Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

JandA (Jeff and Aline)

athena_vivian
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12.2k
Views
Synopsis
Keputusan yang tiba-tiba diambil oleh salah satu penulis kesayangan di sebuah penerbitan bernama Aline Publishing membuat sang CEO, Aline Anderson harus turun tangan sendiri menyelesaikan persoalan ini. Sang CEO yang tak pernah tampil di muka umum pun mau tak mau harus mengambil langkah frontal demi keberlangsungan hidup perusahaannya. Sang penulis emas yang lebih dikenal dengan nama Penulis Bertopeng hingga sekian lama tak diketahui identitas aslinya selama dia berada di bawah bendera perusahaan Aline, hingga suatu saat mereka bertemu dan sang penulis yang menawarkan kesepakatan di luar dugaan Aline. Kesepakatan apakah yang ditawarkan oleh sang Penulis Bertopeng? Apakah Aline akan segera mengetahui identitas asli sang penulis kesayangan? Kemudian bagaimana kehidupan Aline selanjutnya ketika dia telah keluar zona nyamannya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 CEO Tak Dikenal

Drap ...

Drap ...

Drap ...

Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan salah satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing. Aline adalah tipe seseorang yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantornya dan menghabiskan waktu di sana. Hingga kedatangannya kali ini benar-benar membuat seluruh karyawan dan wakilnya, Melda Johansen sedikit mengernyitkan dahi dan membuat mereka bertanya-tanya. 

Pagi itu, seperti biasa Aline yang telah menikah dengan seorang pria bernama Jeffrey Anderson tengah mempersiapkan diri menyiapkan sarapan untuk sang suami tercinta. Aline Von Otto Geischt Haimen adalah putri dari seorang aristokrat terkenal di Kota Dansk, Johan Burry Haimen von Gouhg. Terlahir dari keluarga kaya, terkenal, dan memiliki pengaruh luar biasa baik di pemerintahan maupun non-pemerintahan membuat Aline sedikit terbantu dalam membangun kerajaan bisnisnya karena tak semua orang bisa membangun bisnis di kota kecil nan eksotik itu, sehingga menjadi hal lumrah jika Aline Publishing adalah satu-satunya perusahaan penerbitan yang memiliki pengaruh di kota kelahirannya.

"Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.

Tak ada jawaban. Aline terus menyiapkan segala sesuatu untuk melengkapi sarapan pagi nan mewah keluarga kecilnya. Semenit-dua menit tak ada jawaban, Aline segera bergegas naik ke lantai dua kamarnya dan menghampiri sang suami, Jeffrey Anderson yang masih memeluk selimut tebal nan hangat.

"Sayang, bangun … hei, jam berapa ini? Bukankah kau harus bekerja?" tanya Aline mengusap lembut rambut hitam pendek lurus sang suami.

'Alis yang indah bagaikan semut yang sedang jalan beriringan, hidung yang mampu menggantung sebuah benda di atasnya, bibir tebal nan seksi merah milik sang suami yang membuatnya terlena akan kata-kata manisnya hingga bersedia menjadi belahan jiwanya. Hahhhhh, Jeffrey Anderson …,' tanpa sadar Aline mengeluarkan suaranya di atas wajah sang suami saat dirinya tengah tertidur.

"Apa kau memanggilku, Sayang?" tanya Jeffrey tiba-tiba membuka matanya.

Aline yang terkejut langsung berdiri dan membelakangi sang suami. Dengan degup jantung berdetak kencang, sang suami hanya tertawa kecil dan memeluk mesra sang istri sambil berkata, "Selamat pagi, istriku."

Wajah merah bak udang rebus tentu saja tak dapat Aline sembunyikan. Jeffrey bukanlah berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang seperti Aline, namun kegigihannya dan usahanya yang pantang menyerah untuk mendapatkan cinta Aline sangat menyentuh hati Aline hingga ia mau dan bersedia menjadi teman hidup seorang Jeffrey Anderson.

"Jam berapa kau akan berangkat kerja?" tanya Aline kini memutar badannya menghadap wajah Jeffrey.

"Sebentar lagi. Bagaimana denganmu? Apa kau akan menyambangi kantormu, Sayang?" tanya Jeffrey memeluk sang istri.

"Hmmm, kurasa ti …,"

Sebuah deringan ponsel mengejutkan pagi nan mesra antara Aline dan Jeffrey. Sang suami berusaha menahan Aline yang ingin mengambil gawainya di atas meja dekat lampu tidur mereka. "Sayang …," ucap Aline mendelikkan matanya sembari tersenyum.

"Rosaline? Ada apa?" ucap Aline melihat nama seseorang yang disebut Rosaline di layar gawainya.

"Ada apa?"

[Selamat pagi, Nona Aline.]

"Pagi, ada apa? Jangan buang waktuku

 Katakan langsung saja. Apa ada masalah di perusahaan?"

[Itu …,]

"Itu apa?" 

Jeffrey yang berdiri tak jauh dari Aline segera menghampiri sang istri, namun Aline justru mendorong tubuh Jeffrey pelan dan menghindarinya. "Ada apa dengan Aline?" tanya Jeffrey heran.

"Katakan, Rosaline. Ada apa?"

[Nona, perusahaan sedikit mengalami masalah.]

"Apa? Masalah? Masalah apa?"

[Departemen yang dipimpin oleh Georgio baru saja menerima sebuah e-mail dari salah satu penulis yang menjadi tumpuan Aline Publishing, Penulis Bertopeng. Dia mengatakan akan berhenti menulis novelnya yang berjudul 'Eindeloze Liefde (Cinta Tiada Akhir)' dan berencana akan menarik naskahnya dari perusahaan kita, Nona.]

"Apa!! Bagaimana mungkin!?" Aline tersulut emosi.

Jeffrey yang masih berada di dalam kamar hanya duduk di sebuah kursi putih yang ada di dekat jendela kamar mereka sambil memperhatikan sang istri menelepon.

[Saya--saya juga tidak tahu, Nona. Georgio baru saja menerimanya.]

"Baru saja menerimanya? Seberapa lama?"

[Sekitar 20 menit yang lalu, Nona.]

Aline memperhatikan jam yang terpaku di dinding putih kamarnya. '07.20,' gumamnya.

[Lalu, bagaimana Nona? Apa yang harus kita lakukan?]

"Di mana Melda? Apa dia sudah tahu?"

[Nona Melda belum datang, Nona dan saya rasa beliau belum tahu.]

"Aku tak butuh 'rasamu!' Aku menggajimu bukan untuk menggunakan rasamu, tapi logikamu! Paham!!" sentak Aline. "Aku akan ke sana. Pastikan saja tak ada yang tahu kedatanganku!" perintah Aline dan langsung menutup gawainya kasar.

"Ada apa, Sayang? Kau terlihat sangat kesal." Jeffrey kemudian berdiri dan menghampiri sang istri yang terlihat sangat emosi dan napas tersengal.

"Tak ada apa-apa. Maaf, Sayang. Tapi sepertinya kau harus sarapan sendiri." Aline menatap wajah Jeffrey dan meletakkan tangannya di wajah sang suami.

"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Jeffrey penasaran.

"Itu …," netra Aline menyelasar ke lantai marmer hitam mansion mewah mereka.

"Itu apa, Sayang? Apa ada masalah di kantor?" tanya Jeffrey lagi.

Aline terduduk di tepi King size miliknya, mengehela napasnya dalam-dalam. "Sayang, ada apa? Apa kau mau cerita padaku?" sekali lagi Jeff, begitu sang suami biasa disapa memijat pundak sang istri.

"Aku harus segera bersiap. Tolong lepaskan tanganmu dari pundakku." 

Kali ini suara Aline berubah sedikit dalam dan tegas. Mendengar sang suara sang istri seperti itu, Jeff langsung melepaskan tangannya dan mengangakt kedua tangannya. Ia tahu jika Aline adalah wanita yang menjunjung tinggi pride-nya dan tak ada seorang pun yang boleh menginjak-injak harga dirinya.

"Baiklah, hati-hati di jalan. Apa mau aku jemput?" tawar Jeff.

"Tidak!" Tegas Aline berdiri, menuju meja rias warna pastel dan merias dirinya secantik mungkin.

"Aku keluar dulu kalau begitu, Sayang. Kutunggu di bawah, ya." Dengan mengunggah senyum manisnya, Jeff meninggalkan kamar mereka dan turun ke lantai satu menunggu sang istri di meja makan.

Sementara itu, Aline yang sedang sibuk merias dirinya tampak menyiratkan tatapan tajam nan menyeramkan, seakan emosinya yang tak lagi dapat ditahan.

"Aku tak tahu siapa identitas asli Penulis Bertopeng. Tapi yang kutahu, jika dia berani macam-macam denganku dan membuat perusahaanku hancur, aku bersumpah akan mengejar hingg ke lubang bumi terdalam sekali pun!" Tegas Aline tanp sadar mematahkan pensil alis kesayangannya.

****

"Baik, saya mengerti, Tuan. Jangan khawatir. Baik, terima kasih."

Bariton dalam milik seorang pria bermata coklat almond, rambut dengan potongan brush on-top, hidung bak gunung Everest dan kulit yang putih agak kemerahan tampak tergambar dari seorang laki-laki bernama Georgio Robert. Pria berusia 28 tahun itu adalah seorang kepala editor in-chief dari departemen redaksi Aline Publishing yang dijuluki 'Primadona dari Timur', karena wajah sang kepala editor yang lebih mirip orang Asia daripada Eropa. Dengan tinggi menjulang, ditambah wajah yang mumpuni, sebenarnya tak sulit bagi Georgy, begitu ia biasa disapa mendapatkan pekerjaan. Namun lagi-lagi, birokrasi yang lumayan sulit bagi pendatang baru, terutama mereka yang tak memiliki rekanan atau koneksi di negara Aline bermukim membuat Georgy terpaksa menerima pekerjaan di perusahaan penerbitan milik Aline. 

"Sarah, aku akan keluar sebentar. Kau handle dulu sementara aku tak ada. Jika memang ada yang penting, segera hubungi aku, paham?" 

"Baik, Pak. Saya mengerti." Sahut Sarah, wakil editor in-chief memberikan senyuman pada pria tampan itu.

Dengan langkah pasti, Georgy keluar dari ruangannya dan sudah pasti bisa ditebak bila seorang pria tampan berjalan dengan gaya yang santai namun cool akan memancing para duyung berenang ke tepian.

"Pagi, Pak." Sapa salah seorang karyawan wanita di departemen yang dipimpinnya.

"Pagi." Balasnya sambil tersenyum dan terus melangkah hingga ke lift yang tak jauh dari ruangannya.

"Oh, my God. Georgy memang sangat tampan! Tak ada yang bisa mengalahkan ketampanannya di perusahaan ini." Ujar salah satu dari mereka sembari menatap lurus siluet Georgy yang telah menghilang.

"Kenapa kalian berdiri di sana! Apa kalian seorang petugas security terus-menerus berdiri?" Teriak Saraah melihat dua anak buahnya berdiri melihat kepergian Georgio.

"Ssstt … sstt, ayo … ayo, kerja." Ucap mereka langsung kembali ke meja masing-masing.

'Sepertinya aku perlu menerapkan disiplin yang tinggi di departemen ini,' gumam Sarah.

****

Selang beberapa jam kemudian, sekitar pukul 09.00, sebuah mobil Maybach warna hitam mengkilat tampak berhenti tepat di depan pintu masuk Aline Publishing. Sepasang kaki jenjang tanpa bulu dengan heels 10 cm warna hitam turun dari mobil mewah tersebut. Petugas keamanan yang melihat kedatangan wanita tersebut langsung bereaksi dengan menutup pintu mobil miliknya sambil berkata, "Selamat pagi, Nona Aline."

Aline, wanita yang baru saja turun dari mobil itu datang ke kantornya tepat di saat para pegawainya sedang sibuk-sibuknya. Kacamata hitam yang hampir menutupi setengah wajahnya, riasan yang flawless, tas Channel hijau kulit buaya, pakaian kerja warna hitam bergaya sheath dress serta blazer dengan warna senada dengan pakaian yang dikenakannya membuat penampilan Aline sangat paripurna.

"Pagi? Kukira sudah siang." Seloroh Aline menurunkan kacamata hitamnya dan dengan mantap melangkah ke dalam perusahaannya.

"Ssstt … sstt, siapa wanita cantik itu?" Salah seorang karyawan tampak berbisik melihat penampilan Aline dari kejauhan.

"Oh, myyyyy …," ujar temannya menanggapi.

"Ada apa?" 

"Itu kan …," temannya hanya menelan saliva dan langsung menarik masuk temannya ke dalam lift.

"Selamat pagi," sapa Aline ke meja resepsionis.

"Pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas resepsionis itu ramah dan tersenyum.

"Apa Nona Melda ada di ruangannya?" tanya Aline ramah.

"Nona Melda belum datang, beliau sedang ada urusan. Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa dengan beliau?" tanya petugas resepsionis itu lagi.

Aline sedikit tersentak. Dia hanya menaikkan salah satu alisnya sambil menatap petugas resepsionis itu dan melihat name tag miliknya.

"Lisa? Apa kau baru di sini?" 

"Ah, iya, Nona. Saya baru di sini dan baru saja lulus training sebagai resepsionis." Balas wanita mungil itu sambil tersenyum.

"Hmm, pantas saja kau tak tahu," seloroh Aline menyunggingkan senyumnya.

"Maaf, Nona? Apa Anda mengatakan sesuatu?" tanya Lisa, sang petugas resepsionis.

"Hubungi Rosaline. Katakan Aline telah tiba!" perintah Aline.

Lisa terdiam dan hanya memandang Aline heran. "Kenapa diam? Aku menyuruhmu untuk menghubungi Rosaline! Kenapa tidak segera kau lakukan?!" Aline mulai kesal.

"Maaf, tapi Anda siapa, ya? Kenapa sikap Anda seolah Anda adalah seorang bos?" 

Aline tersenyum menahan amarah juga emosi. "Kau!!"

"Nona Aline, maaf saya datang terlambat."

Dari arah lift, tampak seorang wanita muda berusia sekitar 25 tahun tengah berlari menghampiri Aline.

"Nona Rosaline." Lisa menundukkan kepalanya di hadapan Rosaline.

"Nona, apa Anda menunggu lama?" tanya Rosaline sedikit membungkukkan badannya.

"Tidak. Aku baru saja datang." Jawab Aline dingin sambil menatap Lisa.

"Lisa, apa kau tak tahu siapa beliau, hah? Beliau adalah CEO di perusahaan ini! Apa kau bisa baca 'Aline Publishing' diambil dari nama Nona Aline?" emosi Rosaline menunjuk tepat ke wajah Lisa.

Lisa yang tersentak dan terkejut segera keluar dari meja resepsionis miliknya dan membungkukkan badannya di hadapan Aline.

"Maafkan saya, Nona Aline. Saya--saya tak mengenali Anda, tolong jangan pecat saya, saya mohon …," Ucap Lisa membungkukkan badannya berkali-kali.

"K--," Aline mengangkat tangan kanannya memberi tanda agar Rosaline menghentikan kata-katanya.

"Sudah, Nona Lisa. Tak apa, saya mengerti dan saya maklumi, Anda masih baru dan saya pun jarang datang ke kantor. Jadi, wajar saja jika Anda tak mengenali saya. Sudah … sudah, bangunlah. Tak apa." Aline memegang kedua bahu Lisa dan menyuruhnya berdiri tegak.

"T--terima kasih, Nona Aline. Terima kasih banyak." Ucap Lisa menahan tangis.

"Baiklah, kalau begitu semangat, kerja yang rajin dan cakap, ya. Aku ingin melihat performamu, Nona Lisa." Senyum Aline tak lama membalikkan badannya dan berjalan menuju lift bersama Rosaline.

"Pecat resepsionis baru itu! Resepsionis macam apa yang tak mengenal atasannya!? Hanya orang bodoh yang mau mengangkat resepsionis macam itu! Dan juga, pecat segera orang yang meloloskan dan men-training dirinya. Aku mau besok resepsionis itu sudah tak ada lagi di kantorku!" Ucap Aline dingin.

"Baik, Nona. Akan saya laksanakan perintah Nona."