Bara menundukkan kepala, pura-pura bersalah tapi dia mengelak kalau tidak mengetuk pintu.
Sedari tadi dia mengetuk-ngetuk pintu tapi tidak ada jawaban, jadi Bara langsung masuk saja dan apa yang sudah dia lihat sendiri sangat menjijikkan menurutnya.
"Maaf Yah, aku tadi sudah mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Jadi –"
Penjelasan Bara langsung dipotong. "Iya, ayah terima alasanmu. Sekarang kamu mau ambil hadiahmu, bukan?"
Bara tersenyum, dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya ingin segera mendapatkan hadiah.
'Hadiah?' Asih bergumam pelan.
Asih curiga mengapa Bara diberikan hadiah oleh ayahnya padahal dia tidak sedang ulang tahun, karena kalau ulang tahun pun pastinya akan ada pesta besar dan syukuran sedangkan sekarang tidak ada sama sekali.
Jajaka Purwa kemudian membuka laci mejanya, mengambil sesuatu dann dilemparkannya sebuah kunci pada Bara yang langsung dia tangkap dengan gesit. Bara tersenyum lebar.
"Terima kasih, Yah," ucapnya dan dia langsung membalik badannya untuk segera pergi.
Tapi tidak semudah itu, ayahnya mencegah kepergian Bara.
"Tunggu!" katanya. Bara pun kembali membalik badan dengan tatapan heran.
"Apalagi, Yah?" tanyanya.
Asih hanya memerhatikan dialog antar keduanya dan masih mematung kikuk, dia tidak mengerti sebelum Jajaka Purwa menjelaskan.
"Jangan lupakan janjimu pada ayah," ucapnya lagi.
Bara mengangguk dan kemudian badannya ditegapkan dengan gerakkan tangan menghormat sekilas.
"Siap!" balasnya begitu senang.
"Asih!" panggil Jajaka Purwa.
"Iya, Tuan?" Asih menjawab.
"Apa pun yang akan terjadi di sekolah, bilang saja pada Bara. Jika ada laki-laki yang menggodamu, yang menjahilimu dan yang membocorkan identitasmu yang sudah menikah denganku, laporkan segera pada Bara. Dia yang akan membereskannya dan anak buahku juga akan bertindak."
Asih terkejut, tapi Bara tidak. Dia tersenyum pada Asih dengan rasa kebanggaan karena ayahnya telah memberikan dia mobil baru bermerk Lamborghini.
Tadinya Bara meminta mobil yang lebih mahal dari itu, tapi kesepakatan tidak terealisasi dan dia pun menerima mobil yang seharga lima milliar tersebut.
Untuk seukuran anak SMA, itu sudah lebih dari cukup baginya untuk bisa dipamerkan pada teman-temannya yang lain.
"Iya tenang aja Yah, Ibu tiriku yang cantik ini akan kulindungi dan kuawasi dia dari tangan-tangan jahil para pemuda SMA. Siapa yang enggak kenal Bara Purwa anaknya Juragan Tanah, iya kan?" Bara berucap manis agar ayahnya percaya.
"Baiklah kau boleh pergi."
"Siap, Yah," balas Bara bersemangat.
Dia kemudian menatap Asih dan melambaikan tangannya.
"Sampai bertemu di sekolah besok, Ibu tiriku tercinta." Bara pun melenggang keluar dengan memutar-mutar kunci mobil di jari telunjuknya.
Sebuah kesenangan yang memuncak bagi Bara, akhirnya dia dibelikan mobil juga setelah menyetujui kesepakatan yang mungkin tidak akan begitu dia hiraukan setelahnya.
Begitupun juga, alasan dasarnya Bara diberi mobil hanya karena Asih –yang harus dia pantau dan informasikan pada ayahnya setiap detail sikap Asih di sekolah.
Asih ragu dengan sikap Bara barusan, ucapan Bara yang 'Sampai bertemu di sekolah' seperti bukan ucapan yang menyenangkan baginya.
Ah, Asih harus bersiap-siap besok. Bisa jadi maksud Bara lain. Tidak ada yang tahu, bisa jadi dia menyuruh Asih untuk bersiap-siap menghadapi sikapnya yang brandalan itu.
"Kau juga boleh pergi Asih," ucap Jajaka Purwa tanpa menatap Asih, dia kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Asih tidak tahu apa yang tengah dikerjakan Tuannya sampai dia khusu seperti itu, tapi sayangnya Asih tidak peduli. Dia kemudian pamit untuk pergi dengan perasaan yang begitu lega.
Pintu ruangan kerja itu ditutupnya perlahan agar tidak menimbulkan suara supaya Jajaka Purwa tidak terganggu.
Setelah tertutup, Asih pun kaget, ternyata Bara masih berdiri di luar dan sekarang bersandar ke tembok.
Sorot matanya menatap Asih dengan tajam sembari kedua tangannya dilipat.
Wajah Bara begitu membuat Asih jengkel, dia menyeringai entah kenapa.
"Gue enggak nyangka perempuan sepolos lo bisa semahir itu, ya," ledek Bara.
"Maksud kamu?" Asih tidak paham.
Bara semakin tertawa lebar, tapi tidak begitu keras karena dia takut kalau ayahnya mendengar.
"Pura-pura enggak ngerti lo, dasar wanita penggoda. Ternyata dulu lo cuman akting ya, pura-pura enggak mau nikah sama Ayah gue. Bullshit banget."
Asih mengucurkan air mata, hatinya sangat sakit. Bara tidak merasakan apa yang tengah Asih rasakan.
Daripada terus mendengarkan sindiran Bara, Asih pun pergi, dia berlari ke kamarnya tanpa menjawab sepatah kata pun. Pikirnya percuma saja, Bara juga tidak akan percaya padanya.
Bara tersenyum sinis, dia masih melihat Asih dari posisinya sekarang.
"Awas lo Asih, udah berani jadi istri ketiga Ayah gue dan menambah sakit hati Ibu gue. Gue enggak bakal bikin hidup lo betah di sekolah," ujar Bara, "setahun terakhir SMA lo, akan jadi moment yang enggak akan lo lupakan. Ahahahah". Bara tertawa seperti Joker.
Saat rencana-rencana bagusnya berseliweran di kepala Bara, dia kemudian ingat sesuatu, sekarang sudah ada kunci mobil di tangannya.
Pertanda harus disombongkan pada semua orang yang belum tahu. Besok Bara akan memamerkan mobil itu ke sekolah, membuat Bella akan semakin menyesal karena sudah berselingkuh dan akan membuat Rani kagum dengannya.
Dia juga ingat Kakaknya--Adrian.
"Kak Adrian pasti iri deh, adiknya sekarang juga sudah punya mobil. Apa gue kasih tahu dia sekarang, ya?"
Bara melamun, dia ingin mengabari Kakaknya atas pencapaiannya sebagai seorang anak dari ayah yang kaya raya. Tapi, Bara seketika berubah pikiran.
"Ahhhh, besok ajalah sekalian kasih suprize buat Bunda Monik biar iri dan hatinya bergejolak dengan bara api. Mobil si Hani kan kalah telak dengan mobil gue, haha." Bara sangat excited sekali.
***
Besok paginya, Bara masih semringah. Dia tidak sabar untuk mengendarai mobil barunya itu yang sudah diparkir di depan rumah agar semua orang mudah melihatnya.
Bara dan Adrian berjalan mendekati meja makan keluarga, Adrian merasa aneh dengan sikap Bara hari ini.
Biasanya dia menekuk wajahnya karena dia masih tidak suka dengan kehadiran Asih apalagi Asih juga satu sekolah dengannya sekarang.
"Lo kenapa? Pagi-pagi udah kayak orang gila, cengir-cengir padahal enggak ada yang lucu," kata Adrian seraya dia menarik kursi untuk didudukinya.
Ibunya—Kirani dan ibu tirinya—Monika sudah duduk di sana. Monika memerhatikan kedua anak tirinya itu.
"Hari ini gue akan naik mobil, lo pasti terkejut Kak. Mobil baru dong," ucap Bara sembari mengacungkan kunci mobilnya.
Adrian memang terkejut, karena Bara memang belum diberikan mobil oleh ayahnya dengan alasan masih sekolah.
Monika yang mendengarnya pun kemudian tersedak, karena tadi dia sedang mereguk air putih.
Bara, Adrian dan juga Kirani menatapnya serempak. Kirani tersenyum senang, dia sangat tahu kalau Monika pasti iri mendengar anaknya—Bara punya mobil baru yang telah diberikan ayahnya--Jajaka Purwa.
"Kenapa lo udah diberi mobil sama Ayah?" tanya Adrian, seraya dia mengambil gelas yang sudah berisi air putih.
Para pelayan juga baru saja pergi setelah menyiapkan beberapa piring berikut sendok dan garpu, tandanya Jajaka Purwa juga akan segera datang bersama ibu tiri mereka, Asih.
Monika mulai menumpahkan rasa penasarannya. Bibirnya mulai terbuka.
"Bara Sayang, ngomong-ngomong kenapa kamu dapat mobil?" tanya Monika.
Adrian tersenyum sinis sembari mereguk airnya sedang Bara tersenyum lebar. Dia sangat puas karena telah berhasil memanas-manasi Monika.
"Sebagai imbalan, menjaga Asih di sekolah," balas Jajaka Purwa yang baru datang.
Semuanya terkejut.
"Ayo Sayang, kamu duduk!" ucapnya kemudian menyuruh istri ketiganya--Asih untuk duduk.
Semua orang di sana menatap Asih kesal dan penuh rasa benci, terlebih Adrian yang bahkan menatap Asih saja tidak sudi.