Intan menggeleng.
"Enggak kok Man, tenang aja. Sekarang kita ke mana?" tanya Intan sangat antusias ingin segera memulai pekerjaannya.
"Soklah semangat kerjanya," ucap Romeo menyemangati.
"Ayo ikut aku!" ajak Mandar, "anterin Intan dulu ya Rom," sambung Mandar pada temannya itu.
"Silakan, awas belok ke kantin lo!"
"Enggaklah, tanggung jawab gue. Yuk, Intan! Karin!" Mandar meraih tangan Karin.
Intan diajak Mandar keluar gerbang menuju gedung di depannya yang akan menjadi tempat Intan bekerja nanti.
Kamar messnya pun ada di belakang gedung itu.
Mereka menyeberang jalan yang tidak terlalu ramai.
"Eh iya Intan, sini biar aku bawain barang kamu. Berat," tawar Mandar dan langsung mengambil tas besar milik Intan.
"Eh, enggak usah Man," tolak Intan tidak enak, tapi Mandar tetap memaksa hingga Intan pun tidak bisa menolaknya.
"Pagi, Pak," ucap Mandar pada seorang lelaki yang Intan kira dia adalah atasan di sana.
Tubuhnya puti seperti blasteran cina dengan bajunya yang rapi.
"Dia siapa, Man?" tanya Intan penasaran.
"Dia pak Andre, bagian di gedung ini. Kerjaannya ngurusin para pelamar, Ntan. Rekannya dua lagi Bu Asma sama pak Kevin tapi enggak tahu di mana sekarang mereka belum terlihat. Biasanya ketiganya suka Nampak berjalan bertiga."
"Ooo." Bibir Intan membulat. "Enak ya kalau lihat para atasan, pada bersih-bersih gituh." Intan kembali teringat pada Irwan, lelaki yang selalu tampak perfect jika di kantor dan bahkan Intan tidak pernah menyangka lelaki itu bisa mencintainya meskipun jalan takdir pada akhirnya tidak bisa menyatukan mereka berdua.
"Emang aku enggak bersih, Ntan?" tanya Mandar merayu.
Intan merasa dia salah bicara dan langsung meminta maaf. "Eh maksudku bukan itu Man, maaf."
"Hahaha, enggaklah bercanda."
Sepanjang jalan kaki mereka, Karin hanya sibuk memperhatikan sekelilingnya.
Tempat aneh, menurut Karin.
Layaknya sebuah pabrik yang sangat asing di mata Karin yang baru memasukinya.
Mereka pun tiba di kamar mess yang akan ditempati Intan.
"Nah, ini Ntan." Mandar membuka kamar mess itu setelah memilih puluhan kunci yang menggantung di celananya. "Ayo masuk!"
Pintu kemudian dibuka, dan ternyata tidak seperti dugaan Intan sebelumnya kalau mess itu pasti kumuh.
Ternyata sangat bersih, hanya saja tidak ada barang-barang yang terlihat.
Sangat kosong, tapi bagusnya ada satu televisi yang menggantung di tembok.
Syukur, bisa untuk nonton Karin kalau ditinggal sendirian.
Mandar menaruh tas besar milik Intan ke lantai.
"Kenapa kamar ini kosong, Man?" tanya Intan penasaran.
Mandar menoleh dengan wajah yang cukup gugup, seperti ada yang disembunyikan olehnya.
"Di sini sempit Ntan, dan satpam-satpam yang lain lebih milih tidur di kamar pos biar deket sama seduhan kopi dan mantaunya juga enggak perlu cape bolak-balik, di sini kejauhan katanya. Aku enggak tahu sih, kan aku nonshift," jelas Mandar.
"Bener sih, ini terlalu belakang. Tapi sangat nyaman lho."
"Ya syukur kalau kamu suka Ntan, semoga betah ya."
Intan tersenyum. "Insya Aslloh dibetah-betahin. Tapi, apa aku mulai bekerja hari ini Man?"
"Kayaknya sih iya Ntan, Karin gimana? Berani di sini sendirian?" Mandar tampak khawatir.
"Karin anaknya berani ya kan, Nak?" Intan mengelus-ngelus puncak kepala Karin dengan lembut, anak satu-satunya itu pun mengangguk manis.
"Syukurlah, kalau gituh. Yuk kita ke pak Yaya buat mastiin kamu kerja hari ini atau besok."
Intan kemudian jongkok, memposisikan dirinya setinggi anaknya—Karin.
"Mama kerja dulu ya, Karin di sini sambil nonton televisi aja. Eh, televisinya nyala kan Man?" Intan menoleh pada Mandar yang sudah terlihat siap ingin pergi, dia sudah berdiri dekat pintu.
"Nyala kok, Ntan," balasnya.
"Tuh, kamu jadi bisa nonton televisi. Jangan pergi ke luar ya! Karin mau nurutin Mama, kan?" Intan membujuk Karin agar anaknya ikhlas ditinggalkan sendiri di kamar mess itu.
Karin mengangguk, dikecupnya kening Karin oleh Intan dan dia pun kembali berdiri untuk ikut pergi dengan Mandar.
"Kalau Karin mau pipis, perginya ke toilet tadi ya yang kita lewati barusan." Mandar memberi arahan.
"Iya, Om." Karin kembali mengangguk.
"Ya udah, Mama tutup ya. Kalau kamu mau tidur, tidur aja."
"Iya, Ma."
***
Suara langkah dari sepatu pentofel terdengar seperti biasa.
Menggema di lantai tiga gedung tinggi itu.
Lelaki itu pun segera menuju lift berniat ke lantai lima di mana ruangannya berada, Arsya sengaja memilih lantai paling atas gedung agar hening, setelah segerombol pekerja dari lift ke luar semua, dia pun masuk.
Saat Arsya ingin memencet tombol, dari kejauhan seorang perempuan berlari-lari mencegah Arsya untuk tidak menutup pintu lift sebelum dirinya masuk.
Perempuan cantik itu pun masuk hampir menubruk Arsya, dia begitu terhengos-hengos.
Arsya pun lanjut memencet tombol menuju lantai lima sambil tertawa melihat Salma yang tampak lucu menurutnya.
Pagi hari dia sudah berkeringat, tapi tidak mengurangi kecantikkannya.
"Makasih Pak, udah mau nungguin saya," kata Salma sambil membenarkan rambut sisinya ke belakang telinga.
Arsya tidak menjawab, dia hanya tersenyum saja dan kemudian sibuk dengan handphone-nya.
Salma canggung berada satu lift dengan atasannya sendiri, tapi moment berdua seperti ini sangatlah langka dan ini merupakan keberuntungan baginya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Arsya tiba-tiba tanpa menoleh pada Salma.
Salma geer ditanya sama bos mudanya, jarang-jarang Arsya basa-basi padanya.
Dengan penuh keberanian Salma pun menjawab, "saya mau ke pak Yosep, Pak Arsya … katanya kami meeting di lantai lima," balas Salma nampak malu-malu kucing.
Arsya kaget, dia jadi ketawa karenanya sambil memegang kepala.
"Oh sorry Sal, saya lagi bicara pake headset wireless … ngobrol sama adik bungsu saya. Sorry!" Arsya pun tersenyum dan kembali fokus ke sambungan telepon yang tersambung dengan adiknya—Mina.
Salma jadi malu karenanya, dan hanya menyeringai pada Arsya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
'Sial, kirain dia nanya gue. Uhhh, sebel! Padahal udah seneng ditanya sama si Bos tampan ini,' dengus Salma dalam hati.
"Oh kirain kakak … kamu yang pergi ke sana, kapan mereka ke rumah?" tanya Arsya, asik dengan percakapannya dengan Mina yang masih di perjalanan menuju sekolahnya.
"Oh, oke. Kamu semangat sekolahnya ya! Jangan ngobrolin hantu mulu nanti di toilet sekolah keluar Sadako lho!" Arsya menggoda adiknya yang terdengar tertawa di ujung sana. Kemudian, ditutuplah panggilan telepon itu dan Arsya menyimpan handphone-nya ke saku celana.
Salma menelan kegugupannya, berusaha tetap tampak elegant.
Sebagai seorang Personalia muda, dia juga harus tampak berbiwaba di hadapan atasannya yang ia taksir sejak pertama kali masuk bekerja ke tempat ini.
Salma dan Arsya masuk berbarengan saat itu, sama-sama masih muda.
Salma sangat cantik, dia keterima karena aka nada kekosongan jabatan dan menggantikan personalia yang pensiun –Pak Yosep selaku HRD di sini pun sangat memuja kecantikkan sekaligus kinerjanya yang baik.
Tapi Arsya? Dia tidak peduli apa pun, yang dia tahu hanya laporan dari Bram saja.
Masalah yang lain, Arsya tidak merasa itu penting. Apalagi soal fisik cantik para bawahannya.