Wajah Arini di tekuk seperti uang kertas lima ribuan di remas, sepertinya tak senang ikut Ridho pindah Rumah baru.
"Ceklek"
Pintu di buka, Ridho membawa dua koper dan menaruhnya di pojok kamar. Sedang Arini melenggang ke atas menuju lantai dua berdiri di pinggir balkon kamar. Memandang daerah perumahan sekitarnya. Tapi hatinya tak tenang, ATM Rania berada di tangannya. Ia takut kalau Rania memberi tahu Ridho, apa dia akan marah?
"Huuufff..." Arini menghembuskan nafas pelan. Hatinya gundah memikirkan itu. Mengelus perutnya yang mulai membuncit. Arini juga punya ketakutan kalau Suaminya menyukai Rania. Tak rela kalau Ayah dari anak yang di kandungnya akan jatuh ke pelukan Rania.
Ridho melangkah menyusul Arini di lantai atas. Terlihat Arini sedang berdiri di balkon. Ridho memeluk pinggang erat.
"Sayang, kamu di sini?" Ridho mencium pipi Arini.
"Heem," jawab Arini singkat.
Ridho menatap istrinya lekat. Merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Ada apa Arini? Kau seperti menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Ridho pada Arini.
"Aah enggak Mas, nggak enak badan
aja,"
"Sayang, ayoo kita keluar, beli peralatan dapur," Arini tampak berpikir sejenak. Lalu menjawab Oke.
Mereka masuk mobil, Arini duduk di samping Ridho. Tapi pikirannya tidak fokus. menatap lalu lalang mobil yang terlewat. Gelisah, memangku dompetnya. Ia takut kalau Ridho memergoki ATM Rania ada di dompetnya.
Mobil berhenti di Mall Plaza. Ridho memarkirkan mobilnya. Dengan segan Arini turun. Sinar mentari menyengat kepala membuat Arini tak semangat. dapur. Tapi terpaksa mengikutinya.
Ridho meraih tangan Arini untuk di gengamnya. Kali ini diam saja. Menurut dengan tindakan suaminya yang manis kali ini. "Aah apa pikiranku terlalu berlebihan? Nyatanya Ridho masih bersikap manis begini?
Pramuniaga manis menyambut mereka berdua. Mereka melangkah menuju stand alat- alat dapur.
Ridho dengan semangat memilih peralatan dapur. Arini terharu melihatnya. Ia jadi semangat memborong keperluan dapur. Ada magic com, blender, juga alat- alat masak. Setelah penuh satu troly. Ridho membayar belanjaan itu di kasir.
Belanjaan mereka di bantu juga oleh pegawai Mall itu. Saat Arini akan membantu memasukan barang. Ridho melarangnya.
"Kamu lagi hamil sayang, jangan angkat berat- berat. Masuk mobil saja." perintah Ridho.
Arini mengangguk lalu masuk kedalam mobil. Hatinya menghangat dengan perhatian Ridho. Ia langsung masuk mobil dan duduk di kursi depan. Tak lama kemudian Ridho masuk ke dalam mobil duduk di samping Arini. Melihat Arini senyum padanya. Ridho mengelus kepalanya. Sudah lama tak melihat wajah semringah itu. Keputusanya menempati rumah baru adalah yang terbaik. Agar suasana kedua istrinya baik- baik saja. Sejenak Ridho teringat Rania. Sedang apa dia ya?
Tak ingin melamun, ia menstater mobilnya. Melajukan menuju rumah. Sampai di Rumah Ridho menurunkan barang- barang belanjaan. Lagi-lagi Arini tak boleh membantunya. Ia tersenyum lalu melengang masuk ke dalam rumah. Merebahkan diri di sofa. Tiba-tiba keinginan menyantap bakso menyeruak. Rasanya enak sekali kalau siang bolong begini menyantap bakso hangat.
Melihat suaminya selesai menaruh barang di dapur ia mengutarakan keinginannya.
"Mas, aku pingin makan bakso," ucap Arini sembari mengelus perutnya.
"Oke, aku beli dulu," Ridho kemudian melangkah keluar. Melajukan mobilnya mencari warung bakso. Setengah jam kemudian akhirnya ia menemukan warung bakso yang lumayan rame. Ridho membeli bakso dua bungkus. Setelah selesai Ridho langsung pulang ke rumah. Ayah dan Ibu Rania melihat Ridho masuk mobil, belum sempat menyapanya mobil Ridho sudah jalan. Mereka membeli bakso, dan ingin makan bersama Rania dan Ridho.
Ayah dan Ibu Rania, Sampai di Rumah Rania. Tak ada mobil Ridho di teras. Mereka bingung, lalu Mengetok pintu Rania baru pulang kerja, masih memakai seragam Bank. ia kaget saat Ayah dan Ibunya di depan pintu sambil membawa dua kantong plastik warna hitam.
"Ridho mana? Ibu lihat Tadi beli bakso. Tapi ko mobilnya nggak ada di teras?"
Aku kaget saat Ibu menanyakan itu. Bingung harus menjawab apa. Tapi ide cemerlang terlintas di kepala.
"Mas ridho main ke rumah temennya Bu," Akhirnya ide itu terlontar dari mulutku. Aku masih ingin menutupi pernikahan Ridho. Tak tau sampai kapan.
"Ooh ya udah. Tolong ambilkan Mangkok Rania, Ibu beli bakso nih."
"Iya Bu." jawab ku singkat. Aku bisa bernapas lega hari ini Arini sudah pindah dari sini. Mereka tak tau kalau menantu kesayangannya menikah lagi. Tak bisa membayangkan kecewanya mereka kalau tau hal ini. Aku ke dapur mengambil tiga mangkok. Ku tuang bakso di atasnya.
"Rania, ini sandal kamu? Ko kecil sekali? Bukan ne nomer sandal kamu 39 ya?" tanya Ayah . Seketika tubuhku menegang. Ada sandal milik Arini tergeletak pasrah di depan TIvi. Sandal itu ukuran 38. Padahal hampir sama ukuranya kenapa Ayah jeli banget ya?
'Astaga itu kan sandal milik Arini, kenapa dia bisa ceroboh itu sih' batinku.
"Eehm, itu punya anaknya Mbok Yem aku pinjem Ayah," ucapku bohong sembari tersenyum semanis mungkin. Agar Ayah tak curiga kebohongan ku.
Aku mengambil sandal itu dan menyerahkan sama Mbok Yem.
"Mbok, ini tolong di simpen sandalnya." kataku menyerahkan sandal itu.
"Nggak di buang saja mbak?
" Jangan Mbok, siapa tau Arini datang lagi cari sandalnya."
"Anaknya mbok Yem namanya Arini?" tanya Ibu tiba- tiba datang dari arah belakang.
"Iya Bu," Kataku sambil beri kedipan tanda pada mbok Yem. Untungnya mbok Yem tau kedipanku.
Aku lega melihatnya. Balik badan Bergabung di meja makan bersama Ayah dan Ibuku. Kini giliran Ibu menemukan karet tali rambut di kursi makan. Saat Ibu akan mengeser badan bokongnya menyenggol sesuatu.
Ibu menunjukan karet rambut ke padaku.
"Ini juga punya anaknya Mbok Yem juga?"
Deg.
Tenggorokanku tercekat. Hanya bisa berdoa dalam hati agar Ayah tak curiga.
"Iya Ayah." Jawabku singkat. Kemudian meminta gelang karet di dari tangan Ibu.
"Rania, pakai barang kamu sendiri dong. Jangan pinjem terus punya Arini. Malu lah,"
"Iya Bu, oh ya Bu gimana keadaan Andre. Kenapa dia di tinggal sendiri?" tanyaku mengalihkan perhatian mereka.
"Andre lagi tidur, kami berdua keluar cari bakso. Ia juga pesen bakso. Tadi di warung bakso liat Ridho masuk mobil sepertinya juga baru beli bakso. Kirain dia di rumah. Kami ingin makan bareng. Sudah lama nggak kumpul dengan Ridho, ya Bu."
"Iya, Ibu pingin makan bakso bareng si Ridho ternyata orangnya tak di rumah." Nada kecewa dari suara Ayah.
"Kapan- kapan bisa ketemu lagi Ayah, nanti aku bilang sama Mas Ridho. Biar kita ke Ayah makan bakso bareng. Gimana?
"Oke... Ayah tunggu." ucap Ayah semangat.
Bersambung.