Deviana sudah tiba di butik terlebih dahulu. Ben jadi merasa tidak enak karena ia telat datang.
"Hai, Dev," sapa Ben sambil tersenyum.
"Hai, Ben." Deviana melambaikan tangannya dengan senyum sumringah.
"Maaf aku telat. Tadi aku baru saja ke rumah ibuku," ucap Ben menjelaskan pada Deviana.
Wanita itu tersenyum sambil mengaitkan rambutnya ke belakang kupingnya. "Tidak apa-apa, Ben. Uhm, apa ibumu tahu kalau aku ke sini?"
"Ya. Aku sudah memberitahunya."
Deviana meringis. "Aduh, aku malu. Apa ibumu berkata sesuatu?"
Ben menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Kenapa kamu jadi gugup begitu? Ibuku tidak ada di sini, tenang saja. Ayo kita masuk."
Ben mengajak Deviana untuk masuk ke dalam butik.
"Selamat pagi, Ben," sapa Klarin. "Siapa gadis cantik ini?" Klarin tersenyum pada Deviana.
"Halo, saya Deviana, temannya Ben." Lalu Deviana mengulurkan tangannya sambil tersenyum pada Klarina.
"Halo, saya Klarina. Silakan Mbak mau mencari gaun yang bagaimana?"
"Uhm, aduh saya belum tahu mau gaun yang seperti apa." Deviana terkekeh malu-malu.
Lalu Ben merangkul bahu Deviana sambil tersenyum. "Tenang saja, Dev. Nanti aku bantu pilihkan. Kita naik ke atas dulu yuk."
Deviana tampak semakin gugup saat Ben merangkulnya seperti itu. Namun, bagi Ben, wanita itu hanyalah sekedar teman saja, tidak lebih dari itu.
Setelah itu, mereka sama-sama naik ke lantai dua dan melihat-lihat koleksi gaun yang terbaik. Gaun-gaun itu adalah hasil desain dari bibinya Ben, Aunt Cen Fey.
Deviana terkesima melihat gaun-gaun indah itu dan mencoba beberapa yang menurutnya sesuai. Sebenarnya, Ben agak kecewa karena Deviana malah memilih gaun yang sederhana dan lebih cocok untuk ibu-ibu.
Padahal Deviana itu masih muda dan cantik. Seharusnya wanita itu memilih gaun yang lebih seksi. Ben pun mendecak.
"Dev, aku pikir gaun itu tidak cocok untukmu," ucap Ben sambil menautkan alisnya.
"Hah? Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan gaunnya?" Deviana menggerakkan bahunya kiri dan dan kanan sambil menatap dirinya di depan kaca.
Ben menggelengkan kepalanya sambil mengernyit. "Kamu itu cantik dan badan kamu bagus, Dev. Koleksi gaunku banyak. Kenapa kamu memilih gaun yang itu?"
"Tapi ini kan …."
"Klarina, tolong ambilkan gaun yang waktu itu pernah dipakai oleh Herneta," kata Ben pada Klarina.
Segera saja Klarina mengangguk dan mengambilkan sebuah gaun dari balik ruangan.
"Herneta? Herneta Yuliana? Penyanyi ibukota itu?" tanya Deviana terperangah.
"Ya, Herneta pernah mengenakan gaun itu untuk mengisi sebuah acara off air. Tenang saja. Gaun itu tidak akan terlihat pasaran," janji Ben.
Lalu Ben menyuruh Deviana untuk masuk lagi ke balik ruang ganti untuk mengganti gaunnya dengan yang baru. Dan ketika Klarina menyibakkan tirainya, Ben langsung tersenyum puas.
"Nah ini baru oke."
Deviana tampak gugup menutupi belahan dadanya yang tampak lebih indah karena gaun itu. Hal itu sama sekali tidak perlu karena sebenarnya gaun seksi itu membuatnya menonjolkan keindahan tubuhnya yang tidak ia sadari sebelumnya.
Gaun itu berwarna rose gold, berbentuk duyung dengan rempel-rempel yang menghiasi bagian bawah roknya. Saat Deviana bergerak, gaun itu tampak berkilau tertimpa cahaya lampu.
"Kamu yakin jika aku akan mengenakan gaun ini?" Deviana tampak ragu menatap dirinya di depan cermin.
"Tentu saja, Dev. Kenapa kamu tidak yakin?"
Deviana pun tersenyum malu-malu. "Ini pertama kalinya aku mengenakan gaun seindah ini. Bagaimana jika yang lain hanya mengenakan gaun sederhana?"
"Aku sudah beberapa kali melihat acara prom night yang diadakan di kampus kita. Tak ada yang mengenakan gaun sederhana. Beberapa yang keuangannya memadai bahkan menyewa seorang desainer untuk merancang gaun terbaik untuk mereka," kata Ben menjelaskan pada Deviana.
Lalu Deviana pun menghela napas. "Aku harus mengenakan sepatu hak tinggi."
"Tentu saja! Klarina, tolong ambilkan sepatu yang pas untuk Deviana," perintah Ben.
Klarina pun langsung mengambilkan sepasang sepatu berwarna emas yang cocok untuk gaun itu. Sepertinya sepatunya agak kepanjangan sedikit, tapi itu tidak masalah.
Deviana pun berjalan dengan kaku mendekati Ben. Sambil menggeleng, Ben pun tersenyum.
"Berdirilah yang tegak, Dev. Lalu angkat dagumu," ucap Ben sambil mempraktekkan cara mengangkat dagu. "Apa kamu mau terlihat malu-malu di depan Gani? Begitu caramu mendapatkan perhatiannya?"
"Ti-tidak."
"Kalau begitu, kamu harus percaya diri. Ayo sekarang jalan lagi."
Deviana maju beberapa langkah dan kemudian Ben menautkan jemarinya ke tangan Deviana dan menaruh tangan yang satu lagi ke pinggang Deviana.
Wanita itu sontak terkejut