami buat properti photoshoot lho." Galih menunjuk pada kertas origami yang telah kuubah menjadi perahu kertas. Dari sekian banyak kertas origami, yang masih tersisa utuh hanya tiga lembar yang tersimpan apik dalam plastiknya.

"Yah, gimana dong? Sisa tiga nih." Aku panik, takut hal yang kulakukan malah akan menganggu kegiatan mereka.

"Nggak apa-apa. Gua masih ada sebungkus lagi kok di tas buat jaga-jaga."

"Syukur deh. Sorry ya."

"It's okay. Kalo gitu gua lanjut dulu ya. Habis ini kita pindah tempat yang outdoor."

"Oke."

Galih dan Sirenpun bersiap untuk sesi photoshoot selanjutnya. Meninggalkan aku yang masih saja menganggur. Tanganku menarik kertas origami yang tersisa dan kembali membentuknya menjadi lipatan perahu kertas sembari berpikir, akan aku apakan perahu-perahu kertas yang berjejer ini?

"Sibuk banget kayaknya?" Kedatangan Akar yang tiba-tiba duduk di sebelahku mengagetkanku dan aku hanya tersenyum canggung. Merasa sedikit malu karena yang kulakukan sedikit kekanak-kanakan dengan melipat kertas origami. Ia mengambil salah satu perahu yang kubuat dan mengamatinya. Kemudian menata beberapa perahu dengan apik dan memotretnya. Sepertinya, dia dan kameranya itu sudah seperti sejoli yang tak bisa dipisahkan. "Kenapa perahu kertas?" Akar menanyakan pertanyaan yang membuatku berpikir kata apa yang tepat untuk menjawabnya.

"Mm… Suka aja." Jawabku akhirnya mengasal yang membuat ia menaikkan sebelah alisnya tampak tak puas dengan jawabanku. Aku berpikir ulang jawaban yang akan membuat pertanyaannya itu terjawab dengan tepat. "Waktu kecil bokap gua sering ngajak gua berlayar ke pulau di dekat tempat gua." Akupun menceritakan alasan yang sedikit panjang untuk menjawab pertanyaannya sembari memainkan perahu kertas yang ada di depanku. "Bokap gua suka laut, gua juga. Katanya, hidup itu seperti berlayar di samudera yang luas. Berlayar buat mencapai pelabuhan terakhir yang pelayarannya tak luput dengan ombak dan badai. Bagaimanapun dahsyatnya badai itu, gua harus bisa ngelewatinnya dan percaya bahwa badai yang paling dahsyatpun pasti bakal reda dan lautan akan stabil kembali." Aku menaruh perahu kertas yang kumainkan sembari mengingat-ingat kenangan yang bersarang dalam benak. "Makanya, setiap gua ngerasa terpuruk atau ada momen yang pengen gua bagiin ke bokap gua, gua selalu nulis di kertas yang bakal gua lipat jadi perahu kertas. Berharap, pesan gua bakal tersampaikan ke bokap gua."

"Kenapa repot-repot lu tulis di kertas? Kenapa nggak lu sampaiin aja langsung?"

Aku menoleh ke arah Akar sembari tersenyum. "Bokap gua udah meninggal setelah gua lulus SMA. Nyusul nyokap gua yang meninggal lebih dulu setelah kelahiran adik gua yang kedua."

"Sorry. Gua nggak tahu. Turut berduka ya, Gi." Akar tampak merasa bersalah telah menyinggung hal sensitif dalam kehidupanku.

"It's okay." Timpalku sembari tertawa kecil. Mencoba mencairkan suasana muram yang seketika memeluk. "Bokap dan nyokap gua adalah orang yang paling ngedukung impian gua saat orang-orang di keluarga gua ngeremehin impian gua dan bilang kalo impian gua tuh nggak realistis dan sia-sia." Pembicaraan seperti ini, membuatku teringat kejadian-kejadian di masa lalu.

* * *

Setelah melahirkan adikku yang kedua, tepatnya saat aku menginjakkan kaki di SMP, dongeng-dongeng Ibu yang seringkali kudengar, tak dapat lagi kunikmati. Ia pergi untuk selamanya meninggalkan cerita-cerita yang tak sempat ia sampaikan pada dunia. Aku sebagai anak perempuan tertua, mengambil alih perannya untuk mengurus hal di rumah dan merawat adik-adikku. Sedang Ayah bekerja banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya. Harapannya adalah seluruh anak-anaknya bisa mengemban pendidikan setinggi mungkin dan menggapai impiannya. Ia bekerja terlalu keras, sehingga ketika aku menginjak masa SMA, ia jatuh sakit. Tubuhnya yang tak sekuat dulu, membuatku tergerak untuk membantu dalam menghidupi keluarga. Di tengah-tengah kesibukan sekolahku, aku mulai bekerja dengan membuka jasa ketik. Sebagian pendapatan, kugunakan untuk membantu kebutuhan sehari-hari dan sebagian sisanya kutabung untuk persiapan kuliahku nanti. Meski ragu selalu muncul dan pertanyaan yang sama selalu menghantui, 'apakah aku bisa meninggalkan rumah untuk mengejar impianku?'. Tetapi Ayah selalu meyakinkanku dan mendukung penuh impianku itu. Hingga akhirnya harapan itu benar-benar pupus ketika kabar duka yang paling kutakuti itu hadir.

Aku baru saja hendak mendaftar perkuliahan di ibukota secara online di warnet setelah kelulusan SMA-ku. Namun panggilan telepon dari adikku memaksaku untuk menundanya. "Mbak, cepat pulang." Dia setengah berteriak memintaku untuk pulang.

"Bentar dulu, dek. Mbak baru juga sampai di warnetnya."

"Pokoknya pulang sekarang." Dia mulai menangis.

Mendengar adikku yang menangis tanpa tahu sebabnya, membuatku panik. "Kamu kenapa nangis? Ada apa?"

"Pulang, mbak. Pulang." Tangisnya semakin menjadi.

"Iya, iya. Mbak pulang sekarang ya." Tanpa pikir panjang, aku langsung menyambar tasku yang baru saja kuletakkan di meja bilik dan mengendarai sepeda motorku dengan kencang menuju rumah. Imajinasi dalam pikirku mulai menggambarkan adegan-adegan yang tak ingin kubayangkan, perasaan gelisah menggelayut menusuk-nusuk jantungku. Sesampainya di rumah, rumahku sudah ramai dengan orang-orang. Adik-adikku menangis tersedu-sedu dipeluk oleh tanteku, sedang Ayah terbaring di depannya. Aku tak mampu berkata-kata. Seluruh tubuhku lemas dan hatiku serasa remuk. Langkahku gontai menghampiri sosoknya yang sudah tak berdaya. Dunia serasa berhenti.

Orang-orang di sekitarnya bergantian memelukku sembari mencoba untuk menguatkanku. Membisikkan kata-kata yang sudah tak bisa masuk dalam inderaku karena keterkejutanku akan kenyataan yang menampar. "A… yah" Suaraku pelan sekali, nyaris tak terdengar.

"Gi, kamu yang tabah ya. Ayah kamu sudah bahagia disana bersama Ibu kamu" Salah satu tanteku mencoba untuk menguatkanku kemudian menyerahkan sebuah perahu kertas kepadaku. "Ayah kamu titip ini ke tante. Buat kamu katanya." Ucapnya sembari terisak karena harus menghadapi kepergian adiknya.

Saat kubuka lipatan-lipatannya, ukiran tangan Ayah menghiasi kertas putih di dalamnya.

* * *

"Dan apa impian lu itu?" Pertanyaan Akar membuyarkan lamunanku akan masa lalu.

Aku menoleh ke arahnya yang tampak serius menyimak ceritaku. "Jadi seorang penulis." Aku membanggakan apa yang menjadi impianku. "Gua pengen karya gua dinikmatin juga sama banyak orang dan kalau bisa jadi inspirasi atau kekuatan untuk orang-orang yang bernasib sama kayak gua. Walaupun gua nanti udah nggak ada, tapi karya-karya gua abadi."

Akar tersenyum lebar mendengar penjelasanku. "Baguslah. Tunjukkin ke mereka yang nyinyir kalau lu bisa sukses dengan mimpi lu itu."

"Tenang aja, ombak kecil nggak akan mampu menggoyahkan pelayaran gua."

"Terus sekarang lu udah mulai nulis dong?"

"Sedikit. Tapi gua masih belum pede kalau dibaca orang dan sekarang gua lagi sesi konsultasi sama bang Anwar."

"Gua penasaran."

"Tunggu ceritanya kalo udah selesai ya."

"Pasti gua tunggu."

* * *

Anakku, maafkan Ayah jika tak bisa menemani pelayaranmu hingga kau mencapai pelabuhan terakhirmu. Tugas Ayah sebagai Captain pendampingmu sepertinya cukup sampai disini. Melihat kau tumbuh kuat dan menjadi gadis yang tangguh, Ayah percaya kau mampu mengendalikan sendiri pelayaranmu. Bagaimanapun, kau harus tetap berlayar. Jangan biarkan ombak kecil, bahkan badai sekalipun menghentikanmu. Kau berhak mendapatkan apa yang kau impikan. Ayah akan selalu mendoakanmu dari jauh.

Yang selalu menyayangimu,

Ayah