Chapter 2 - Rumah Sastra

"Kakak suka menulis?" Pertanyaan itu diajukan oleh seorang laki-laki bertubuh kurus yang membawa selebaran pamflet di tangannya. Tampaknya ia sedang mempromosikan sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada di kampus atau yang biasa disebut UKM karena memang di lobi kampus sedang ada pameran UKM untuk mahasiswa-mahasiswa baru. "Atau mungkin kakak tertarik dengan teater?" Lelaki berpenampilan nyentrik dengan celana cutbray berwarna merah menyala dan kemeja kuning bermotif bunga-bunga bertanya kembali sembari menunjukkan gaya sumringah dengan gigi tonggosnya. Aku sedikit terkejut dengan penampilannya yang nyentik tapi unik itu. Terlebih kepercayaan dirinya di tengah kampus yang banyak sekali lalu lalang mahasiswa. "Nah, kalau kakak tertarik, kakak bisa mengikuti Rumah Sastra. Jadi Rumah Sastra ini adalah komunitas sastra yang bergerak dalam bidang teater, puisi dan cerpen. Ini pamfletnya bisa dibaca dulu. Kalau mau mendaftar, langsung ke stand yang di pojok sana ya, kak." Lelaki itu menunjukkan stand yang tak jauh dari kami berdiri.

"Makasih kak. Saya baca-baca dulu ya." Ucapku sembari menunjuk pamflet yang ia beri.

"Sama-sama kak." Lelaki itu tersenyum sembari mengedipkan mata sambil berlalu pergi dan melanjutkan mempromosikan komunitasnya.

Aku yang tak habis pikir dengan tingkah terakhir laki-laki itu mematung saking herannya. Kemudian tertawa geli karena kulihat memang pembawaan lelaki itu memang tipe-tipe lelaki konyol dan humoris. Perhatiankupun berpindah pada pamflet yang baru saja kuterima. Rumah Sastra ya? Kelihatannya menarik. Komunitas itu juga bisa menjadi wadah untukku memperdalam dunia kepenulisan yang aku sukai dan lagi sepertinya teater juga seru. Aku ingin sekali mencoba tampil di panggung dan menjadi karakter yang berbeda-beda dalam setiap pertunjukan. Tanpa pikir panjang, langkahku berjalan menuju stand yang ditunjuk oleh lelaki nyentrik tadi.

"Halo kak. Saya Adam ketua Rumah Sastra. Ada yang bisa dibantu kak?" Sambut lelaki yang jauh berbeda dengan lelaki nyentrik tadi. Lelaki yang ini terlihat lebih rapi dengan kemeja batiknya dan tubuh yang sedikit gembul. Cara bicaranya juga halus dan lembut khas mas-mas Jawa.

"Saya ingin mendaftar di Rumah Sastra, kak." Jawabku.

"Baik kak. Kalau boleh tahu kakak dari jurusan apa ya?"

"Sastra Inggris semester pertama."

"Kalau begitu silakan diisi dulu formulirnya ya kak." Katanya ramah sembari menyodorkan selembar kertas. "Kita ada pertemuan setiap hari Sabtu jam sepuluh ya, kak. Diharapkan kakak membawa baju ganti karena akan ada latihan dasar. Untuk tempatnya nanti di share di grup ya kak setelah Whatsapp kakak tergabung di grup kami." Lanjutnya yang disambut dengan anggukanku. Setelah mengisi formulir dengan lengkap, aku menyerahkannya kembali kepada lelaki yang kuketahui namanya sebagai Adam.

"Gia." Tangan seseorang menepuk pundakku membuatku sontak menoleh ke arah suara.

"Eh, Ren. Ada kelas?" Tanyaku pada yang empunya suara.

"Iya nih. Lu ikutan Rumah Sastra juga?" Siren, gadis yang mempunyai wajah cantik dengan rambut panjang tergerai yang juga menjadi teman serumahku semenjak kemarin bertanya dengan antusias.

"Juga?" Tanyaku heran.

"Gua juga ikut Rumah Sastra. Udah seminggu ini sih." Jawabnya.

"Yang bener!? Wah, asyik dong kita satu UKM. Tapi nggak heran sih kalo lu juga ikut UKM ini. Lu kan juga suka nulis. Tapi kenapa baru sekarang ikut? Kan lu udah semester tiga. Sebelumnya lu ikut UKM apa?"

"Nggak ikut UKM apapun. Tapi ya, biasalah mahasiswa baru pengennya fokus belajar. Tapi kalo cuma kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang doang bosen juga." Gadis itu tertawa membuat lesung pipit di pipinya terlihat jelas. Gadis ini manis sekali. Seperti tokoh utama dalam suatu cerita romantis. Tokoh utama yang diidam-idamkan para lelaki. Dari gaya berpakaiannya saja sudah bisa diprediksi bahwa gadis ini cukup populer. Dengan kaos yang dibalut kemeja flannel juga celana jeans yang ia kenakan, ditambah aksesoris ikat kepala motif suku Lombok yang bertengger di kepalanya yang menjadi ciri khasnya. Apalagi kalau sudah memulai cakap dengan gadis ini. Pembawaannya asyik dan wawasannya luas. Terlebih jika membicarakan tentang dunia sastra dan sejarah perjuangan Indonesia. Banyak ilmu baru yang kuketahui dari celotehannya. Sastrawan yang paling ia banggakan adalah Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan asal Blora yang juga pernah diasingkan di Pulau Buru ketika masa pemerintahan Orde Baru. Karena pengaruh gadis inipun aku mulai tertarik untuk membaca karya Pram, dimulai dari salah satu dari empat seri novel semi-fiksi sejarahnya, Bumi Manusia.

"Eh, urusan lu udah kelar belum? Makan yuk di kantin. Gua ada kelas lagi jam tiga. Masih dua jam lagi nih."

Aku menyetujui ajakan Siren dan segera melangkah ke tempat yang ia maksud.

"Lu lagi nulis novel kan, Gi? Gimana perkembangannya?" Siren membuka pertanyaan setelah kami sudah duduk di meja kantin.

"Yah gitu." Jawabku seadanya.

"Gitu gimana?"

"Baru beberapa bab yang udah gua tulis. Tapi gua stuck di bagian nyambungin per adegan gitu. Apalagi waktu awal cerita ke konflik. Konfliknya sih udah gua bikin bahkan ending-nya juga udah ada gambaran di otak gua. Tapi ngejahit per adegan itu tuh yang susah. Gimana supaya dari pengenalan ke konflik bisa pecah dan nggak ngebuat pembaca bosen."

"Hmm… Gimana ya? Nulis tuh emang harus sabar dan detail sih. Apalagi nulis novel. Kalau nulis novel gitu ilmu gua masih cetek. Selama ini gua ngedaleminnya nulis puisi kan. Yang penting lu ngejelasin per adegannya tuh rinci dan kudu bisa ngebuat si pembaca ngerasain juga apa yang dirasain si tokoh. Dan yang paling penting setiap adegan harus ada daya tarik yang ngebuat pembaca penasaran dengan adegan selanjutnya." Jelas Siren dan dibalas dengan anggukanku. "Di Rumah Sastra nanti gua kenalin deh sama senior disana. Dia jago banget dalam dunia penulisan. Dia juga udah beberapa kali nerbitin buku. Lu pasti bakal cocok buat diskusi masalah kepenulisan ke dia."

"Bolehlah. Sabtu nanti bareng ya ke basecamp-nya."

"Siap."

* * *

Napasku terengah tiada henti. Keringat mulai bercucuran membasahi pakaianku. Lelah mulai memeluk dan memaksa untuk berhenti sejenak. Tapi tubuhku harus tetap bergerak mengikuti aba-aba dari lelaki yang terlihat garang di pojok lapangan. Kepalaku mulai pusing tapi segera kuenyahkan pikiran itu. Aku bisa. Aku masih bisa bertahan.

"Tinggal lima putaran lagi. Yok semangat yok." Teriak lelaki bertubuh gelap dengan suara lantangnya sambil bertepuk menyemangati. Sial. Sudah lama aku tidak olahraga. Berlari seperti ini membuat tubuhku kewalahan. Apalagi lima puluh putaran. Gila. "Diatur napasnya. Suaranya lebih keras lagi." Teriaknya. Aku beserta anak-anak lain yang ikut serta dalam pelatihannyapun mengikuti aba-abanya. Berlari sembari meneriakkan abjad vokal dengan lantang. "Ingat ya. Pakai suara perut."

Tidak pernah terbayang dalam benak jika UKM yang aku ikuti akan berjalan seperti ini. Aku kira kami hanya akan dilatih untuk menulis dan bagaimana menciptakan suatu karya yang baik. Tapi karena UKM inipun juga nantinya akan menampilkan suatu pertunjukan, jadi fisik kitapun dilatih bagaimana cara menguasai panggung. Pernapasan, suara, gerak, imajinasi, kita harus menguasai itu semua dan menyatukannya dalam sebuah pertunjukan. Oleh karena itu, setiap pertemuan sebelum ke pembahasan inti, kami akan melakukan latihan dasar yang berfokus pada olah tubuh, vokal dan rasa selama dimulainya pelatihan sampai tengah hari.

Rumah sastra memiliki tiga divisi. Teater, puisi dan cerpen. Tapi sebagian besar dari anggota baru yang berjumlah dua puluh orang, lebih condong ke teater. Memang di antara ketiga divisi, teater yang paling menonjol dan terlihat lebih menarik karena kami nantinya akan tampil di panggung serta memerankan sandiwara yang akan ditonton banyak orang. Aku sendiripun memilih divisi itu. Bukan karena diriku yang suka berdrama, tapi ada suatu hal yang menarikku untuk bergelut di bidangnya. Bukankah akan sangat menyenangkan menjadi orang yang berbeda pada setiap pertunjukkan. Walaupun nantinya kami semua juga akan mempelajari ketiga divisi tersebut. Sepertinya aku memang tidak salah memilih perantara untuk menggapai pelayaranku.

Setelah berhasil mengkhatamkan lima puluh putaran pertamaku, kami berkumpul membentuk lingkaran dan mulai dengan pemanasan tubuh. Di awali dengan melemaskan kepala, pundak, tangan, pinggul hingga kaki. Tentu saja dengan masih diiringi suara abjad vokal. Latihan olah tubuh dan vokal yang kami lakukan sangat penting dalam seni pertunjukkan. Sebelum memainkan sebuah peran, aktor dituntut untuk menguasai tubuhnya karena tubuh merupakan hal penting yang akan digunakan sebagai media penafsiran dari sebuah lakon. Begitupun vokal yang harus bisa dikuasai dari segi emosi nyata yang tersampaikan melalui dialog. Intonasi nadapun dapat mempengaruhi pesan yang dibawakan oleh seorang aktor. Ada lagi yang tak kalah pentingnya, yaitu olah pikiran atau rasa. Pada bagian ini yang berperan adalah imajinasi pemain yang mengundang kepekaan rasa terhadap emosi tokoh dan menghayati karakter yang akan diperankan. Latihan olah rasa, biasanya diselipkan oleh Rumah Sastra di ujung pelatihan olah dasar. Satu dari tiga inti dasar latihan yang kusuka.

Setelah selesai latihan dasar, kami beristirahat sejenak dan makan bersama. Kami menggelar dua helai daun pisang dan meletakkan nasi beserta lauk di atasnya kemudian berjejer sambil kaki bersila satu agar semua mendapatkan tempat. "Standar satu, standar satu." Teriak mereka. Hal baru yang kudapatkan. Menyantap makanan bersama seperti ini sudah menjadi kebiasaan di Rumah Sastra agar menambah erat chemistry kami. Karena kami akan berproses bersama, maka kami harus saling mengeratkan diri. Untuk pertama, aku masih merasa canggung. Apalagi aku tidak terbiasa berbagi makanan dari satu tempat yang sama. Tapi karena lelah akibat latihan dasar dan perut yang sudah mulai menagih, akupun memaksakan diri untuk menyuapkan makanan ke mulutku. Lama kelamaan aku mulai beradaptasi dan berpikir bahwa berbagi seperti ini cukup menyenangkan juga.

* * *

"Gi, lu mau langsung pulang?" Tanya Siren ketika melihatku berbenah.

"Kan udah selesai pertemuannya. Udah sore juga." Timpalku setelah usai mengikuti sisa kegiatan yang diisi dengan perkenalan komunitas dan pengenalan tentang ketiga divisi.

"Nanti aja pulangnya. Gua kenalin ke senior yang waktu itu gua certain. Kita ngobrol-ngobrol aja dulu."

"Boleh."

Setelah aku mengiyakan, Siren langsung membawaku ke saung yang ada di depan basecamp. Tempat biasanya anak-anak berkumpul dan berdiskusi. Disana terlihat ramai. Ada yang bermain musik, ada yang sedang mengobrol dan ada juga yang bergelut dengan layar laptop di hadapannya seakan tak menghiraukan kebisingan yang ada di sekitarnya.

"Bang." Siren mengaburkan konsentrasi pria yang dengan asyik bermesraan dengan layar laptopnya. Pria dengan usia sekitar tiga puluh tahun dan memiliki aura kebapakan yang kuat, menoleh ke arah Siren. Ia sering dijuluki dengan bapaknya Rumah Sastra, karena beliau termasuk yang dihormati di Rumah Sastra dan jika ada sesuatu, anak-anak pasti akan berdiskusi dengan beliau. Entah itu masalah program Rumah Sastra ataupun kepenulisan. Beliau juga salah satu pendiri dari Rumah Sastra yang sudah berusia tiga tahun. Berangkat dari kerisauan beliau yang memandang kurangnya kegiatan sastra di kampus, khususnya jurusan Sastra Bahasa Indonesia. Lalu beliau bersama ketujuh temannya mendirikan UKM ini sebagai wadah untuk melestarikan sastra di benak para mahasiswa.

"Eh, Ren." Pria itu tersenyum dan menyambut kepalan tangan Siren dengan kepalan tangan miliknya, salam khas anak Rumah Sastra.

"Baru pulang kerja bang?" Tanya Siren. Karena sedari tadi lelaki yang dihadapannya itu memang tidak terlihat selama kami berkegiatan hari ini. Lelaki itu mengiyakan pertanyaan Siren. "Ini nih bang temen gua waktu itu yang gua certain lagi nulis novel." Siren memperkenalkanku.

"Gianira, Bang." Aku memperkenalkan diri sembari menjulurkan tanganku.

"Anwar" Ucapnya sambil menyambut uluran tanganku. "Gimana nih gimana? Novel tentang apa?" Dia langsung menyambut antusias namun masih dengan mempertahankan ketenangannya.

Aku tertawa kecil sambil malu-malu menjawab, "baru belajar sih, bang. Novel tentang mimpi gitu." Aku merasa tak percaya diri untuk membanggakan tulisanku di hadapan orang yang sudah punya pengalaman jauh lebih hebat dibanding diriku.

"Bagus bagus." Dia menanggapi.

"Tapi sekarang lagi stuck bang. Bingung cara ngejahit per adegannya. Terus karena sempat rehat satu bulan, jadi putus emosinya dan susah buat ngebangun adegan selanjutnya." Entah karena aura yang dimilikinya, aku langsung nyaman saja berkeluh dan berdiskusi dengannya tentang masalahku.

"Udah sampai mana memang nulisnya?"

"Baru sampai bab lima sih bang. Baru mau masuk ke konfliknya."

"Mana coba sini gua baca novel lu."

"Yah, nggak gua bawa bang. Minggu depan ya, bang pas kesini lagi." Aku agak menyesal tidak mempersiapkan naskahku. Aku tidak menyangka akan disambut dengan begini antusias.

"Atau nggak lu kirim aja naskah lu ke email gua biar gua baca. Nanti kita diskusiin sambil ngopi."

"Boleh bang. Nanti malam gua kirim ke email lu ya bang." Aku senang karena beliau begitu terbuka dan serius menanggapiku. Setelah itu, kita lanjut mengobrol tentang dunia kepenulisan dan segala hal yang menarik sampai langit mulai gelap. Pekatnya malampun tidak mengurangi aktifitas di tempat itu, malah makin ramai dengan para penyair dan pujangga yang berdendang dengan puisi-puisi dan kegelisahannya.

* * *

Perahuku berlayar dengan begitu mengasyikkan. Di atas lautan yang luas ini, aku bisa melihat berbagai warna. Bahkan kegelapan malampun terlihat indah dengan taburan bintang-bintang yang bergemerlap dengan sangat jelas. Dari kejauhan bulan purnama berseri-seri membagikan sinarnya. Hangat dan menggembirakan.