Arini tak tenang seharian, Ridho tak bisa di hubungi. Saat ke toko mebel, toko cat tak ada Ridho di sana. Cemas, bingung jadi satu. Entah apa yang terjadi dengan Ridho di hubungi pun susah.
Arini kembali memencet nomer suaminya. Kali ini tersambung. Ponsel Ridho sudah aktif.
Drrrt..
"Halo Arini, ada apa? tanya Ridho lesu.
"Kamu di mana mas? Seharian ponselnya nggak aktif?" cecar Arini khawatir.
"Aku di rumah Ibu, Ayah sakit. Dah ya, kita ketemu di rumah." Ridho langsung menutup teleponnya. Ia berjalan menuju mobilnya lalu melajukan menuju rumah Arini. Tak lama kemudian sampai di rumah, Arini sudah datang memberondong pertanyaan.
"Mas, kamu dari mana saja sih? Dari rumah Rania ya? Aku tak percaya kamu dari rumah Ibu. Pasti dari rumah Rania ya? Kan aku sudah bilang ceraikan Rania! Kan sudah aku sekarang, aku lagi hamil lagi! Arini ngomong merepet ke mana-mana. Ridho pusing mendengarnya.
"Stop Arini! Aku pusing!" Perintah Ridho. Ridho langsung naik tangga dan menuju kamarnya. Meninggalkan Arini di ruang tengah. Saat ini hanya ingin sedikit ketenangan.
Emosi Arini naik ke dada, tangannya mengepal menahan amarah. tak Terima Rania mengoda suaminya. Ini yang dirinya takutkan tak serumah dengan Rania. Ridho tergoda dan jatuh ke pelukan Rania. Tak bisa mengawasi setiap saat.
Arini mengambil ponsel di sakunya. Memencet nomer Rania.
Drrrt..
Dua kali panggilan tak terjawab. Arini kesal sendiri. Kemana sih Rania, gumam Arini kesal.
Ia melihat jam di dinding. Pukul dua belas siang. Itu artinya Rania istirahat. Kenapa tak di angkat sih panggilanku? gumam Arini. Ia mencoba sekali lagi menghubungi Rania mumpung saat ini jam istirahat. Kesal, emosi masih bergelut dalam dada. Tak rela kalau Ridho sampai jatuh ke pelukan Rania. Ia ingin beri peringatan sama Rania.
Ia mencoba sampai tiga kali menelpon Rania. Nama Arini terpampang di layar HP. Dengan perasaan malas, aku mengangkatnya.
"Halo, ada apa?" tanyaku ketus. Hari ini aku mengurus kepulangan Ibu. Ibu sudah di perbolehkan pulang. Keadaanya sudah membaik. Hanya dokter berpesan agar menjaga emosi dan perasaannya agar tak semakin parah.
"Enak ya, ketemuan sama Mas Ridho!" tuduh Arini tanpa perasaan. Hatiku bergejolak ingin ku memaki dia. Tapi otakku masih waras, tak ingin memancing keributan di RS. Aku menghela napas pelan, menenangkan emosi yang naik ke ubun- ubun.
"Kenapa Arini? Mas Ridho juga suamiku, Ada yang kau takutkan! Kau takut kehilangan Mas Ridho, hah?" Sindirku tegas.
"Dasar wanita tak mau malu, sudah tak di cintai suamiku. Masih ngejar-ngejar!"
"Kenapa Kalau ngejar-ngejar kenapa hah? kau takut Arini! Bukankah kau sudah mengikatnya. Ada anak di antara kalian?
" Jaga ucapanmu Rania!" Bentak Arini dari seberang sana. Dan berdengging di kupingku. aku langsung jauhkan dari telingaku. ku matikan ponsel. Tak enak dengan perawat di depanku. Ia sedang mendata administrasi kepulangan Ibuku. Aku membayar tagihan RS. Setelah selesai aku kembali ke kamar Ibu. Masih di temani Ayah tengah bersiap untuk pulang.
"Administrasinya udah selesai Rania?" tanya Ayah saat aku masuk ke dalam.
"Udah Alhamdulilah, Rawat inap kita lewat BPJS. Tinggal nebus obat. Pake uangku, Ayah."
Ayah kemudian memberi uang untuk menebus obat di apotek. Aku menolaknya, aku ingin membelikan obat untuk Ibu.
"Tak usah, Ayah. Biar aku yang membayar." Aku ingin mengeluarkan sedikit uang untuk pengobatan Ibu.
"Ayoo Bu, kita pulang." ajakku sambil menenteng tas milik Ibu. Ayah memapah Ibu. Ada keirian yang menjalar hatiku
Saat melihat kemesraan mereka. Berbanding terbalik dengan kehidupan Rumah tanggaku.
Sampai di rumah, giliran aku yang memapah Ibu masuk kamar. Membaringkan tubuhnya di atas Bed. Saat hendak pergi, Ibu mencekal tanganku.
"Rania, lepaskan Ridho. Ibu tak rela kamu di madu,Nak."
Ibu memegang erat tanganku. Aku mengusap tangan Ibu dengan penuh cinta.
"Bu, jangan pikirkan itu ya. Itu urusan Rania. Ibu sekarang minum obat terus istirahat." Aku mengeluarkan obat yang sudah di tebus tadi. Lalu membantu meminumkannya.
Setelah minum obat Ibu berbaring, saat Ibu ingin bicara aku mencegahnya. Aku tak ingin Ibu banyak pikiran, karena pengaruh obat akhirnya Ibu terlelap. Napasnya terdengar teratur. Wajahnya damai. Aku senang melihat wajah tenang Ibu. menarik selimut sampai ke bawah leher Ibu.
Suara gawaiku bergetar lagi. Dari Arini. Aku langsung mematikan lalu memasukan ke kantong celanaku. Tak ingin suara ponsel membangun Ibu yang baru saja terlelap.
****
Pagi-pagi sekali Ridho sudah datang ke Rumah orang tuaku. Hari ini aku menginap di rumah Ibu.
Tok... Tok..
Aku melangkah menuju pintu. Saat membuka pintu aku terkejut. Ridho ada di depan pintu. Sudah rapi, mengenakan kemeja lengan pendek. Celana jeans. Parfum menguar menusuk hidung.
Penasaran kenapa pagi-pagi ada di sini?
"Ada apa Mas Ridho? Kenapa pagi-pagi ke sini?" tanyaku dingin. Saat ini aku malas melihat wajah dia. Apa lagi Arini sangat cemburu kalau tau Mas Ridho datang menemuiku? Toh aku juga istrinya? Aah, besar- benar egois dia! Rasanya ingin ku akhiri pernikahan bersama Ridho. Lalu Membuka lembaran baru untuk kehidupanku.
"Apa aku tidak boleh mengunjungi istriku sendiri? Ridho menatapku sendu. Aku mencelos. Mengalihkan pandangan ke arah lain.
" Aku tak di suruh masuk Rania?" tanya Ridho lagi, ia mencoba mengenggam tanganku. Tapi aku enggan menerimanya.
"Aku mau kerja mas, pulanglah. Nanti kalau di lihat Ayah. Mas akan di hajarnya." ujarku beri pengertian pada Ridho untuk segera pergi dari sini. Tak mau ada keributan pagi-pagi di sini. Takut kedengeran tetangga. Ridho menghela napas pelan. Padahal ia hanya ingin menemui Ayah mertuanya dan meminta maaf. Ridho Tak ingin berpisah dengan Rania. Saat ini kesehatan Ayahnya lebih penting dari apa pun. Ia takut kalau Ayahnya mendengar berita ini, kesehatannya terganggu lebih parahnya lagi akan meninggal. Bergidik ngeri saat membayangkannya.
"Rania, jangan begitu. Aku ingin minta maaf sama Ayah." Ridho menatapku dalam. Tatapannya membuat hatiku bergetar.
"Siapa di depan Rania?" tanya Ayah dari dalam.
"Engg... Ini." ucapku terbata- bata.
"Mas pergilah! Aku takut Ayah marah, please!" Mohonku seraya menangkupkan kedua tangan di dada. Tak mau ada keributan pagi-pagi begini, apalagi Ibu masih sakit.
Ayah berdiri di belakangku. Tatapannya nyalang melihat Ridho di depanku. Ada kilatan marah terlihat jelas di matanya.
"Ada apa Ridho, kenapa kamu ke sini? rumah ini tak ingin menerimamu lagi. Pergilah!" usir Ayah.
Ridho terdiam. Inikah konsekuensi dari perbuatanya?
"Kenapa masih diam di situ? Pergilah!" Ayah mengusir Ridho. Aku iba melihatnya. Walau bagaimanapun Ridho adalah suamiku.
Bersambung.