Chereads / Isi Hati Rania / Chapter 12 - Bab. 11. Kedatangan Arini.

Chapter 12 - Bab. 11. Kedatangan Arini.

Aku berusaha menerima takdir ini, entah sampai kapan. Orang tua Ridho maupun orang tuaku tak tau Ridho sudah menikah lagi. Kami menyembunyikan berita ini dengan rapat.

Sehabis sholat subuh, aku membuka jendela. Menghirup udara segar lalu membuang pelan, menganti oksigen dari paru- paruku. Termenung sejenak, hidup ini Terkadang hidup penuh misteri, tak tau di depan, Cobaan yang menanti atau bahagia yang menyambut di depan mata. Saat ini Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Sebelum menikah Ridho sudah jujur, bahwa ia punya kekasih. Ia tak menginginkan pernikahan ini, ia frustasi pelampiasanya menghamili Arini. Mendengar kekasihnya hamil aku ingin mundur dari hidup Ridho.

Toh sudah ada Arini di sampingnya. Tapi saat Ridho menangis di kaki ini memohon untuk bertahan di sisinya. Aku memikirkan lagi untuk minta cerai darinya. Bukan demi dirinya tapi demi Ayah mertua. Menghela napas ketika mengingat itu. Ayah mertua sangat baik padaku, aku juga tak mau dia kenapa-napa hanya karena keegoisanku.

Aku turun ke bawah, Mbok Yem sedang meracik bahan makanan untuk membuat makan pagi.

Ia kaget saat melihatku datang.

"Mbak Rania ngagetin aja,"

Aku tersenyum geli. Wanita setengah baya ini yang selalu menghiburku saat aku sedih, untuk selalu kuat di samping Ridho. Katanya jadi perempuan itu harus sabar dan kuat. Nanti lama-lama akan timbul cinta di hati Ridho. Tak taulah aku tak berharap cinta dari Ridho. Ku hanya bisa iya saja- saja mendengar wejangan dari Mbok Yem, menghargai nasehat orang yang lebih tua.

Hari ini kami masak nasi goreng dan goreng peyek udang. Itu makanan kesukaan Ridho.

Ridho turun dari tangga, ia sudah rapi bersiap ke toko atau ke rumah istrinya?

Ia tersenyum manis padaku. Aku menanggapi datar saja. Sejak kemarin ia baik padaku, juga perhatian. Tapi aku tau diri.

Semua ku lakukan demi Ayah mertua, Ia sudah sangat baik padaku.

"Pagi Rania? Masak apa? Baunya harum banget? Perutku jadi laper nih." ucap Ridho mengelus perutnya sendiri.

" Mbok Yem, goreng peyek udang," Jawabku singkat sambil menarik bibir sedikit. Walau Ridho berubah baik tapi aku tak ingin melibatkan hati dalam hubungan pernikahan ini. Aku ingin menjaga hatiku agar tak sakit hati lebih dalam lagi.

"Mas Ridho mau sarapan?" tanya Mbok Yem.

"Udah mateng mbok?"

"Udah,"

"Mbok Yem tolong siapkan sarapan untuk Mas Ridho, aku mau mandi."

"Baik mbak," jawab mbok Yem singkat.

Ridho terdiam, saat aku berlalu dari hadapannya. Apa ia ingin aku menyiapkan sarapan untuknya?

Ridho menarik kursi dan duduk di atasnya.

Saat akan menaiki tangga ku lihat Ridho makan pagi dengan lahap. Sejuk melihat Ridho sarapan di rumah. Aku melangkah ke kamar, mengambil handuk dan melakukan ritual mandi tapi terlalu lama. Aku keluar dengan handuk melilit di tubuhku. Mengeringkan rambutku

Memakai baju kantor dan bersiap berangkat. Aku turun ke bawah membawa tas di tangan kiriku. Ku lihat Ridho masih duduk di ruang makan.

Melihatku turun dari tangga ia berdiri.

"Rania, kamu mau berangkat kerja sekarang? Aku antar ya."

Aku kaget mendengar tawaran Ridho. Why?

"Tidak usah Mas Ridho, aku berangkat sendiri saja," ucapku santai.

Aku menarik kursi dan menyiapkan makan untukku sendiri. Ridho masih duduk menungguiku. Ada dengan dia? Entahlah, yang penting aku sarapan terus pergi ke kantor.

Aku menatap Ridho yang masih duduk sambil main ponsel. Beberapa panggilan ia reject. Why kenapa tak di ladeni istrinya?

Selesai sarapan, aku pamit sama Mbok Yem, juga meninggalkan uang untuk belanja bulanan.

"Mbok Yem, aku berangkat kantor dulu ya,"

"Iya hati- hati mbak Rania, jangan lupa berdoa kalau naik motor,"

"Iya mbok," ucapku tersenyum lalu segera melangkah menuju garasi. Ridho masih mengikuti di belakangku. Aku heran dengan tingkahnya hari ini.

"Rania, mana kunci motornya biar ku sampai kantor," ucap Ridho sembari menegadahkan tanganya. Aku menatapnya datar.

"Aku nggak mau di antar mas, aku udah janjian dengan Kinanti, ini kan udah jam tujuh apa nggak di tunggu Andi? Biasanya Mas setengah tujuh udah berangkat?" tanyaku sedikit emosi.

Selama pernikahan ini pertama kalinya Ridho menawarkan diri untuk mengantarku berangkat kerja. Biasanya boro- boro menawarkan diri aku di anggap pun tidak.

"Kasihan kamu nanti capek," ucap Ridho lagi. Aku malah semakin jengah dengan ucapanya. Aku sudah tau akal- akal dia saja. Agar aku tak meminta cerai darinya.

Aku mengeluarkan motorku dari garasi. Padahal mobil Ridho udah di depan gerbang tapi belum berangkat juga.

Aku menstarter motor Hondaku menuju kantor. Tak perdulikan Ridho yang merengek ingin mengantarku. Jarak dari rumah ke kantor agak jauh semenjak ikut pindah ke Ridho membutuhkan waktu satu jam.

****

Aku dan Kinanti bersiap pulang.

"Rania sebelum pulang kita makan bakmi goreng di Pak Yono, langganan aku saat masih SMA."

Aku berpikir sejenak, lalu mengiyakan ajakan Kinanti.

"Okelah," ucapku mengiyakan.

Kinanti dan aku sama- sama udah menikah tapi belum punya anak, suaminya kerja di Kapal PELNI, terkadang jarang pulang. Membuatnya sering kesepian.

Kami berdua menikmati waktu bersama. Melupakan masalah untuk sementara. Hingga waktu beranjak sore. Aku harus menyudahi jalan-jalan ini, karena bagaimanapun aku masih punya suami. Beda dengan Kinanti yang suaminya jarang di rumah.

"Kinanti, aku pulang dulu ya. Udah jam lima, takut nanti sampai rumah kemaleman,"

"Oke lah, nanti Ridho nyariin lagi. Sana gih pulang," usir Kinanti tertawa.

Aku hanya tersenyum menanggapi ledekan Sahabatku. Ia belum tau kalau Ridho menikah lagi. Sengaja aku tutup rahasia ini. Tak ingin Kinanti merasa kasihan padaku.

Sampai di rumah, pintu gerbang terbuka, ada sandal wanita di depan pintu. Jantungku berdenyut lebih kencang. Di dalam suara wanita tertawa bahagia bersama Ridho. Aku menajamkan pendengaran. Ya itu suara Ridho bersama seorang wanita. Apakah yang di dalam Arini? Melangkah pelan saat akan masuk ke dalam. Mencoba menguatkan hati.

"Assalamualaikum," sapaku memasuki ruang tamu. Ridho bersama wanita cantik di sampingnya, ia tengah bergelayut manja di lengannya, sedangkan Ridho mengelus perut Arini.

"Aah ... apa kalian sengaja membuatku sakit hati?" tanyaku dalam hati.

"Walaikum salam, jawab Ridho tergagap kemudian berdiri, ingin menyambutku.

Ciih aku tak sudi di sambut. Batinku

" Kamu sudah pulang. Rania," sapa Ridho salah tingkah.

"Iya, maaf aku mau naik ke atas dulu," ucapku datar.

"Maaf Mbak Rania sebentar," ucapan Arini menghentikan langkahku. Aku berbalik badan dan menatapnya datar. Perutnya sedikit membuncit, wajahnya terlihat pucat. Mungkin ia hamil dua bulan.

"Aku Arini. Istrinya mas Ridho juga, semoga kita bisa akur ya mbak," ucap Arini mengulurkan tanganya tapi dari raut wajahnya sangat kentara kalau ia sengaja mengejekku karena merasa menang telah merebut hati Ridho apalagi saat ini dia sedang mengandung anaknya.

Aku berusaha tersenyum walau terpaksa

"Aku Rania. Maaf aku mau ke atas dulu, habis pulang kerja badan lengket. Silakan kalian kalau mau mengobrol," ucapku datar.

Bersambung.