Aku lebih suka masuk kantor, dari pada meladeni. Ridho dan Arini. Pagi-pagi membuatku mood hilang saja. Sampai di kantor, memarkirkan motorku di garasi. Kinanti juga tersenyum padaku. Ia memperhatikan wajahku yang datar. mencoba menghiburku Sengaja ia menyapaku dengan senyuman khasnya.
"Pagi Rania, napa wajahmu di tekuk begitu? Habis bertengkar kamu sama Ridho?"
"Hmm... Tau aja kamu," ucapku mencoba tersenyum. Kami berdua masuk kantor, sengaja tak cerita keadaan yang sebenarnya. Aku tak mau Kinanti masalahku, karena ini merupakan aib keluarga kecilku, selama aku bisa menjaganya. Tak ingin bicarakan dengan Kinanti.
"Masuk yuk, udah hampir jam delapan nih," ucapku sembari mengalihkan perhatian Kinanti agar tidak kepo masalahku. aku ingin pendam masalahku sendiri.
Sepulang dari kantor aku ingin masuk ke kamar, tapi suara Arini menghentikan langkahku.
"Rania! Tolong dong ambilkan minum!" Aku menoleh ke arah Arini. Raut wajahnya meminta tapi seakan mengejek. Ingin rasanya ku lempar wajahnya dengan tasku.
Aku kesal, kenapa dia seenaknya saja memerintah ku. Dia punya dua tangan.
"Kau kan punya tangan Arini! Juga ada mbok Yem. Kenapa malah memerintahku? Aku baru pulang kerja capek? Apa kau sengaja mengerjaiku? tantangku emosi.
"Kan aku minta tolong sama kamu? Ini permintaan bayi, siapa tau kamu juga ikutan hamil kalau mau menolongku!"
Hatiku memanas, mendengar ucapanya barusan. Bagaimana aku bisa hamil suamiku menyentuhku juga tidak?
"Mbokk Yem!" Aku memanggil Mbok Yem, tak lama kemudian Mbok Yem muncul dengan tergesa-gesa. Ia kaget mendengar suaraku yang keras.
Ia terlihat sedikit takut.
" Ada apa mbak Rania?" tanya Mbok Yem.
"Tolong ambilkan minum untuk Nyonya besar di rumah ini! Sepertinya ibu hamil ini sedang malas." Aku menatap tajam Arini, yang di tatapnya membuang muka.
"Aku mau naik ke atas, badanku lengket semua," Aku tak peduli tatapan Arini yang tak suka dengan ucapanku. Segera langkahkan kaki naik ke atas. Arini sewot dengan ulahku. Biarin lah Aku tak peduli.
Tak lama kemudian mbok Yem membawakan Teh hangat untuk Arini.
"Mbak Arini, ini teh manis silakan di minum,"
"Nggak haus Mbok!" ucap Arini sembari berlalu dari hadapan Mbok Yem. Aku yang sengaja melihat dari lantas hanya geleng- geleng kepala.
'Aiih istri Ridho kayak anak kecil,' batinku.
Mbok Yem kesal, udah di buatin minum malah nggak di minum. Ia membuang teh manis di pot dekat ruang tengah. Ia geram dengan tingkah Arini yang seperti kekanak- kanakan.
****
Setelah mandi, aku rebahan di bedku, liat status di Fb dan IG milik orang lain. Juga lihat update pakaian fashion terbaru.
Tok... Tok..
"Rania buka pintunya dong! Teriak Arini di balik pintu. Aku malas berbasa basi dengannya ngapain dia kesini?" batinku.
"Arini, ngapain di depan pintu kamar Rania?" tanya Ridho, aku bisa mendengar dari di dalam kamar.
"Eeh, Mas Ridho udah pulang," sapa Arini senang melihat suaminya pulang.
"Dah, masuk kamar, jangan ganggu Rania. Biarkan dia istirahat! ucap Ridho.
"Iya, jawab Arini lemas. Aku juga tak tau maunya ketika ketok pintu kamarku.
Aku menghela napas lega, suara langkah Arini menjauh dari kamarku. Itu artinya Arini meninggalkan kamarku mengikuti Ridho ke kamar.
Pov Author.
Saat berada kamar, Arini cemberut. Wajahnya di kusut kayak habis di remas.
"Mas, kenapa sih? nggak ceraikan saja Rania? Kan udah ada aku? istri kamu." rajuk Arini.
Ridho yang baru saja buka kemejanya menatap Arini heran.
" Aku kan udah pernah bilang alasanya, kamu nggak usah nuntut terus kenapa sih?
"Mas sekarang ko jadi lemah gini sih? rajuk Arini lagi.
"Dah lah bahas nanti, aku mau mandi," ucap Ridho kesal, kemudian melangkah ke kamar mandi.
Arini merengut tidak di perhatikan suaminya. Tampak berpikir bagaimana caranya Rania bisa meninggalkan rumah ini, ia ingin satu- satunya menjadi istri Ridho.
Ridho habis mandi, meraih sisir kemudian menyisir rambutnya yang basah.
Ia duduk di samping istrinya yang merengut sambil pegang ponsel di tangan kirinya.
Ridho mencium rambut Arini.
"Mas, kamu cinta sama Rania ya?" pertanyaan itu membuat Ridho tidak suka.
"Arini tolonglah, nggak usah ungkit itu. Kamu kenapa sih? kan aku bilang semua itu demi Ayah! tolong kamu mengerti Arini!" ucap Ridho kesal. Ia kemudian memeluk guling dan memunggungi Arini. Saat ini ia galau, belum siap Ridho kehilangan Ayahnya.
Arini langsung terdiam saat mendengar ucapan suaminya. Tapi hatinya masih tak Terima. Ingin rasanya ia mengusir Rania dari rumah ini.
Semakin dongkol dengan penjelasan suami.
****
Rania hendak bersiap berangkat kerja. Ia memakai baju warna maroon, semakin anggun di tambah rambutnya di gelung keatas. Tak sengaja mereka berpapasan dengan Arini dan Ridho.
Arini langsung buang muka saat melihatku. Seperti jijik melihat mukaku, aku juga tak suka melihat mukanya.
Ridho mencoba tersenyum padaku, tak enak dengan Arini. Aku pasang wajah datar. Aku diam saja, lalu pergi dari hadapan mereka tanpa sepatah kata pun.
Mbok Yem sudah menyiapkan sarapan di meja. Sebentar lagi Arini dan Ridho juga sarapan. Lebih baik aku sarapan di kantor saja.
"Rania, kamu nggak sarapan dulu?" tanya Ridho menghentikan langkahku. Aku berbalik badan. Di samping Ridho Arini cemberut, bibirnya di monyongkan kayak ikan louhan. Geli aku melihatnya.
"Belum lapar mas, aku sarapan di kantor saja," ingin mencium tangan Ridho seperti suami istri lainya yang bepergian. Tapi aku urung melakukan itu, saat belum ada Arini di sini juga aku dan Ridho tak pernah melakukanya. Apa lagi sekarang ada Arini semakin Membuatku malas melakukan itu.
Aku melajukan hondaku ke kantor, tapi tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku menepikan motorku di tepi jalan. Mengambil ponsel yang sedari tadi bunyi.
Nomer tak di kenal, karena penasaran ingin aku mengangkatnya. Tapi belum sempet mengangkat ponsel itu mati. Lalu nomer itu meninggalkan pesan.
"Rania, nggak usah genit dengan mas Ridho ya, awas kamu!" dari gaya bahasanya ia pasti Arini. Aku tak mau membalasnya. Ku masukan lagi ponselku ke dalam tas.
"Huuh, kirain siapa, bikin kaget saja deh." batinku. Aku melanjutkan lagi melajukan motorku. Sejenak menghela napas. Semenjak ada Arini di rumah, tiap hari senam jantung terus. Aku tak tak sampai kapan ini berakhir.
Aku sampai di kantor, di parkiran ada Ridho berdiri di samping mobil. Ia juga menenteng kotak stereo form di tangan kirinya.
Mencoba tersenyum padaku tapi tak ku pedulikan senyum itu. Malas sekali melihat Ridho berada di sini.
"Kamu kemana aja? Aku nungguin dari tadi. Ini bubur ayam, sama telur ayamnya buat sarapan." Ridho menberikan padaku. Sejenak aku memandang Kotak sterofoam itu. Ragu ingin aku menerimanya, tapi Ridho menatap tajam saat pemberian ya belum di Terima. Terpaksa aku menerima bubur itu dari tangan Ridho.
Bersambung.