Aku masuk kamar setelah menyiapkan air hangat untuk Ridho. Mengunci pintu dari dalam. Menangis di atas bantal. Menuangkan rasa sedihku. Setengah jam menangis serasa sia- sia air mataku. "Aah sudahlah, mulai sekarang jangan ada air mata untuk Ridho," Tekadku dalam hati. Tak ada gunanya menangisi laki- laki pengecut seperti dia. Untuk menghibur diri aku menghubungi Kinanti dan Ibu.
Hari berganti kami seperti orang asing dalam satu rumah. Aku fokuskan dengan pekerjaan, Ridho asyik dengan kekasih atau istri barunya, entahlah. kalau ada waktu aku habiskan untuk keluar bareng Kinanti dan temen lainya. Yang Kinanti tau, aku sedang bahagia. Sampai suamiku mengijinkan keluar bersama teman-teman.
Sebulan kemudian.
"Rania!" Panggil Ridho dari luar pintu kamarku.
Tok... Tok..
Aku Membuka pintu, Ridho berdiri di balik pintu. Wajah Ridho melunak tak seperti biasanya ketus dan dingin.
"Rania, kamu sudah tidur?" tanya Ridho lembut. Aku mengeleng pelan.
"Maaf ganggu, tapi ada yang ingin bicarakan sama kamu, boleh aku masuk?"
"Silakan." Jawabku datar.
Ridho duduk di pinggir Bed. Mukanya tegang, ikutan tegang melihatnya.
Ia terdiam sesaat seperti ada hal yang penting ia ingin utarakan.
"Rania...." Panggil Ridho seperti berat keluar kata- kata itu. Aku makin penasaran.
"Ada Apa Ridho?" tanyaku menatap lurus laki- laki di depanku.
"Maafkan aku Rania, Arini hamil, kami sudah menikah sebulan lalu."ucap Ridho menunduk.
Duerr...
Aku memejamkan mata berusaha kalau berita ini benar. menatap kosong di depanku. Serasa jiwaku lepas dari yangragaku. Nyeri merayap ke seluruh Hati.
Tes. Hanya air mata yang mewakili perasaanku saat ini. Tapi Segera ku hapus, tak ingin lemah di hadapan Ridho.
Aku masih diam, Ridho kemudian menggenggam tanganku. Perlahan aku lepaskan. Ingin secepatnya berpisah dengan laki- laki pengecut ini. Tapi bagaimana dengan persahabatan Ayahku dan Ayah Ridho? Menghela napas sebentar memikirkan semua ini.
"Ceraikan aku mas! Aku mundur dari hidupmu!" ucapku datar. Menahan air mata yang ingin tumpah. Arini sudah mengandung anaknya untuk apa aku di sampingnya? Lebih baik mundur dari hidup Ridho, Tak seharusnya aku berkorban terus- menerus tapi tak di hargai.
Ridho bersimpuh di kakiku, ia menangis.
"Ku mohon jangan Rania, aku takut Jantung Ayahku kambuh, aku belum bisa kehilangan dia, huhu...." Ridho menangis di kakiku.
"Kenapa saat menikmati tubuh Arini dan menikahinya kau tak memikirkan kesehatan Ayahmu? Tanyaku emosi. Dia egois hanya memikirkan perasaan sendiri dan Ayahnya tanpa peduli perasaanku.
Ridho terdiam.
"Ku mohon Rania, jangan minta cerai dariku! Aku tak sanggup kehilangan Ayah!
"Kenapa? Bukankah sudah ada Arini di hidupmu? Untuk apa aku di sini? Tanyaku menatap tajam Ridho.
" Ku Mohon Rania! Jangan lakukan itu! Ayahku belum tau kalau aku menikah lagi,"
Deg.
Why ko bisa? Kalian menikah siri? tanyaku tak percaya.
Ridho mengangguk. Ia beranjak lalu duduk di sampingku.
"Ku mohon Rania, jangan minta cerai dariku. demi Ayahku," ucap Ridho menunduk. Raut wajahnya menyiratkan penyesalan. Ia kemudian keluar dari kamarku.
Aku bimbang antara menyudahi pernikahan ini atau bertahan demi Ayah mertua. Ridho menahanku karena Ayahnya bukan mencintaiku lalu untuk apa aku bertahan untuknya? Aku merebahkan diri. Pusing memikirkan ini semua.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku berkorban demi persahabatan orang tua?"
Ridho kembali lagi ke kamarku, aku beranjak duduk termenung, pikiranku tak tenang. Gamang dengan perasaanku saat ini. Ingin rasanya kabur dari rumah ini.
"Rania, Selama menikahimu aku tak peduli apapun tentang kamu dan kewajibanku sebagai suami. Ini ATM, di dalamnya ada uang, sebagai tanggung jawabku sebagai suami. Pinnya tanggal lahir kamu," Ridho menaruh kartu ATM itu di tanganku.
Aku menolak ATM dari Ridho.
"Yang berhak Terima ATM ini Arini, dia sedang mengandung anakmu," ucapku sendu.
"Terimalah Rania! Jangan membuatku merasa bersalah sebagai suami yang tak bertanggung jawab." Ia menaruh ATM di tanganku lalu pergi dari kamarku. memandangi kartu ATM gold di tangan, Lalu meletakan di nakas. Tak selera memegang kartu ATM itu. Perasaanku gamang. Kacau. Kepalaku serasa mau pecah memikirkan ini semua.
Aku ingin jalan- jalan keluar menghilangkan stres.
berganti pakaian, tak lupa jaket menutupi dingin yang mulai datang. Saat ini jam tujuh malam, tapi setelah hujan reda hawa dingin menusuk kulit. Ridho sedang nonton TV, tapi ku lihat matanya menatap layar TV, tapi pikiranya entah kemana.
"Mau kemana Rania? tanya Ridho melihatku memakai jaket. Kekhawatiran dia bukan mencintai aku tapi itu demi tak kabur dari rumah ini.
"Mau keluar jalan-jalan, di rumah sumpek," Jawabku datar.
"Aku antar ya," Ridho menawarkan diri.
"Nggak usah, aku bisa sendiri." ucapku datar lalu melangkah ke garasi. Ridho menahan tanganku.
"Aku antar Rania! Mana kuncinya? Ridho meminta kunci. Aku mendongak, Ridho menegadahkan tanganya.
"Mana kunci motornya?" Tanyanya lagi. Dia tak rela aku keluar sendirian. takut kabur. "Cepat atau lambat aku pasti kabur dari rumah ini," ucapku dalam hati.
Terpaksa aku menyerahkan kunci motorku. Ridho tersenyum, seakan memenangkan sesuatu. Ia menyalakan motor hitamku dengan enggan aku duduk di belakangnya. Ia Melajukan hondaku menuju pusat jajanan kuliner malam yang tak jauh dari perumahan kami.
Diam saja aku di boncengan Ridho, tak ingin berbicara apapun. Motor terus melaju. Hanya ada keheningan di antara kami. Motor berhenti di depan gerobak martabak.
"Wait, kenapa dia tau kesukaanku ya?"
Kami berdua turun dari boncengan. Ia memesan martabak telur, tampak sangat semangat memesanya. Lalu tersenyum ke arahku, Ia juga mencoba mengenggam tangan tapi aku tolak, malas bersentuhan kulit dengan dia.
"Mas, ini martabak telurnya udah selesai," Ridho membayar Martabak itu. Kami pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Ridho berusaha mengajakku berbincang. Tapi aku hanya membalas seperlunya saja. Mendengar dia menikah lagi dan istrinya sedang hamil membuatku terpukul, saat mulai ada rasa di hati ini, ia hempaskan ke jurang kekecewaan.
Tak lama kemudian, motor sampai di depan gerbang rumah, aku turun dan langsung masuk ke dalam, Ridho berjalan di belakangku. Meletakkan martabak di meja.
Melihatku membuka pintu kamar, Ridho mencegahnya.
"Rania, martabak nya di makan dulu, dari tadi kamu belum makan kan?" tanya Ridho khawatir atau pura- pura khawatir, aku tak peduli itu.
"Nanti, kepalaku pusing," Jawabku bohong. Kepalaku baik- baik saja tapi tidak jiwaku. Ridho diam terpaku melihatku masuk ke dalam.
Aku Merebahkan diri di bed. Ingin rasanya waktu berputar cepat, melewati sakit hati ini. Mataku mengantuk tapi teringat belum sholat isya. Aku Ke kamar mandi dan wudhu. Melaksanakan empat rokaat. Selesai sholat Memohon petunjuk atas cobaan pernikahan yang aku alami.
Bersambung.