Sudah menjadi tradisi di Rumah Sastra bagi anggota baru untuk membuat pertunjukan sendiri. Mulai dari produksi, yaitu pendanaan, penjualan tiket juga teknis penyewaan gedungnya hingga artistik atau segi pertunjukannya baik itu bagian peran maupun properti panggung. Kami diberi waktu selama enam bulan untuk mempersiapkannya sebaik mungkin. Dari dua puluh orang anggota baru, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok yang terdiri atas sepuluh anggota akan menampilkan pertunjukan teater, lima anggota lainnya menampilkan pertunjukan puisi dan lima anggota sisanya menampilkan pertunjukan cerpen. Aku termasuk dalam kelompok yang akan menampilkan pertunjukan teater. Kamipun disibukkan dengan mulai mencari naskah yang cocok untuk pertunjukan kami, membedah naskah, mencari pemeran melalui casting yang kami adakan dalam lingkup kelompok masing-masing. Kemudian rutin latihan satu minggu tiga kali tidak termasuk latihan rutin semua anggota hari Sabtu. Tak lupa juga kami menyusun strategi untuk mendapatkan dana dengan mengirim proposal ke instansi atau menjual tiket pertunjukan. Kegiatan yang banyak menguras waktu dan energi. Tapi meskipun begitu aku melakukannya dengan semangat dan penuh dengan ketertarikan. Ditambah tugas-tugas kampus yang mulai menumpuk. Ya! Inilah kehidupan yang aku inginkan. Penuh tantangan dan hal-hal baru. Selama ini semuanya berjalan dengan mulus tanpa rintangan yang berarti atapun ombak besar yang menghadang.
"Gi, latihan lu udah sampai mana?" Siren bertanya sambil merendahkan suaranya karena kami sedang berada di perpustakaan.
"Dari kemarin udah reading. Tapi hari ini katanya mau mulai masuk adegan. Lu gimana? Jadinya ngambil puisi siapa kelompok lu?" Tanyaku balik pada Siren yang masuk dalam kelompok puisi. Walaupun satu angkatan di Rumah Sastra, namun kami melakukan latihan antar kelompok di beda tempat dan waktu sehingga jarang mengetahui perkembangan kelompok lainnya. Selain agar fokus pada masing-masing pertunjukan, waktu luang kami juga berbeda-beda.
"Kelompok gua ngambil puisi WS. Rendra. Dan kacaunya gua lagi yang nanti bakal baca puisinya."
"Keren dong. Wah, makin banyak aja entar fans lu." Godaku.
"Mana ada."
"Sok merendah ni bocah. Emang gua kagak tahu, banyak yang ngincer lu."
"Gimana ya, emang dasarnya gua cantik." Siren membanggakan dirinya sembari menarik kedua ujung kerah flanelnya.
"Lu tahu gak, dalam mitologi Yunani ada makhluk legendaris yang namanya Siren. Dia itu makhluk setengah manusia setengah burung yang jago banget nyanyi. Saking merdu suaranya, dia jadi menarik perhatian para pelaut sampai-sampai kapal pelaut yang berlayar di wilayahnya menghantam batu karang karena terpesona sama suaranya," Siren tampak menyimak. "Kalo Siren yang ini, punya wajah lumayan cantik. Yah, walaupun suaranya juga nggak bagus-bagus amat tapi pesonanya bikin cowok klepek-klepek." Aku mulai tertawa melihat perubahan wajahnya yang serius mendengarkan ceritaku menjadi mengerut sembari cemberut.
"Sialan lo." Umpatnya sambil memukul kepalaku dan aku masih saja tertawa.
"Ehem." Dehaman yang cukup keras menyadarkan kami akan suara gaduh yang kami timbulkan. Beberapa pasang mata ternyata memperhatikan kami sedari tadi dengan tatapan jengkel. Kamipun segera meminta maaf karena menyebabkan ketidaknyamanan di ruang yang seharusnya tetap menjadi sunyi itu.
"Gara-gara lu sih." Tuduh Siren padaku.
"Kok gua?" Tanyaku sambil mendelik.
"Eh buruan kerjain tugas lu itu. Kita makan dulu sebelum latihan nanti. Tinggal dua jam nih waktu luang kita. Bentar lagi Ashar."
"Iya iya. Lu tuh dari tadi ngajak ngobrol mulu. Kapan kelarnya ini."
Siren nyengir sambil membentuk lambang perdamaian dengan jarinya.
Akupun kembali fokus pada tugasku yang tinggal beberapa halaman lagi. Biasanya kami memang mempunyai jadwal yang berbeda untuk latihan persiapan pertunjukan. Kelompok Siren yang selalu latihan di siang hari dan kelompokku yang latihan selepas Maghrib. Jadi aku mempunyai waktu di siang harinya untuk menenggelamkan pikiranku pada tugas-tugas kampus yang harus selesai sebelum waktu tenggat. Walaupun separuh waktuku kuabdikan pada komunitas yang menjadi perantara mimpiku, namun aku tidak mau ia memberikan dampak negatif pada dunia perkuliahanku. Jadi, sebisa mungkin aku mengatur antara perkuliahan dan kegiatan di luar kuliah agar bisa seimbang. Seusai kelas, yang berakhir pada pukul satu siang hari, langkahku langsung menuju perpustakaan kampus untuk menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai. Tentu saja, di sela-selanya aku menyempatkan mengisi perutku agar pikiranku tetap berjalan dengan baik. Selepas maghrib, langkahku beralih menuju taman dekat kampus, tempat berkumpulnya anak-anak kelompok teater, untuk menjalani proses yang kini masih lima bulan tersisa. Namun, pengecualian untuk hari ini. Dikarenakan ada kunjungan dari UKM jurnalis di kampus yang akan meliput kegiatan latihan kami, serentak kami semuapun akan latihan secara berbarengan selepas Ashar di basecamp Rumah Sastra. Jika berita kami diangkat di majalah kampus, tentu saja hal ini memberi keuntungan sendiri bagi kami dalam segi pemasaran. Jadi kami akan berusaha yang terbaik untuk bekerja sama dengan UKM jurnalis.
"Udah kelar, Gi?" Tanya Siren ketika melihat aku mematikan layar laptopku.
"Beres semua." Ucapku dengan memasang wajah sombong.
"Cepet uga." Puji Siren sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Makan yok. Laper." Ajakku sambil membereskan buku-bukuku yang bertebaran tak beraturan.
"Hayuk. Di warkopnya Ucok ya." Usul Siren dan aku mengangguk tanda setuju.
Ucok. Satu dari sekian teman yang kukenal setelah berada di Ibu kota. Lelaki sederhana yang ternyata menyimpan banyak cerita inspiratif. Penampilan nyentriknya ketika pertama kujumpai saat menawarkan UKM Rumah Sastra ternyata bukan penampilan sesaat yang ingin ia gunakan untuk menarik perhatian. Memang begitu adanya penampilannya sehari-hari di kampus. Celana cutbray dengan warna terang dan kemeja berbunga-bunga andalannya, menjadikan ia mudah dikenali. Hampir seisi kampus tidak ada yang tidak kenal dia. Pembawaannya yang humble dan pribadinya yang humoris membuat orang-orang nyaman berbaur dengannya. Bukan hanya itu saja, ia juga mempunyai otak yang encer dan kritis. Perjuangannya untuk bisa sampai titik perkuliahan inipun patut diacungi jempol. Sejak kecil ia sudah dilatih untuk hidup mandiri. Bahkan untuk keperluan pendidikannyapun ia berjuang dengan berjualan keliling dari rumah ke rumah seusai sekolah. Walaupun begitu, ia tidak menyerah dengan pendidikannya hingga sampai ke dunia perkuliahan. Ia berpikir, bahwa ia harus berpendidikan setinggi mungkin. Karena dengan begitu, ia bisa menggenggam masa depan yang ia inginkan. Tak masalah bersusah payah dalam prosesnya. Toh hasil tak akan mengkhianatinya yang sudah berjuang keras melawan keterbatasannya. Bahkan ia harus membagi waktunya dengan berjualan di warung kopi dekat kampus agar ia tetap bisa menikmati dunia perkuliahan. Banyak sekali warna manusia yang kutemui dalam pelayaranku yang tak hentinya membuatku kagum.
"Eh non cantik. Mau makan apa?" Ucok yang muncul dari balik bilik warungnya, langsung duduk di samping Siren.
"Gua mau mie rebus dong, Cok. Spesial pake telur ya." Siren mulai memesan.
"Telurnya berapa?" Tanya Ucok sambil tersenyum jahil.
"Dua."
"Enak dong."
"Banget."
Kedua bola mataku memutar ke atas mendengar percakapan ngawur dua manusia di depanku.
"Lu mau makan apa, Gi?" Si Ucok beralih menanyaiku.
"Sama." Jawabku singkat.
"Telurnya dua juga?" Pertanyaan jahil Ucok beralih sasaran.
"Terserah. Mau dua mau empat juga boleh." Jawabku.
"Wow." Si ucok memasang ekspresi jahil yang disambut tawaku dan Siren.
"Ucok lu tanggepin. Makin-makinlah." Celetuk Siren masih dengan tawa renyahnya.
"Oke, nona-nona manis. Ditunggu ya mie spesial buatan Aa Ucok-nya." Ucokpun beranjak dari kursi dan kembali ke dalam warung untuk menyiapkan pesanan kami.
"Jangan lupa minumnya juga, Cok. Es teh manis dua ya. Yang satu gulanya sesendok aja." Teriak Siren.
"Siap bos." Ucok dari dalam warung menimpali.
"Si Ucok satu kelompok sama lu juga kan, Gi? Dia jadi apaan?" Tanya Siren.
"Penanggung jawab musik dia. Kan jago dia aransemen musiknya."
"Humoris, pinter, jago musik. Itu kali ya yang bikin dia dengan mudahnya ngedeketin cewek. Gonta-ganti lagi. Ck ck, tampan banget emang dasar." Ucap Siren. Istilah tampan di komunitas kami, diartikan bukan seperti apa yang tercetak di Kamus Besar Bahasa Indonesia umumnya. Melainkan lelaki playboy alias lelaki yang sering bergonta-ganti gebetan. Candaan yang hanya berlaku di dalam komunitas. Saat baru pertama masuk komunitas, para lelaki angkatanku bangga sekali saat dipuji dengan kata 'tampan', tapi saat sudah mengetahui maksud sebenarnya, mereka berlomba-lomba menolak pujian itu.
"Ucok si Tampan." Ucapku membenarkan argumen Siren.
"Enak aja tampan." Yang dibicarakan langsung nongol dari balik bilik warung sambil membawakan pesanan kami membuat kami sama-sama menoleh dan tertawa bersamaan ke sang empunya suara. "Paling nggak gua tuh kalo ngedeketin satu-satu, nggak banyak sekaligus." Bela Ucok sembari menyajikan pesanan kami dan menatanya di meja.
"Tetep aja, Cok. Itu mah rumus tampan biar nggak di cap brengsek." Lagi-lagi Siren men-skakmat Ucok dengan argumennya.
"Yah paling nggak, gua tampan terhormat."
"Leh ugha." Siren dan aku menimpali berbarengan.
Setelah itu, kami berbincang dengan asyik tentang segala hal. Dunia pertampanan, cara menggaet lawan jenis, sampai hal serius tentang politik dan keresahan-keresahan yang sedang menggerogoti rakyat. Selalu saja ada hal absurd, konyol sampai hal tak terduga yang keluar dari mulut lelaki yang tak kalah absurdnya seperti lukisan Jasper Johns yang dihargai senilai satu trilliun itu. Percakapan kita terus saja mengalir sampai satu hentakan tangan di pundak Ucok menghentikan obrolan kami.
"Oi Cok, lu kagak ke basecamp?" Lelaki dengan rambut gondrong ikal yang diikat ke belakang bertanya kepada Ucok. Samar bisa tercium harum parfumnya yang wangi. Wajahnya yang putih bersih dihiasi dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Juga senyumnya yang merekah seperti buah manggis menawarkan rasa manis yang menggelitik hati. Harus kuakui, wajahnya memang tampan. Malah, wajah tampan pertama yang kulihat semenjak menjejak di kampus ini. Maksudnya, tampan dengan arti sebenarnya. Bukan tampan seperti Ucok.
"Iya. Bentar lagi. Nunggu si teman gua satu nih buat ganti shift jaga warung." Ucok menimpali.
"Ya udah gua duluan ya." Lelaki itu pergi sambil meninggalkan senyum yang membekas. Senyum yang tak kunjung pudar hingga mencipta harap untuk kembali menemui perjumpaan.
"Cok, siapa itu?" Tanya Siren setelah sosok yang dimaksud sudah tak terlihat.
"Siapa? Akar? Yang rambut gondrong tadi kan?" Ucok balik bertanya.
'Akar,' batinku.
"Bukan. Yang cowok di belakangnya tadi. Yang rambutnya pendek." Jelas Siren. Aku mengernyitkan dahiku. Memangnya ada lelaki lain tadi di belakangnya? Sepertinya perhatianku sepenuhnya tertuju pada lelaki gondrong tadi, sampai-sampai aku tak menyadari ada lelaki lain yang bersamanya.
"Galih?" Ucok mencoba menebak lagi.
"Oh Galih." Siren menggangguk-anggukan kepala.
"Kenapa? Demen lu yak?" Lagi-lagi tebakan Ucok ngawur. Tapi melihat tanggapan Siren yang berdiam diri dan tampak sedang berpikir itu, sepertinya gadis ini memiliki sedikit ketertarikan pada lelaki yang ia maksud.
"Hmm… Lumayan ganteng sih." Aku Siren. "Eh tadi dia bilang mau ke basecamp. Jangan-jangan dia…" Belum selesai Siren mengutarakan tebakannya, Ucok memotong,
"Dia dari UKM jurnalis yang mau ngeliput proses latihan Rumah Sastra."
Sontak aku dan Siren memelototi jam dinding yang menempel di depan tembok warung. Sisa sepuluh menit sampai janji pertemuan dengan masing-masing kelompok. "Kok lu nggak bilang-bilang udah jam segini sih, Cok." Siren mengomel sambil dengan cepat menghabiskan sisa makanannya.
"Lu juga kenapa masih tenang-tenang aja. Sebentar lagi waktu ngumpul." Aku tak kalah paniknya dengan Siren.
"Gua mah udah izin sama pak sutradara kalo bakal telat karena nungguin teman gua yang ganti shift jaga warung." Jawab Ucok dengan santainya.
Setelah aku dan Siren berhasil menghabiskan makanan kami, kamipun bergegas pergi menuju basecamp. Dalam hati aku berharap, perwakilan dari UKM jurnalis belum sampai di basecamp. Akan memalukan sekali kalau ia menyaksikan kami yang telat ini, kena sembur oleh pak sutradara karena telat.
* * *
Capt, ada yang menggelitik dalam pelayaranku. Satu senyum yang menanggalkan bayang pada pergantian siang dan sore. Entah bagaimana bisa, ia menawarkan warna yang berbeda.