Chereads / Jangan Salahkan Janda / Chapter 34 - Bersiap dengan Alat Tempur

Chapter 34 - Bersiap dengan Alat Tempur

Bram dan Arsya pun saling menahan tawa.

"Ih Arsya lo ya, malah ngetawain gue." Hana sebal dan wajahnya menciut kesal dengan melipat kedua tangannya di dada.

Ekspresi seperti inilah yang membuat Bram semakin menyukai Hana. Perempuan yang sangat polos dan suka riweh.

"Gue aneh aja, ternyata lo punya tamu bulanan juga ya. Diapelin juga lo. Hahahah."

Wajah Bram semakin memerah karena menahan tawanya.

"Sial lo!" Hana marah, tapi wajahnya seperskian detik berubah seperti mendapatkan cahaya bola lampu di kepala.

"Eh tapi bener juga ya, biarpun enggak ada cowok yang ngapelin setidaknya ada si tamu merah tiap bulan. Bener juga sih argument lo, nanti gue pake kata-kata itu untuk ngeles. Cocok!" Hana jadi tersenyum, ucapan Arsya membuatnya punya jurus Bahasa baru kalau ada orang-orang yang nyindir Hana jomlo menahun yang tak kunjung punya pacar.

"Jalannya itu jangan mengharap kejauhan, cari aja yang dekat dan pasti. Itu kunci agar status jomlo lo berubah, Han." Arsya membarinya saran, tapi Hana tidak terima.

"Alah, nasehatin orang biar dapet pasangan. Lo sendiri aja jomlo, nggak terima gue saran dari lo." Hana membelalakkan matanya.

Arsya kemudian memandang Bram yang dari tadi hanya cekikkikan tapi tak berbunyi.

"Bram lo jomlo, kan?" tanya Arsya sambil menunjuk.

Seketika Bram dan Hana terkejut, bola mata keduanya membesar. Mereka tahu maksud Arsya ke mana.

"Oh ya kalau begitu saya pamit Tuan, saya mau meeting. Han, saya pamit ya." Bram kemudian berlalu begitu saja. Hana tersenyum-senyum, melihat Bram yang salting.

"Eh, gue belum selesai woy!" Arsya mencoba mencegah tapi Bram sudah telanjur ke luar.

"Wkwkwk, makanya jangan suka jodoh-jodohin orang dong." Hana merasa puas melihat wajah Arsya yang bengong karena tangan kanannya—Bram sengaja pura-pura tidak mendengar dirinya.

"Gue mencoba jadi perantara di antara kalian tahu, siapa sangka coba perusahaan gue nantinya jadi tempat cinlok lo sama si Bram."

"Au ah, gelap." Hana mengelak dan berjalan mendekati Arsya yang masih duduk di kursi kerjanya. "Gimana tuh si kak Litta jadi ke sini?" tanya Hana.

Arsya mengangguk seraya mengambil handphone-nya yang tadi dia letakkan tak jauh dari komputernya.

"Jadi dateng kok dia. Nanti lo anterin ya si Litta. Gue biasa …." Arsya mengerlingkan matanya pada Hana yang sudah bisa diduga oleh perempuan itu apa maksud dari teman sekaligus Bosnya itu.

"Ah, gue enggak mau ah. Lo kebiasaan, mau ke mana lagi sih lo?" tanya Hana cemberut, alisnya suka mengkerut seperti ulat bulu yang kedinginan.

"Eits, kali ini lo harus ngizinin gue dan buat alasan sehebat mungkin kalau ayah gue nanyain. Jujur sih, kali ini gue bukan izin buat kepentingan kuliah"

"Terus?"

"Mmm, sebenarnya fifty-fifty sih. Antara kuliah dan kepentingan temen gue. Tepatnya orang yang lo taksir." Arsya mengangkat kedua alisnya sambil mendongak pada Hana yang fokus melihatnya.

"Irwan?"

"Yaelah gercep amat nebaknya lo, Han."

"Ya, siapa lagi sih kalau bukan dia dari zaman pra sejarah yang gue taksir. Bahkan dari zaman roh gue masih gentayangan di udara saat bapak sama ibu gue masih dalam masa pencarian. Belum sah malam pertama, hahaha."

"Ngelucu … lagi lo!"

"Kan gue dari dulu emang lucu, Arsya! Lo sih yang enggak nyadar." Hana tersenyum setelah melemparkan lelucon pada sahabatnya itu. "Eh, tapi ada urusan apa lo sama si Irwan?"

"Kepo lo, pokoknya ada deh. Jadi, karena ini menyangkut Irwan pastinya lo bantu gue kan Han? Gimana? Bilang aja gue ngurusin kuliah lagi ya sama bokap gue. Oke? Setuju kan lo? Gue nanti kasih lo kecupan dari bibir si Irwan deh bonusnya."

Hana melipat lagi kedua tangannya di dada, sambil membelalakkan matanya. "Terserah lo deh, gue udah pusing. Udah sering juga berbohong sama bokap lo. Sue …."

Arsya pun berdiri, kemudian mengacak-acak rambut Hana yang sudah ditata sedemikian rupa olehnya.

Kali ini Hana mengikat rambutnya ke belakang dan sangat rapi.

"Ini baru sahabat tomboy gue yang baik banget." Arsya terkekeh.

"Arsya, ah lo parah banget. Gue udah tata rapi nih rambut."

"Gampang tinggal benerin lagi," celetuk Arsya sambil berjalan ke luar.

Hana membuntutinya ke luar. "Ah, enggak mau pokoknya ganti rugi. Kamu harus tanggung jawab, Arsya!"

"Enak aja, gue enggak ngehamilin lo. Gampang banget bilang tanggung jawab."

BUKG! BUKG! BUKG!

Hana terus memukuli Arsya dari belakang.

"Hahaha, becanda gue. Lagian tinggal disisir lagi apa susahnya sih Han."

"Gue enggak bawa sisir bego!"

"Sisir gue tuh, di laci cari."

"Enggak mau, rambut lo banyak ketombenya."

Kebiasaan mereka beradu mulut seperti itu sudah menjadi pemandangan tersendiri bagi para pegawai.

Menjadi hiburan dan juga pemandangan yang aneh setiap hari.

Kadang, semua menasfsir kalau nantinya Arsya dan Hana akan berjodoh.

Di film-film banyakkan yang menceritakan asisten jatuh cinta pada bosnya sendiri termasuk sebaliknya. Apalagi di tengah mereka seumuran.

Ketemu tiap hari akan menumbuhkan sinyal cinta yang kuat.

***

Mandar melihat Intan dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil tertawa.

"Man, jangan ngetawain aku gituh." Intan menatap reaksi temannya dengan wajah tidak suka.

"Cocok tahu, jadi kayak ABG. Cantik kamu pakai baju itu." Mandar masih tertawa, tapi melihat raut wajah Intan yang cemberut dia menghentikan candaannya.

"Maaf-maaf, maksudku bukan menghina Ntan. Tapi bener lo kamu kayak belum punya anak, kayak yang baru lulus sekolah."

Intan menghela napasnya. "Hemmm, iya deh gimana pendapatmu aja."

"Ya udah, tinggal kerja aja gih! Tadi kan udah diarahin sama Pak Yaya juga. Aku juga bertugas ke depan ya Ntan, kalau ada apa-apa jangan sungkan bicara sama aku dan kalau butuh sesuatu dan juga mau main ke rumah sok aja. Kamu juga udah punya nomor istriku kan?"

"Udah Man, sekali lagi aku terima kasih banget ya sama kamu." Intan tersenyum penuh kelegaan. Mendapat pekerjaan langsung dan tidak perlu menganggur berbulan-bulan lagi adalah sebuah anugerah tersendiri untuknya.

Mandar mengangguk sambil tersenyum. Dia pun akhirnya pergi.

Intan juga langsung bergegas. Untuk pertama kalinya dia disuruh membersihkan ruangan kerja para atasan di gedung tersebut, tepatnya di lantai dua.

Tidak ada lift di gedung itu dan hanya ada dua lantai saja.

Gedung yang dipakai untuk mengurusi karyawan baru dan yang akan ditraining selama sebulan sebelum mereka benar-benar disetorkan ke gedung utama yang sudah siap pakai.

Setelah Intan membawa alat tempur bekerjanya, dia kemudian masuk ke dalam ruangan itu lewat pintu belakang.

Terlihat beberapa para pelamar sedang di tes psikomotorik oleh kedua orang yang sudah Mandar beritahu kalau keduanya adalah Pak Kevin dan bu Asma.

Keduanya masih muda-muda, Intan tebak mereka pasti baru berusia seusianya sekitar dua puluh lima tahunan.

Intan pun menaiki tangga. Beberapa pelamar tentunya dapat melihat dia, sedikit canggung tapi Intan tepiskan hal itu.

Saat tiba di atas, Intan berpapasan dengan seorang lelaki yang di nametagnya tertulis 'Yanto Pramono' –lelaki yang kata Mandar selalu bertiga dengan kedua rekannya yang lain yaitu Pak Kevin dan Bu Asma.

Dia terlihat lebih tua dari yang lainnya. Wajahnya seperti berumur tiga puluh tahunan lebih.

Intan hanya tersenyum padanya. Tapi, lelaki itu berhenti dan memulai basa-basi.

"Kamu Intan, kan?" tanyanya.