Di pagi hari, di persimpangan jalan dekat lampu merah, seorang remaja dengan seragam sekolah terlihat sedang membungkus kepala seorang preman.
Preman yang sebelumnya sempoyongan karena mabuk itu telah terjatuh di trotoar dan tampak mengeluarkan darah. Tanpa takut, remaja itu tetap membantu preman itu dan mencoba menghentikan perdarahannya.
"Siapapun... tolong selamatkan dia. Dia sudah mengeluarkan banyak darah!". Teriak remaja itu kepada orang-orang yang hanya melihat adegan itu dari kejauhan. Sambil memangku tubuh preman itu di lengannya, remaja itu terus berteriak.
Selain dirinya, tidak satupun yang bergerak membantu. Malahan, senyum samar terlihat di wajah para penonton itu. bagaimana tidak, yang tak sadarkan diri di pangkuan remaja itu merupakan preman yang selalu membuat onar di wilayah mereka.
Putus asa dengan tanggapan mereka, remaja itu mencoba mengangkat preman tersebut layaknya sang putri. Tangannya gemetar karena beban tubuh preman itu lebih besar darinya. Namun tak ada satu kata menyerahpun terbesit di pikirannya.
Dengan usaha yang keras, remaja itu akhirnya sampai di sebuah puskesmas. Tapi hal mengejutkan kembali datang padanya. para perawat dan dokter di sana, tidak mau menerima seorang preman. Itu semakin membuatnya frustasi.
Memohon dan terus memohon, akhirnya preman tersebut segera di bawa ke ruangan di puskesmas itu. namun remaja itu harus membayar dengan harga di atas harga normal.
Tanpa berpikir, remaja itu meronggoh semua isi saku dan dompetnya. Juga, dia sampai harus mengambil semua isi atm miliknya.
'Haah, aku telat pergi sekolah lagi, pasti nanti akan diceramahi lagi oleh ibuku'. Ungkapnya sambil menghela nafasnya.
Remaja ini bernama Ansel, dan dia merupakan seorang siswa sma kelas dua di sebuah sekolah negeri. Hampir setiap hari, dia harus terlambat karena membantu orang yang ditemui dalam perjalanan.
Itu semua karena sifatnya yang begitu baik. Dan dia tidak peduli apa yang akan menimpanya, asalkan dapat membantu orang lain.
'Sebaiknya aku bergegas, setidaknya aku tetap pergi sekolah'. Sambil mulai berlari kecil Ansel segera meninggalkan puskesmas.
Keringat yang baru saja mulai kering, kembali bergulir di kulitnya. Tapi tidak ada terlihat letih di wajahnya. Karena Ansel juga sering melakukan olahraga sepulang sekolahnya. Tak hanya di klub yang di ikutinya di sekolah, Ansel juga suka bermain badminton dengan dinding rumahnya sebagai bentuk latihan.
Karena itu merupakan olahraga yang di sukai oleh mendiang ayahnya dulu, Ansel bertekad mengejar prestasi dengan olahraga yang dicintai oleh ayahnya itu.
"Gyaaa... Lariii". Suara teriakan wanita tiba-tiba terdengar dari arah persimpangan lampu merah sebelumnya.
Ansel seketika menggerakkan tubuhnya yang bahkan lebih dulu dari otaknya. Dapat dikatakan sebuah insting dalam hal membantu orang lain. Itu seperti sudah mendarah daging baginya.
Sesampai di tempat asal suara itu, segerombolan pria dengan tubuh berotot yang dipenuhi tatto, tampak mulai menyerang orang di sekitarnya. Mereka seperti melampiaskan kemarahan yang tak bertujuan. Siapa saja yang ada dalam pandangan mereka, akan segera diserang.
Pisau tangan dan beberapa tongkat besi melayang ke sana kemari. Baik tua atau muda, pria atau wanita, semua tidak ada beda dihadapan mereka. Itu lebih kepada serangan yang membabi buta.
"Aku mendengar kalian membiarkan bos kami terbunuh. Dasar kalian para brengsek! Akan kami balas kalian". Teriak preman yang sedang mengamuk itu.
Ansel yang tertegun sebelumnya melihat orang-orang terjatuh dan terluka begitu banyak, mulai bergerak. Seolah seluruh darahnya mulai naik ke kepala. Ekspresi yang belum pernah terlihat di wajahnya yang memerah. Ekspresi kemarahan yang lepas dari belenggu kebaikannya.
"Dasar kalian preman bodoh! Apa yang kalian lakukan, Hentikan!!". Suara keras Ansel menggema hingga ke telinga para preman itu.
Keheningan membalut tempat itu sesaat. Mendengar teriakan Ansel, para preman itu berhenti dan balik memandanginya. Urat di kepala preman itu mulai bedenyut dan semakin jelas terlihat.
"Siapa kau bocah tengik? Beraninya kau berteriak terhadap kami". Kata salah seorang preman dengan bekas luka yang banyak di wajahnya.
"Woi! Siapa saja, bereskan si gila itu." Sahut preman yang lainnya.
Tanpa takut, Ansel juga begerak ke arah mereka dari seberang jalan. Dan dua orang di antara preman itu juga maju mendekati Ansel. Dan tepat di tengah jalan itu mereka betemu sambil bertatapan.
"Wuuuyaa..! ". Tanpa aba-aba kedua preman itu mengangkat tongkat besi dan bersiap melayangkannya. Ansel yang melihat itu menerjang kedepan dengan tendangan ke arah perut preman itu. Sekilas itu terlihat akan mengenai preman itu.
"Aaaagh. Sialan kau!". Teriakan Ansel yang terlihat memegang kakinya dengan ekspresi kesakitan. Perlahan celana dibagian kaki yang dipegangi itu basah.
Preman tersebut hanya berdiri dengan wajah sangar mereka sambil melototi Ansel yang terduduk kesakitan.
Rupanya salah satu preman itu berhasil memukul kaki Ansel saat akan menendang perut temannya. Ansel yang masih terlihat memikirkan keselamatan orang lain, tidak begitu menghiraukan tatapan preman di depannya itu.
"Dasar pecundang! Sok mau jadi pahlawan kau di sini? Mau mati cepat kau huh?!".
"Kalian pikir aku akan takut? Untuk memberi pelajaran kepada orang seperti kalian yang cuma menyerang orang-orang yang tak bersalah dan lemah. Kalian pikir aku takut?". Teriakan hati Ansel keluar di depan gerombolan preman yang bengis itu.
"Lepaskan, lepaas! kalian orang-orang jahat. Berhen--".
"Tung.. buuk!"
Suara benturan tongkat besi menghentikan teriakan wanita paruh baya yang tiba-tiba datang di sana. Seketika wanita itu terjatuh dan tidak sadarkan diri. Darah mengalir dengan cepat dari kepala wanita itu.
"Dasar wanita tua berisik! mampus kau!". Makian preman itu kepada tubuh yang telah terkapar. Meski sudah tidak sadar, preman tersebut masih mengeluarkan kata-kata kasarnya.
Disaat yang sama, Ansel membeku tak bergerak melihat kejadian itu. Tubuhnya tampak gemetar, namun bukan ketakutan karena para preman bengis. Tapi takut akan apa yang terjadi dengan wanita yang sudah tak sadar itu.
Pasalnya, itu merupakan wanita yang telah dikenali oleh Ansel sejak dulu. Setiap hari dia selalu bertemu dan berbicara dengan wanita itu. Dan itu telah berlangsung selama tujuh belas tahun. Ya, itu merupakan ibu kandungnya Ansel.
Dia bahkan tidak bisa berkata-kata saat ini. Ansel berdiri seakan tidak terjadi apa-apa dengan kakinya yang sudah berlumuran darah.
Kedua preman di depannya terlihat kening mereka mengkerut. Namun pandangan Ansel tetap tak tertepis ke arah ibunya.
Ansel bergerak selangkah demi selangkah tanpa menghiraukan sekitarnya. Tujuannya hanya ingin mencapai ibunya yang tidak tau keadaannya itu.
"Ti-tidaaak... Ibuu.. Jangan ibu...". Suara yang terdengar parau keluar dari mulut Ansel seiring pecahnya tangis di wajahnya.
Kedua preman itu hanya melihat Ansel yang berlari ke ibunya. Ansel yang sudah sampai mencoba mengangkat wajah ibunya. Tidak ada lagi terasa detak jantung saat Ansel menyentuh nadi ibunya.
Tangisannya semakin keras, namun tak satupun air mata yang mau keluar.
"Hey, hey... Ada apa lagi dengan bocah ini. Berisik sialan! Kalian, tolong diamkan bocah berisik itu". Perintah dari preman itu kepada rekan yang lain.
"Baik, kakak".
Lalu seseorang dengan tongkat besi yang sama mendekat ke belakang Ansel. "Teng!" Bunyi yang sama memukul ibunya juga terdengar tepat di kepalanya. Suara itu juga membuat pandangannya memudar. Perlahan kehilangan tenaganya dan membuat tubuhnya terbaring lemas di samping ibunya.
Lalu samar-samar terdengar bunyi sirine polisi yang kian mendekat. Para preman itu tetap tidak menjukkan keinginan untuk mundur. Suara tembakan mulai bergantian terdengar hingga suara itu mulai menghilang. Ansel yang sudah terbaring, kesadarannya juga semakin memudar.
Semuanya menjadi hening dan gelap. Tidak bisa mendengar, tidak dapat melihat. Namun semua itu terasa sangat tenang dan damai.
'Apa aku mati? Jika benar, mungkin aku dapat bertemu dengan keluargaku lagi'. Kalimat di hati Ansel sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya.