'Si Irwan bener-bener udah gila dia. Emang secantik apa sih si Intan, sampai dia tergila-gile seperti ini?' Hati Arsya kembali bergumam.
"Irwan bangun! Jangan gituh!" Sarah membangunkan Irwan yang sedang berlutut padanya. "Bukannya Mbak enggak ingin bantu kamu, tapi … Mba bener-bener enggak bisa. Sekarang mending kamu pulang saja, sudah malam ya!" saran Sarah.
Irwan kembali duduk dengan posisi yang benar.
Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, menahan kemarahan di dada karena tidak bisa membuat Intan bertahan bersamanya.
Ingin rasanya Irwan mengamuk, tapi itu hanya akan mengakibatkan keributan di tempat ini.
Bisa-bisa dia ditendang oleh para penjaga yang bertubuh kekar di luar dan juga yang tengah berdiri dekat lawang pintu dalam ataupun beberapa lelaki yang sedang santai.
Sebab Irwan tidak kembali bersuara, Sarah pun pamit.
"Maaf Irwan, Mbak harus pergi lagi ke atas karena masih ada pelanggan Mba di sana." Sarah pun tersenyum pada Arsya yang juga membalas senyumannya, meski dia ragu.
Rasanya aneh sekali, tatapan Sarah sepertinya tidak asing baginya.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Arsya mencegah kepergian Sarah.
Dia pun berani membuka suara untuk menanyakan kepentingannya sendiri karena si Irwan masih kalang kabut dengan perasaannya yang kini sedang dirundung kekecewaan karena jalan satu-satunya yaitu Sarah tidak ingin membocorkan di mana keberadaan perempuan yang sedang dicari oleh temannya itu.
"Maaf Mbak Sarah, bolehkah Mba duduk lagi?" Arsya bertanya sopan.
Sarah pun menoleh, dia tidak tahu apa maksud Arsya mencegat kepergiannya. Apa dia ingin memesan? Bisa saja.
"Ya?" Sarah pun duduk kembali sambil tumpang kaki, menatap Arsya penuh penyelidikkan.
Arsya menatap Irwan yang masih terdiam seprti orang gila dengan tatapan kosong tanpa bidik pasti.
"Sebenarnya saya ke sini juga ada perlu pada Mbak," ucap Arsya memulai.
"Apa? Mau pesan saya? Maaf saya sedang ada pelanggan yang memesan saya sampai pagi, jadi –" cerocos Sarah dipotong kemudian oleh Arsya dengan tawa kecil.
"Hahaha, maaf Mbak. Maaf sekali, bukan itu tujuan saya."
"Perempuan lain? Yang masih fresh? Kebetulan tadi katanya ada yang baru bergabung, mau?" Sarah terus menyodorkan tawaran.
Arsya kembali tertawa, tapi sekarang lebih ke risih.
"Hehe, bukan juga Mbak."
"Lalu, apa?" Sarah penasaran tapi dia juga ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya di atas, dia tadi ke bawah hanya ingin memesan minuman saja.
"Saya sebenarnya juga ingin mencari seseorang yang sudah pergi meninggalkan saya." Wajah Arsya mulai gelisah ditambah kesedihan yang teringat lagi di benaknya.
"Haduh, kalian ini masih muda. Kenapa sih harus kekeh pada satu perempuan? Perempuan tuh stoknya banyak, jangan khawatir! Hilang satu tumbuh seribu, apalagi kalian ini pebisnis lho. Gampang dapet cewek, para jalang pun banyak kok yang bersedia," celetuk Sarah.
Dia sebenarnya tidak ingin berbicara seperti itu, tapi melihat Irwan yang kekeh pada Intan dan juga tujuan Arsya yang dia kira sama –itu sungguh membuat Sarah geleng-geleng kepala.
Jengkel dia jadinya, karena suaminya dulu juga seperti itu.
Seolah sangat mendambakan dirinya tapi ujung-ujungnya sama saja yang namanya lelaki selalu tidak akan puas oleh satu perempuan di hidupnya.
Jika tidak kuat iman, ya … selingkuhlah jalannya. Jalan yang selalu dibuat alasan untuk berpoligami menuruti sunah rasul.
Padahal, itu hanya topeng belaka agar nafsu belangnya tersamarkan.
Arsya mendadah-dadahkan tangannya sejajar dada, tapi bukan untuk mengucap tanda pisah melainkan menyimbolkan kalau ucapan Sarah barusan salah.
"Bukan? Lalu kamu mencari siapa?" tanya Sarah lagi.
"Saya mencari –"
Tiba-tiba, Dedi turun dan mencari-cari Sarah dengan jalannya yang sempoyongan.
"Sayang?" panggil Dedi.
Sarah pun terkejut. "Eh Sayang, maaf tadi aku lupa."
Lelaki itu kemudian merangkul Sarah.
"Hei, kalian …." Tunjuknya pada Irwan dan Arsya, Irwan masih terlihat acuh dan melamun. "Kalau mau pesen kekasihku ini nanti dong sudah beres denganku, jangan rebutan. Mentang-mentang masih muda dan kelelakiannya masih kuat pengen buru-buru aja. Tuh, banyak yang jadwalnya kosong." Dedi menunjuk-nunjuk biduan yang lain.
Arsya hanya diam, dia tidak ingin mencari ribut.
Sarah mengelus dada Dedi. "Sussttt, mereka bukan pelanggan Ded. Ya udah, sekarang kita ke kamar lagi. Hei Joko!" teriak Sarah pada seoreng lelaki bertubuh kurus yang sedari tadi memberikan minuman-minuman pada pengunjung.
"Ya, Mbak Ratu?" sahutnya sambil mendekat.
Arsya semakin geleng-geleng saja.
Ratu? Sudah Arsya duga kalau Sarah memang seseorang yang berkuasa di sini.
Pantas saja Irwan pun menanyai dia. Sosok senioritas pun sangat terlihat dari sikap Sarah yang terkesan berkuasa.
"Nanti bawakan dua botol ya ke kamar atas, kamar yang biasa saya pake," titah Sarah sambil memberikan lelaki kurus dan pendek itu gulungan uang yang nominalnya entah berapa, hanya terlihat uang-uang receh sepuluh ribu, lima ribu dan beberapa lembaran uang dua ribuan yang terlihat.
"Maaf saya harus pergi," ucap Sarah pada Arsya sambil tersenyum.
Arsya tak berkedip. 'Senyuman itu? Aku seperti pernah melihatnya sebelumnya,' gumam Arsya dalam hati.
Sarah dengan Dedi pun berlalu dan kembali menaiki tangga untuk kembali ke kamar mereka.
Dedi bahkan menyipitkan matanya begitu sinis pada Arsya yang masih memperhatikan langkah mereka.
Melihat Irwan masih termenung dengan matanya yang mulai berair, Arsya pun menyadarkannya sambil menarik tangan Irwan untuk segera bangun dan pergi dari tempat itu karena semua orang mulai memperhatikan mereka.
Disangka keduanya adalah fans Sarah nih!
"Bro! Ayo pergi!"
Irwan pun mengusap wajahnya sendiri dan berdiri dari duduknya.
"Lagi-lagi gue gagal cari tahu keberadaan Intan di mana." Irwan tampak sangat merana dan Arsya terus menggiringnya ke luar.
"Sabar, waktunya belum tepat aja. Ayo cepetan langkah lo! Gue pengap sama bau alkohol nih." Irwan menertawakan sahabatnya itu. "Eh lo malah ketawa Wan, gue serius."
"Bukannya lo suka ngonsumsi obat, ya?"
"Beda lagi," elak Arsya sambil melirik sinis sahabatnya yang tampak mengigau karena cinta.
Sesudah mereka keluar, keduanya sama-sama sepakat untuk pulang.
"By The Way makasih lo udah mau nemenin gue," kata Irwan pada Arsya.
Arsya pun menepuk punggung lelaki yang masih terlihat lesu itu. "Ya, sama-sama walaupun gue belum dapet info soal ibu gue."
Irwan pun baru ingat, saking kepikirannya sama Intan dia sampai lupa kalau Arsya juga punya tujuannya ke sini.
"Oh iya ya, gue sampai lupa. Kita balik lagi aja ke sana, gimana?" ajak Irwan.
"Nggak apalah jangan, males gue balik lagi ke sana. Nanti-nanti aja deh." Arsya menolak.
"Oke kalau begitu kita pulang ajalah, atau mau mampir ke cafe dulu? Ngopi-ngopi gituh? Gimana?"
"Nanti lagi aja deh Wan, gue lagi pengen istirahat ya. Oke, Bro?"
"Siaplah, ayo kita cap to the cus. Go to the home!"
"Lebay lo ah, tadi aja kayak orang linglung."
"Haha, ya … pulang ke rumah terus masuk kamar paling stress lagi gua."
"Nonton youtube dong, pake VPN nggak lo? Ckckck," ledek Arsya.
"Gila, gue udah enggak konsumsi film kayak gituh kali. Terakhir saat ngampus, hahaha."
"Kirain."
"Lo paling, nuding-nuding ke gue."
"Enak aja, lo kan tahu kalau otak gue masih belum kecuci film kayak gituh."
"Ah gue enggak percaya sama lo, yang jomlo lebih rentan lho."
"Weleh, gegabah!"
"Hahaha, ngaku lo?"
"Enggak!"
"Ngaku?"
Percakapan mereka pun berhenti seiring Arsya masuk mobil duluan dan terus dituding-tuding Irwan yang masih cekikikkan.