Grep!
Buagh!
Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat.
'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline.
Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt
Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala.
"Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya.
"Ada apa, Ma?"
[Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?]
"Aku sibuk, baru selesai meeting."
[Meeting? Meeting apa? Alisha tak bilang pada Mama jika kalian memiliki meeting!]
"Oh, jadi Mama sampai menghubungi sekretarisku hanya untuk memata-mataiku? Ckckck, ternyata sekarang Mama sudah alih profesi menjadi seorang peneror, ya."
[KAU! TUTUP MULUTMU, ANAK SIALAN!]
Wanita itu pun langsung menutup teleponnya dengan kasar. Ansel hanya mengusap-usap telinganya karena panas sambil tersenyum simpul. Matanya kini kembali tertuju pada seorang wanita yang tengah tertidur pulas di sebuah kamar yang seharusnya menjadi miliknya. Netra coklat terang itu terus menatap paras cantik wanita layaknya sebuah barbie hidup.
'Apa ini sebuah pertanda jika aku sudah harus menikah?' Gumam Ansel terus tersenyum sambil menatap Aline.
"Tuan."
Billy, sang asisten pribadi Ansel telah berdiri di depan sang majikan yang serius memperhatikan wajah cantik Aline dan tak tahu jika Billy ada di depannya.
"Tuan." Kali ini Billy menghampiri Ansel dan menepuk pelan bahunya.
"Ah, kamu!" pekik Ansel langsung menutup mulutnya.
"M-maaf, Tuan. Apa ada masalah?" tanya Billy penasaran.
"Masalah? Masalah apa?" Billy balik tanya.
"Kenapa Anda belum turun juga, Tuan? Mobil sudah siap sejak tadi. Makanya saya naik ke atas, takut Anda kenapa-kenapa," jelas Billy.
"Hah, lama-lama kamu kaya dia! Okelah, kita pulang!" perintah Ansel bersiap meninggalkan kamar yang ditempati Aline.
"Lalu, wanita ini, Tuan?" Tunjuk Billy.
"Biarkan saja dia di sana. Aku tak mau ambil risiko dengan wanita yang tak kuketahui identitasnya. Berikan saja kunci kartu hotel itu padanya dan jangan meninggalkan apa pun kecuali yang kukatakan!"
"Baik, saya mengerti, Tuan."
Setelah Ansel keluar meninggalkan kamar 204 di mana Aline berada, Billy kemudian meninggalkan sebuah kartu sebagai kunci hotel dan segera mengikuti sang majikan keluar dari tempat itu.
****
Sementara itu, di kediaman Anderson, Jeffrey yang telah berganti kostum menjadi dirinya, tengah menunggu kepulangan sang istri. Beberapa kali maniknya melihat ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 00.00. Lelah juga kantuk yang menyergap tak dirasakan lagi olehnya. Beberapa kali ia telepon, tapi ponselnya tetap tak bisa dihubungi, begitu pula dengan Georgio, yang tak bisa dihubungi.
'Kenapa perasaanku tak enak?' gumam Jeffrey segera mengambil kunci mobil yang menggantung di gantungan khusus kunci dekat pintu utama rumah mereka.
Tak pikir lama, mobil Porsche merah menyala segera melaju di aspal Kota Dansk yang dingin dan masih ramai itu. Dengan ekspresi khawatir dan bola mata yang selalu menyisir tiap jalan dan sudut kota eksotik itu, Jeffery beberapa kali berhenti di tempat-tempat yang biasa dia singgahi hanya untuk memastikan apakah Aline berada di sana.
"Aline, di mana dirimu? Apa kau marah padaku?" Jeffrey melihat jam tangannya menunjukkan pukul 00.30 dinihari.
Suami mana yang tak akan ketar-ketir melihat istrinya belum pulang ke rumah. Jeffrey tanpa sadar menghentikan mobil sport merah mewahnya di sebuah apartemen mewah di kota itu. Tatapannya kosong, pikirannya kacau! Layaknya suami yang tengah ditinggal kabur sang istri, Jeffrey kalap dan bingung harus ke mana lagi mencari keberadaan sang istri tercinta.
Dengan langkah tergesa, tungkai panjangnya segera melesat menuju lift dan menekan tombol 14 sembari menghentak-hentakkan kakinya.
Ting ….
Bunyi suara pintu lift terbuka begitu nyaring terdengar di antara banyaknya kamar apartemen. Mata hitam Jeffrey segera mengarah pada kamar 1104 dan tanpa basa-basi menekan bel tanpa jeda.
"Oke! Oke! Tunggu sebentar! Siapa sih yang malam-malam begini ga punya otak bertamu!?" Kesal pemilik kamar tersebut segera bergegas ke pintu apartemennya.
"T-Tuan!" terkejut pria itu ketika Jeffrey berdiri di hadapannya. "A-ada apa Tuan?" tanya pria itu celingukan.
"Di mana Aline?" tanya Jeffrey dengan suaranya yang dalam.
"A-apa, Tuan? N-Nona Aline? Bukankah beliau bersama dengan-"
"Tidak! Dia belum kembali ke rumah!" Jeffrey terlihat putus asa sambil mengepalkan tangannya menahan segala rasa dalam dirinya.
"M-masukla dulu, Tuan." Ajak pria pemilik apartemen mewah yang tak lain adalah Georgio.
"Saya buatkan Anda minuman dulu, Tuan-"
"Aku butuh scotch! Apa kau punya?" Jeffrey melirik Georgio.
"S-aya tak memiliki scotch, Tuan."
"Lalu apa yang kau punya? Keluarkan! INi perintah!" ucap Jeffrey terduduk lemas di sebuah sofa hitam sambil menautkan kedua tangannya.
"Ini, minum dulu Tuan." Georgio memberikan segelas coklat panas pada sang 'tamu tak diundang'-nya.
"Coklat panas? Kau pikir aku anak kecil, hah!?" bentak Jeffrey hingga menciprati wajah Georgio.
"M-maaf Tuan. S-saya hanya tak ingin kondisi Anda semakin buruk. Minuman ini bisa menetralisir segala racun dan mengembalikan suasana hati Anda, Tuan."
"Aku tak butuh ceramahmu, Georgio! Bantu aku menemukan Aline!" perintah Jeffrey segera beranjak dari apartemen Georgio. Kuberi waktu tiga menit untuk segera berganti pakaian! Kutunggu di luar.
"B-baik, Tuan!"
Tanpa pikir panjang, sang asisten yang juga kepala editor perusahaan sang istri tersebut langsung berganti pakaian ala kadarnya dan bergegas menghampiri Jeffrey yang menunggu di dekat lift kamar apartemennya.
"Tuan." Georgio yang telah mengganti pakaiannya dengan kaos, celana jeans hitam, serta jaket dan topi ala pemain baseball warna hitam segera turun ke lantai dasar dan menuju mobil Jeffrey.
"Biar saya yang menyetir, Tuan." Georgio menawarkan diri dan beralih ke kursi supir.
"Ucapan yang telah kutunggu sejak tadi!" Seringai Jeffery melempar kunci Porsche merahnya.
"Jadi, ke mana kita akan mencari Nona Aline? Apa Tuan sudah mencari ke tempat yang biasa disinggahi Nona Aline?"
"Hmm! Sudah! None, empty!"
Dua orang pria tampan mengendarai Porsche tengah malam dan tepat berhenti di lampu merah tengah kota bersebelahan dengan tiga wanita malam yang mengendarai Cadillac Pink atap terbuka serta pakaian yang sangat minim membuat Jeffery berkata pada Georgio, "Buka kacanya!"
"M-maaf, Tuan?" Georgio terkejut tiba-tiba Jeffery membuka suaranya.
"Buka kaca jendelamu!" ucapnya sekali lagi.
Georgio pun tanpa pikir panjang mengikuti perintah Jeffrey dan betapa terkejutnya dia ketika melihat tiga wanita muda, cantik, seksi, eksotik sedang melihat ke aeah mobil yang ditumpangi mereka berdua.
"Hai, Tampan … godain kita, donkkkk." Salah seorang di antara mereka melambaikan tangan memberi tiupan dan kerlipan genit pada Georgio.
"Kalian ga kedinginan dengan baju kaya gitu?" Jeffrey meyelinapkan kepalanya keluar jendela kursi supir Georgio.
"T-Tuan!" Georgio membelalakkan matanya, menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Jeffrey.
"Hai, Ganteng. Mau kami temani?" salah satu dari mereka lagi.
Jeffrey terdiam. Dia melihat salah satu wanita yang duduk di kursi supir Cadillac itu diam dan 'jinak', tak seperti dua wanita yang duduk di kursi belakang.
"Dia teman kalian?" Jeffrey memberikan isyarat kepala menunjuk wanita yang dimaksud.
"Dia sopir kami!" Senyum dan sahut salah satunya.
"Oh, begitu. Kupikir dia satu dari kalian. Aku ingin berkenalan dengannya."
Belum sempat dijawab, lampu telah berubah warna menjadi hijau. "Tuan. kita harus menemukan Nona Aline."
Jeffrey memasukkan kembali kepalanya dan kaca hitam pekat Porsche miliknya pun segera ditutup sebelum para wanita malam itu mendengar jawabannya.
"Kenapa Anda bersikap seperti tadi, Tuan?" Georgio tak habis pikir.
"Intermezzo!"
"Apa? Intermezzo, Tuan?" tanya Georgio mengangkat dua alis hitam tebalnya.
"Hahhhh, aku benar-benar gila! Aline tak pernah seperti ini sebelumnya. Ke mana dia-" Jeffrey mengusap-usap pelipisnya dan tiba-tiba berkata, "Hentikan mobilnya!
Georgio pun langsung mengerem mendadak dan melihat ke arah Jeffrey sambil berkata, "Ada apa Tuan?" paniknya.
"Kita ke hotel!"
"Ho-tel?"
"Hotel dia bertemu tadi."
"Baik, Tuan. Saya mengerti."
Porsche merah itu pun segera berbalik arah dan menuju hotel yang dimaksud Jeffrey. "Lajukan kencang!"
"Baik, Tuan."
Porsche yang dikemudikan oleh Georgio pun melaju kencang di jalanan sepi Kota Dansk, namun tiba-tiba di depan mereka tampak seperti siluet manusia yang sedang berdiri di tengah jalan dengan pakaian minim menutupi wajahnya yang silau terkena sorot lampu mobil yang dinaiki Jeffrey dan Georgio.
"Tuan, di depan-" Georgio tampak ragu sambil memegang kemudi setir kencang. "Tuan, Anda melihatnya bukan? Apa kita harus berhenti?" tanya Georgio lagi. "Tuan-!" Georgio menoleh ke arah Jeffrey yang masih tenang.
"Tuan Jeffreyyy-"
"'STOP!" perintahnya tepat sedikit lagi Porsche itu akan menabrak sosok yang ternyata seorang gadis itu.
"Arrgghhh!!" teriak gadis itu terkejut hingga terjatuh dengan cukup keras.
Jeffrey segera keluar mobil dan menolong gadis malang itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya Jeffrey mendekati gadis itu.
"Tuan!" Georgio segera menyusul Jeffrey keluar mobil.
Gadis itu tampak ketakutan dan gemetar! Sekujur tubuhnya penuh dengan luka lebam dan lututnya pun berdarah karena Porsche yang Georgio-Jeffrey naiki berhenti mendadak.
"Bawa dia ke rumah sakit!" perintah Jeffrey menggendong gadis itu dan memerintahkan Georgio membuka pintu mobilnya.
"T-tapi, Tuan … ba-bagaimana dengan Nona Aline?" Georgio sedikit khawatir.
"Dia bisa menunggu! Dia, tak bisa menunggu!" tegas Jeffrey mengarahkan pandangannya ke gadis yang digendongnya.
Georgio benar-benar tak punya pilihan lain kecuali mengikuti kemauan Jeffery yang memang dikenal nyentrik dan anti-mainstream.