Pov Arini.
Aku bahagia bisa menjadi istri Mas Ridho, impianku tercapai. Memiliki Mas Ridho, ia punya dua toko, Mebel dan Cat. walau aku harus memakai cara ekstrim, menyerahkan kesucianku dulu untuk memilikinya. Sakit hati, merana, dunia seperti runtuh saat Mas Ridho ijin untuk menikahi seorang wanita yang di jodohkan oleh Ayahnya. mereka di jodohkan saat masih kecil. Naif memang di dunia yang sudah modern ini masih ada perjodohan. tidak hanya siti Nurbaya korban perjodohan. Tapi anak muda abad 21 pun masih ada yang mengalami perjodohan.
Ayah Ridho dan Ayah Rania bersahabat lama. Mereka sengaja mengeratkan persahabatan menjodohkan anak-anaknya agar hubungan menjadi saudara. saat aku mendengar itu sangat sedih. Mas Ridho terpaksa menuruti Ayahnya, karena Ayahnya menderita sakit jantung. Ia tak mau Ayahnya mendadak masuk Rumah sakit karena menolak untuk di jodohkan.
Melihat aku sedih, Mas Ridho kemudian memelukku, membisikan kata, ia berjanji akan selalu mencintaiku juga tak pernah menyentuh Istrinya. Aku lega mendengarnya, seengakmya aku masih ratu di hati Mas Ridho. Hari ini sengaja aku ingin ke rumah Mas Ridho, ingin melihat reaksi istrinya melihat kedatanganku. Ternyata sampai rumah Rania belum pulang, ia membuatku iri. Bekerja di Bank, daripada aku kuliah belum lulus tapi keburu hamil. Nggak apa-apa lah, yang penting bisa memiliki Mas Ridho aku udah bahagia banget.
"Mas, mbak Rania belum pulang ya." tanyaku sambil bergelayut manja di lenganya.
"Iya belum, biasanya dia udah pulang."
"Kemana dia! hampir maghrib ko belum pulang! Istri ko kelayapan di luar! sengaja aku memanas-manasi suamiku. Agar dia membencinya segera menceraikanya. Aku perhatikan sekarang Mas Ridho sering menghawatirkan Rania? Kan aku lagi hamil. Harus aku yang jadi prioritas utama dong.
Ridho tampak berpikir sebentar, tak tau apa yang di pikirkanya. Puas rasanya memanas- manasi suamiku. Berharap ia hanya memilihku tanpa ada wanita lain. Sejujurnya aku tak suka jadi nomer dua. Aku ingin menjadi satu-satunya istri Mas Ridho.
"Assalamualaikum," sapa wanita berpakaian rapi. warna navy, cantik. Malah sangat cantik. Matanya teduh, hidung bangir serta bibir tipis. Di tambah lipstik warna pink menghiasi bibirnya membuatnya makin cantik. Aku merasa kalah cantik dengan dia. Rambutnya di gelung ke atas menambah keanggunan wanita itu. Ya itu Rania istri pertama dari Mas Ridho dan aku membencinya.
"Walaikum salam," jawabku Sembari berdiri lalu mengulurkan tangan. Sejenak ku perhatikan raut wajahnya yang berubah?
Apa dia cemburu? Aku suka kalau dia cemburu. Malah lebih bagus, aku menaikan bibirku ingin mengejeknya, ya aku lebih menang dari dia. Aku mendapatkan cinta Mas Ridho. Sedang dia hanya pajangan di rumah ini. Saat ini juga aku telah mengandung anaknya.
Rania mencoba tersenyum padaku, walau ku lihat dia terpaksa melakukanya. Semakin aku ingin mengejeknya.
"Mbak, Aku Arini. Istrinya Mas Ridho juga," ucapku tersenyum sarkas. Wanita di depanku raut wajahnya berubah. Kami berjabat tangan. Tapi ia dingin menanggapinya.
"Iya, aku Rania Maharani. Maaf aku mau ke atas. Mau mandi." jawaban singkat dari Rania. Membuatku sangat senang. Aku berhasil membuatnya cemburu.
Saat Rania naik ke atas, aku tersenyum dalam hati. Ingin rasanya melonjak kegirangan seperti anak kecil mendapatkan permen.
"Aah, kasihan sekali Rania!" batinku puas.
"Mas, aku boleh nginep sini ya, anakku pingin deket ama Ayahnya nih! Rayuku pada Mas Ridho sambil mengusap- usap perutku. Aku ingin memanas- manasi Rania lagi.
" Tapi?" Bimbang hati suamiku saat aku ingin menginap di sini. Sebal melihatnya saat plin plan seperti ini.
Akhirnya suamiku menyetujui aku menginap di sini. Toh ini rumah suamiku seharusnya aku juga berhak di sini dong.
Aku naik ke atas ternyata kamar suamiku dan Rania berdekatan. hanya terpisahkan sofa dan tivi.
"Sayang, ini kamarnya ?" tanyaku manja. Sengaja suaraku agak di keraskan supaya Rania mendengarnya kalau aku sedang bermanja dengannya.
Saat aku melongok ke arah kamar Rania. Pintu kamarnya tertutup rapat. Mungkin ia tak mendengar apa sengaja menulikan diri? Huuh sebel aku. batinku.
Pov Rania.
Aku menaiki tangga lantai atas langsung ke kamar. Baru saja have gun bareng Kinanti. pulang di sambut istri kedua Ridho. Huhh... Inginku remas wajahnya. sepertinya ia ingin memanas-manasiku
"Baiklah aku ladeni, Tuhan bantu aku untuk kuat menghadapi ini semua." batinku perih.
Aku masuk kamar mandi, lalu melepas semua bajuku. Merendam diri di bath up. Tak lupa ku bubuhkan sabun Aroma terapi. Aku memejamkan mata.
Serasa Stres langsung hilang dari pikiranku
Selesai ritual mandi, langsung memasang headset di telinga, stel ponsel lagu sholawatan. Lagu-lagu islami
Sedikit menenangkan kegundahanku. Tak lama kemudian aku sudah berpindah ke alam mimpi.
****
Aku mengeliat saat Alarm berbunyi. Beranjak dan kemudian sholat subuh. Saat melewati kamar Ridho, mereka sedang bercanda. Itu membuatku dadaku sesak tiba- tiba. Aku menghela napas pelan melonggarkan pernapasan sebentar.
Di bawah Mbok Yem sedang memasak.
"Pagi Mbok? Mau masak apa?"
"Nggak tau mbak, aku lagi nggak mood masak?"
"Kenapa?"
"Ada istrinya Mas Ridho di sini, tak suka. Serasa sempit lihat dia di sini!"
"Jangan gitu Mbok, dia juga kan istrinya Mas Ridho.
" Tapi gayanya itu lah mbak, sok tengil!"
"Udah Mbok, jangan gibahin orang, dosa."
"Iya, ya. Astaghfirullah."
"Kalian udah masak?! Tolong yang cepet ya! Ibu hamil udah lapar!" perintah Arini yang tiba-tiba muncul. Untung dia tak mendengar mbok Yem kita baru saja ngomongin dia. Jantungku serasa senam pagi mendengar suara Arini. Mood untuk membantu Mbok Yem Ambyar. Ku putuskan naik ke atas, ingin mandi dan segera ke kantor.
Selesai mandi, dan bersiap ke kantor. Aku melihat Arini dan Ridho duduk di ruang makan. Mereka sarapan bersama. Selera makanku hilang melihat kebersamaan mereka.
"Rania, kita sarapan bareng." ajak Ridho. Aku menoleh sambil memakai sepatu di kaki kiri.
"Aku sarapan di kantor aja mas, udah di tunggu Kinanti." jawabku singkat.
"Ya udah hati- hati di jalan," ucap Ridho
Aku mengangguk sebagai jawaban.
Ku dengar Arini protes saat beri perhatian padaku.
"Kenapa sih mas, pake bilang hati- hati segala sama Rania! dia kan udah gede! bisa jaga diri !"
"Iya, nanti lagi nggak." ucap Ridho singkat. Aku tersenyum getir mendengar ucapan Ridho. Ternyata Ridho juga nurut aja sama Arini kayak kerbau di cucuk hidungnya. Tapi itu tak membuatku baper, biarinlah. Aku melangkah keluar, melajukan honda ke tempat kerjaku.
Sampai di kantor, ponselku berdering. Nama Ridho tertera di layar. Malas sekali mengangkatnya. Tapi ponsel berdering lagi.
"Rania, kamu udah sampai di kantor?"
"Ini baru aja sampai mas, maaf Kinanti sudah memanggilku," sengaja pake alasan di panggil Kinanti. Aku males teleponan berlama- lama dengan Ridho.
Bersambung.