"Ya udah, besok Mama dateng ke sekola. Enggak apa, itung-itung kamu istirahat dulu di rumah ya." Kirani menepuk-nepuk pipi Bara dan tersenyum pada anak bungsunya itu.
Tiba-tiba, Monika menghampiri mereka dengan tatapan dan senyuman sinis.
"Punya anak cowok tuh gituh, kalau enggak bisa ngurus," celetuk Monika sambil berjalan pergi.
Bara dan Kirani pun geram mendengarnya, mereka menatap punggung Monika yang sudah berjalan beberapa langkah itu dengan sinis.
"Ma, biar Bara kasih pelajaran Bunda Monik." Bara pun melangkah pergi tapi dadanya ditahan oleh Kirani. Kirani menggelengkan kepalanya.
"Kamu jangan gegabah Bara, mau cari masalah lagi sama Ayah kamu? Enggak, kan? Biarkan saja dia meledek sesuka hati, Hani saja belum tentu benar, ya kan?" Kirani tersenyum sambil mengelus-elus dada putranya yang naik turun penuh emosi.
Bara sangat tidak terima dengan ucapan Monika barusan.
Tapi Bara menurut, sudah syukur ayahnya tidak menguntit mobil mewah pemberiannya itu. Bisa-bisa mobil itu juga ditarik, dan Bara kembali menggunakan motor ke sekolah.
Gengsi dong, nanti teman-temannya pada nanya kalau Bara hanya memamerkan mobil beberapa hari dan mobil itu kemudian disita lagi oleh ayahnya. Bara enggak mau itu terjadi.
***
Di dalam kamar, Jajaka Purwa kembali selonjoran di kamar sambil melihat Asih berganti baju. Sungguh menyebalkan! Asih sangat tidak menyukai itu, dia malu.
Sesudah Asih berganti baju, dia kemudian membuka beberapa buku yang dia keluarkan di dalam tas sekolahnya.
Asih ingin pura-pura belajar agar suaminya itu sadar kalau Asih tidak bisa diganggu apalagi melayani suaminya.
Asih juga tahu kalau Jajaka Purwa sudah mabuk, terlihat dari matanya yang merah dan tatapannya yang setengah kosong.
Tadi juga saat memukul Bara dia seperti hilang kendali, sampai pukulannya itu terlihat tidak dipikirkan resikonya sama sekali padahal Bara itu adalah anaknya sendiri.
Asih tidak tahu apakah suaminya memang begitu sikapnya atau tidak, yang jelas Asih sangat takut. Bayang-bayang kematian Famella masih terngiang-ngiang di benaknya.
Kalau tadi Asih tidak menghalangi suaminya memukuli Bara, entah apa yang akan terjadi pada Bara.
Dia bahkan juga tidak melawan balik ayahnya, mungkin Bara memang sadar, pikir Asih. Baguslah, semoga dengan adanya skorsing Bara juga kapok.
"Asih, apa kamu banyak tugas sekolah?" tanya Jajaka Purwa begitu menggema di seisi kamar.
Asih langsung menoleh padanya. "A, a-ku, aku hanya menghafal saja Tuan," balasnya gugup.
"Itu bisa dilakukan nanti, tapi kebutuhan saya haruslah terlaksana sekarang," ucapnya.
Asih sangat degdegan, Asih sudah tahu apa maksud dari si Tua Bangka itu.
Haruskah sekarang? Baru saja Asih pulang sekolah dan makan saja belum, sungguh si buaya lapar yang meresahkan.
"Ta, ta-tapi Tuan, aku …." Asih ragu.
Jajaka Purwa pun menyampingkan badannya samping menopang kepala dengan sebelah tangan.
"Kamu ingin membantah saya? Setelah kamu tahu kalau saya kemarin sudah menghabisi istri saya dengan selingkuhannya?" tanya Jajaka Purwa terdengar seperti ancaman yang sangat sakral dan ketika Asih berani melawan aturan adatnya, bisa-bisa kutukan dan malapetaka akan terjadi.
"Tidak, Tuan." Asih pasrah.
***
Bara membuka pintu kamar Adrian, berniat ingin mengadu. "Kak, gue ta –"
Dilihatnya kamar kakak lelakinya itu kosong melompong. Lantas Bara pun melirik jam dinding yang ada di sana, dan sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Bara pun menutup pintu, melangkahkan kakinya ke dalam kamar dan mendekati toilet yang ada di dalam kamar Adrian.
Dibukanya pintu toilet itu. Tetap tidak ada siapa pun.
"Ke mana lagi kak Adrian?" Bara melirik setiap sudut ruangan, takut kalau kakaknya Adrian menjahili dirinya.
Sampai sudah berhenti bernapas pun, ternyata tetap saja –tidak ada tanda-tanda makhluk apa pun di sana terkecuali dirinya dan cicak yang berlari di dinding kamar mengejar lawan jenisnya.
"Apa jangan-jangan dia?" Bara curiga.
Bara bahkan bingung kenapa kakaknya Adrian tidak pamit padanya atau apa pun itu, biasanya kalau hanya sekedar beli makanan keluar atau pun hanya berkunjung ke rumah temannya … Adrian sesekali suka bilang pada Bara.
Adrian tahu kalau Bara sering mengungsi ke kamar Adrian hanya untuk mengutarakan kekesalan ataupun juga hanya untuk mengutak-atik handphone sambil selonjoran di kasur Adrian.
Kamar Adrian seperti basecamp adiknya sendiri, Bara. Bara yang hanya punya saudara lelaki nan dingin satu-satunya itu, lalu saat Adrian tidak ada bahkan hilang tanpa kabar tentunya sungguh aneh sekali. Bisa dibilang Adrian kesepian.
"Emchhh, mulai enggak ngajak-ngajak dia." Tiba-tiba, selintas pikiran mulai terbesit di otak Bara. "Hahahah," tawa Bara menggema, "sekarangkan, malam minggu. Apa kak Adrian sudah puber ya? Pantes aja dia diem-diem ngilang. Tapi, apa Mama tahu? Aku harus tanya Mama." Bara pun pergi keluar dan tak lupa menutup kembali pintu kamar kakkanya itu, sambil cengengesan sendiri dia berjalan gontai dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana boxer merah yang sedang ia kenakan.
Setelah beberapa langkah berjalan, di persimpangan belokan menuju kamar Kirani—ibunya, Bara berpapasan dengan Asih yang baru keluar dari kamarnya.
Asih menatap Bara seperti inceran, mangsa yang ingin segera dia tangkap. Asih pun berjalan mendekatinya.
"Bara, apa lukamu masih nyut-nyutan?" tanya Asih khawatir.
Alis Bara pun mengkerut, kenapa Asih? Padahal dia pun punya luka lebam, so soan peduli sama Bara.
"Iyalah, nyut-nyutan. Ini lebih parah dari lo," balas Bara ketus.
Tanpa peduli ucapan Asih berikutnya, Bara pun melenggak lenggok lagi meninggalkan Asih.
"Tunggu Bara!" Asih mencegahnya, Bara pun berjalan mundur lagi ke belakang.
"Ada apa?" balas Bara seakan-akan tubuhnya lemas, pelan dan terdengar lesu, yang artinya dia sangat malas menjawab.
Asih pun mendekatinya, semakin dekat. Menilik-nilik wajah Bara yang terdapat luka lebam yang sama tapi benar katanya, itu pasti lebih sakit karena sangat berwarna ungu seperti darah yang sulit keluar.
"Apa kamu yang minta ke ayah kamu untuk kasih orang tuaku motor?" tanya Asih.
Bara menelan salivanya. Ayahnya, Jajaka Purwa pasti sudah bilang pada Asih kalau orang tuanya sudah dibekali kendaraan untuk mempermudah mereka bepergian.
Tapi kenapa Asih masih bertanya siapa? Sudah pasti Jajaka Purwa tidak bilang kalau anaknya Baralah yang sudah melaporkan kejadian waktu itu.
Waktu orang tua Asih pulang jalan kaki setelah mengantar Ditto pergi ke dokter. Jajaka Purwa memang memfasilitasi segala kebutuhan orang tua Asih, dan sudah memberikan mereka banyak uang.
Hanya saja, mungkin orang tua Asih tidak memakai uang itu untuk membeli kendaraan dan untuk membantu mertuanya sendiri dan telah mendapat kabar dari Bara juga.
Jajaka Purwa pun tanpa pikir panjang lagi memberi ayah Asih motor. Dia bahkan ingin memberi orang tua Asih mobil, tapi mungkin nanti saja sekalian saat Jajaka Purwa berkunjung ke sana bersama Asih.
Bara langsung batuk.
"Tujuanku apa? Ngebantu orang tua lo? Enggak, gue enggak bilang apa-apa. Bukan urusan gue." Bara mengelaknya, wajahnya pura-pura dibuat judes agar Asih percaya kalau Bara tidak peduli akan hal apa pun yang sedang dialami Asih maupun keluarganya, tapi Asih bisa menebak kebohongan anak tirinya itu.
'Gengsi sekali dia,' celetuk Asih dalam hati.
"Oh, ya udah. Aku kira kamu." Asih pun tidak lagi banyak bicara.
Dia kembali membalik badannya untuk segera pergi ke dapur.
Bara kembali batuk.
"Memangnya kenapa? Ada apa?" Bara masih penasaran, dia belum tahu kalau ayahnya—Jajaka Purwa sudah bergerak cepat memberikan kendaraan untuk Asep.
Kali ini, yang berjalan mundur adalah Asih. Sampai ketika mereka sejaraj, Asih melihat Bara yang berdiri di sampingnya sekarang.
"Enggak, ayahmu sudah memberikan ayahku motor. Terima kasih ya." Asih tersenyum.
Bara menampakkan reaksi belotot, dan sangat canggung.
"Baguslah, suami baik berarti ayah gue. Terus buat apa lo ingin pergi dari sini?"
'Aduh, gue salah ngomong. Lagian kalau si Asih kabur, apa peduli gue?' gumam Bara dalam hati.