"Bukannya kau telah sembuh? Ada apa dengan sikapmu yang seperti orang sakit itu". Suara Sistem yang mencoba menggoda Ansel.
"Ugh, tidak bisakah kau tidak selalu mengejutkanku. Lagian aku hanya mencoba menghargai bantuannya". Ungkap Ansel yang pipinya mulai kemerahan.
"Ohoo, sepertinya kau sedang senang. Aku bisa merasakannya dari sini".
"A-apa maksudmu? Aku hanya seperti biasa. Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan mereka bertiga yang sebelumnya?". Tanya Ansel mengalihkan perhatian.
Ansel juga merasa jika perbuatannya itu adalah sesuatu yang salah. Tapi mengingat kembali apa yang telah terjadi, pada saat itu dia merasakan ada suatu dorongan yang membuat dirinya tidak peduli dengan orang lain. Perasaan amarah yang sangat kental seperti berkumpul di dadanya.
"Yah, itu seperti perkiraanmu. Mereka telah mati". Jawab Sistem dengan santai.
"Begitu ya..,". Ansel memejamkan matanya dengan perasaan bersalah. Itu adalah suatu keadaan yang tidak bisa dia kontrol.
"Tentang misimu, kau telah berhasil melakukannya. Dengan begitu, tentu kau akan mendapatkan hadiahnya. Ini hadiah pertamamu".
Di dalam kepala Ansel, sesuatu yang bersinar tiba-tiba muncul. Tulisan aneh itu juga ada di dalam sinar yang mulai meredup. Hadiah yang di terima Ansel sepertinya itu semacam sebuah skill yang dapat digunakan oleh Ansel.
'Hadiah : Ruler of the Wrath'
"Penguasa Amarah? Apa itu? Dari namanya saja itu bukan skill kemampuan yang baik". Ansel merasa kesal dengan hadiahnya.
"Apa maksudmu? Itu akan sangat berguna, tau!". Sistem yang tidak setuju mulai angkat bicara.
"Dengar, skill ini memiliki efek di mana kau akan bertambah kuat karena amarah di dalam dirimu atau orang-orang sekitarmu. Jika lawanmu lebih banyak, maka kau akan lebih kuat! Dengan skill ini, kau mampu menjadikan amarah siapa saja itu sebagai sumber kekuatan bagimu.!". Jelas Sistem itu meyakinkan Ansel tentang kemampuan barunya.
"Apa maksudnya itu? Kuat karena marah? Apakah ini semacam kemampuan pasif?"
"Mmm, itu tidak salah juga. Tapi kau mampu mengontrol apakah itu akan kau serap atau biarkan saja".
"Tetap saja itu berasal dari kemarahan. Tapi bukannya itu mirip seperti berseker di dalam game-game RPG?". Keluh Ansel.
Ansel mengingat kejadian sebelumnya ketika dia terbakar oleh amarahnya sendiri. Bahkan saat itu, simpati dan empatinya hilang karena amarah itu. Lebih seperti mengamuk yang tidak terkendali.
"RPG? Apa itu? Yah, nanti kau akan merasakan sendiri betapa bagusnya kemampuan ini". Sistem mulai menyombongkan seperti itu adalah miliknya sendiri.
"Hhmh, kita lihat saja nanti". Sahut Ansel menghela nafas panjang.
Tapi Ansel merasa kemampuan itu masih mengerikan setelah mendengar penjelasan Sistem itu. Dia mulai memikirkan yang tidak-tidak tentang kemampuan itu. Imajinasinya semakin bebas memikirkannya.
"Maaf menunggu lama ya?". Tanya wanita yang mulai melewati ruangan kamar itu.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja kok". Balas Ansel sembari mencoba untuk duduk kembali.
"haah.., sepertinya kamu memang sudah baikan, ini aku bawakan bubur untukmu. Hati-hati, itu masih panas".
"Ngomong-ngomong, boleh ku tahu siapa namamu? Dan biar ku perkenalkan diriku pertama, Aku Ansel".
"Namaku? Oh, kau bisa memanggilku Celia. Salam kenal ya Ansel". Kata Celia sambil menghumbar senyum lebarnya kepada Ansel.
Sesaat, Ansel merasa sangat tenang dengan senyum Celia yang tiada cela. Itu membuat darahnya seperti berhenti mengalir. Lalu detak jantung menjadi cepat seolah memaksa darah dalam tubuhnya agar kembali bergerak.
"Kenapa kamu melamun? Ayo cepat habiskan atau itu akan menjadi dingin setelah ini". Suara Celia kembali menarik Ansel dari khayalannya.
"Oh ya, tentu! Pasti akan ku habiskan". Jawab Ansel dengan tegas.
Ansel memutuskan untuk tinggal sementara di tempat Celia. Dengan maksud sambil mencari informasi tentang ibunya, yang dia sendiri belum tahu bagaimana caranya.
***
Dua hari setelah kejadian, Ansel akhirnya memutuskan keluar untuk jalan-jalan. Dia ingin mengelilingi kota agar mendapatkan informasi apapun yang bisa membawanya menuju ibunya.
Ansel ditemani Celia yang kebetulan sedang libur dari pekerjaannya. Celia biasa bekerja sebagai pelayan di sebuah tempat makan. Dan hari ini, tempat kerjanya sedang tutup karena sedikit renovasi.
"Apa tidak merepotkanmu jika mengantarku berkeliling?". Basa-basi Ansel.
"Tentu saja tidak. Aku juga kebetulan lagi libur kok. Jadi aku sedang luang. Dan juga, kamu kan belum tau daerah kota kecil ini. Jadi aku akan membantumu".
"Kalau tidak keberatan, baiklah. Mari kita berangkat".
Di perjalanan, Ansel baru menyadari bahwa kota tempatnya itu terlihat seperti kota abad pertengahan. Bangunan mewah ala bangsawan berjajar dengan sesamanya. Itu sedikit terpisah dengan bangunan biasa seperti tempat tinggal Celia.
Tapi perasaan aneh yang semenjak kemarin di acuhkan oleh Ansel, semakin terasa.
Itu seperti kumpulan-kumpulan aura kemerahan yang membuat Ansel bertenaga. Aura itu seperti bola api kecil yang berada di dada orang-orang.
Setiap orang memiliki ukuran yang berbeda. Ada yang besar meluap hingga ke seluruh tubuh, dan ada yang halus seperti sebutir pasir.
Semakin besar milik seseorang, Ansel juga merasa sangat bersemangat tanpa alasan.
Ketika dia melihat orang tersebut, itu adalah seorang pria paruh baya yang sedang memaki seorang pencuri. Begitu pula dengan milik pencuri yang sedang duduk terikat di bawah.
Aura yang seperti bola api besar dari kedua orang itu, memberikan efek seperti doping bagi Ansel. Itu membuat tubuhnya berenergi secara instan. Bahkan dia tidak melakukan apa-apa dan hanya lewat jauh dari dua orang tersebut.
Setelah mengamati itu, Ansel memiliki suatu kesimpulan di otaknya. Dia mengasumsikan bahwa itu merupakan pancaran amarah setiap orang. Dia mampu melihat seberapa besar amarah yang ada di hati setiap orang.
Apakah itu marah yang terlihat, atau tidak terlihat seperti mendongkol, dendam, semua akan terlihat di mata Ansel. Juga itu akan menjadi sumber energi bagi dirinya. Dan sepertinya, itu merupakan efek dari kemampuan yang baru di dapatnya kemarin.
Dan yang membuatnya penasaran, semenjak kemarin dia pertama kali melihat itu, orangnya adalah Celia.
Bahkan di saat berjalan bersamanya, itu masih ada mengendap di dada Celia. Kira-kira sebesar kepalan tinju orang dewasa. Tapi apa itu disebabkan oleh dirinya atau tidak, Ansel sempat memikirkan, namun sepertinya bukan.
"Ada apa?". Tanya Celia dengan senyumnya kepada Ansel yang terlalu fokus memandanginya.
"Ah, ti-tidak apa-apa. Ahaha, ayo lanjut". Selagi bergerak duluan. Ansel masih memikirkan tentang Celia yang dia lihat selalu tersenyum.
Di balik senyum indahnya, Celia menyembunyikan kemarahan di dalam hatinya. Namun Ansel tidak berani untuk masuk bertanya.
Dia takut jika apa yang dia lihat itu salah. Atau itu akan membuat suasana menjadi buruk. Dia tidak mau mengotori senyum yang ada di wajah Celia saat ini. Meski itu semua kebohongan yang dibuat untuknya.
Memang sedikit egois, tapi itu merupakan ketulusan dari hati Ansel yang ingin untuk menjaga senyuman itu.
Bahkan tidak lebih dari tiga hari Ansel berkenalan dengan Celia. Namun dia telah memiliki perasaan yang mengikatnya untuk melindungi Celia. Memang itu sifatnya yang terlalu baik seperti biasa.
Namun kali ini sedikit berbeda. Itu lebih kepada perasaan sayang yang mirip dengan perasaan kepada ibunya. Dia merasa seperti di dalam sebuah keluarga ketika bersama Celia.