BUKG! BUKG! BUKG!
Bara tidak memikirkan apa pun. Meskipun bisa saja nantinya akan berakhir ditindak pidana sekalipun, Bara tidak peduli.
Saat ini, yang Bara pikirkan adalah dia harus memberi Alfred pelajaran setimpal.
Alfred pun sampai tak bisa menangkis pukulan dari Bara.
Bara terus meluapkan emosinya yang sekarang sudah mirip seperti letusan gunung berapi yang menghancurkan alam sekitarnya.
"Mister!"
"Oy, lawan woy!"
"Ayo!"
Teman-teman Alfred semuanya heboh dan mulai melindungi Alfred. Mereka melawan Bara.
Dicekalnya kedua lengan Bara dari sisi kanan dan sisi kiri sampai Bara tidak bisa berkutik.
Alfred yang sudah terkapar di tanah pun dibangunkan oleh tiga temannya yang lain.
Dan saat Bara tidak bisa kembali menyerang dirinya meskipun sudah berontak sekuat tenaga.
Alfred menatap Bara dengan senyuman jahatnya setelah tadi Alfred memegang rahangnya sendiri yang terasa sulit digerakkan.
Alfred juga sempat memegang darah yang keluar dari bibirnya.
Dan karena Bara sudah membuat dirinya bertambah babak belur padahal luka waktu itu belum juga sembuh.
Vino dan Alex yang memegangi Bara pun mengedikpan mata pada Alfred. Memberi isyarat kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk membalas pukulan brutal Bara yang tadi sudah memberantai wajah Alfred bertubi-tubi.
BLUKG! BUKG! BUKG!
Alfred dengan mudahnya memukuli Bara yang tidak bisa melawan.
Rani mencoba berontak. Tapi tetap saja dia tidak bisa. Padahal, yang memeganginya sekarang hanya satu orang sebab yang satunya tadi berlari menolong Alfred.
"Hentikan! Hentikan! Kak Bara, hiks, hiks, hiks." Rani kasihan melihat Bara.
Tapi dia tidak bisa apa-apa. Rani hanya bisa menangis seraya berdoa dalam hati agar ada seseorang yang menolong mereka saat ini.
'Ya Tuhan, bantu aku! Selamatkan aku dan Kak Bara!' pinta Rani dalam hati.
Dan keajaiban yang tak disangka-sangka pun datang setelah baru saja Rani berdoa pada Sang Maha Kuasa.
Komplotan orang-orang dengan motor gede mereka masing-masing datang bergerombol.
Mereka itu adalah teman-temannya Bara.
Bara yang sudah terkapar dan matanya yang mulai buram itu masih bisa melihat kedatangan orang-orang yang cukup banyak. Dan Bara tahu siapa mereka.
Bara mendengar suara Hilman dan Tobi yang menggema.
Mereka mengkomando yang lainnya.
"Serang!" teriak Tobi.
"Serang!" disusul Hilman.
Dan anehnya, air mata mengalir begitu saja di pipi Bara.
Bara tidak menyangka kalau teman-temannya akan datang menyelamatkan Bara padahal Bara tidak memberi tahu mereka akan datang menemui Alfred.
Dan Bara pun pingsan seketika. Dia tak sadarkan diri. Tubuhnya sangat lemah hari ini.
Tanpa Bara ketahui juga, sebenarnya saat ini bukan hanya teman-teman Bara saja yang datang.
Melainkan Miftah dan teman-temannya juga ikut membantu.
Dan sebenarnya, Miftah dan teman-temannya tidak membantu banyak dan mereka lebih fokus pada Rani.
Sebab, Teman-temannya Bara sudah dapat mengatasinya dengan baik.
Melawan kecoa yang hanya berjumlah tujuh adalah suatu hal kecil bagi mereka.
Dan kebetulan, Alfred dan teman-temannya juga tidak berani melawan.
Mereka sempat ingin melarikan diri. Tapi dengan cepat, teman-teman Bara mampu meringkus mereka bertujuh itu.
"Rani, kamu tidak kenapa-kenapa kan?" tanya Miftah.
Miftah melihat Rani dengan tatapan iba. Terlihat jelas dari sorot mata Rani kalau dia saat ini sangat ketakutan.
Rani menggelengkan kepalanya. Dan kedua air mata Rani mengeluarkan air bening dan mengalir di kedua pipinya.
Ingin sekali Miftah menyeka air mata Rani.
Tapi Miftah tahu diri. Dia tidak mungkin menyentuh pipi Rani. Rani adalah perempuan muslimah yang baik dan tidak suka disentuh oleh tangan lelaki. Miftah menghormatinya.
Dan yang membuat Miftah terkejut dalah kepedulian Rani pada Bara.
"Kak Bara," teriak Rani sambil berlari menuju Bara.
Miftah memerhatikannya. Dan Teman-teman Miftah juga saling tatap satu sama lain.
Mereka sama-sama tahu kalau Rani lebih tertarik pada Miftah daripada pada Bara.
Tapi, mereka juga tidak menampik soal kedekatan Rani dengan Bara.
Mungkin, Rani masih bimbang antara memilih Bara atau Miftah.
Dan perihal rasa suka rani pada Miftah, mereka juga menganggapnya hanya hal biasa. Terlebih memang Miftah banyak disukai perempuan.
Teman-teman Miftah juga sudah tahu kalau Ketua mereka—Miftah tidak menyukai Rani.
Miftah memang baik pada semua orang. Itulah yang membuat para perempuan sering kali terbawa perasaan dan pada akhirnya menyukai Miftah.
***
'Dandi!' Asih menyebut nama lelaki itu dalam hatinya.
Dia, yang sekarang memegang secangkir kopi di tangan kanannya itu adalah Dandi. Lelaki yang masih berstatus pacarnya Asih.
Dan bersepakat nanti, akan menikahi Asih.
"Hai, Nak Dandi. Kenalkan, ini istri saya," ucap Jajaka Purwa sembari berjalan dan merangkul Asih menuju Dandi yang sekarang tersenyum pada mereka.
Baik Dandi, maupun Asih. keduanya sama-sama tahu kalau senyuman Dandi itu terksan dipaksakan.
Tapi Jajaka Purwa tidak tahu itu.
"Hai juga, Juragan! Istri Anda masih muda. Anda memang pintar dalam memilih," kata Dandi memuji.
Pujian yang dilayangkan Dandi itu bisa membuat Jajaka Purwa berbunga-bunga.
Istrinya dipuji, siapakah suami yang tidak suka?
Pujian yang dilayangkan pada seorang istri adalah suatu kebanggan tersendiri bagi seorang suami.
Dan karena itulah, Jajaka Purwa semakin bangga pada dirinya sendiri karena sudah bisa mengawini Asih.
Jajaka Purwa tertawa lepas. Tanpa beban. Dia tak tahu kalau Asih dan Dandi sekarang saling bertatapan satu sama lain dengan perasaan yang begitu berkecamuk.
Asih, masih sangat mencintai dia. Tanpa Asih ketahui, Dandi pun begitu.
Dandi yang dulu mendengar kabar Asih yang akan menikah. Dia sangat terpuruk sekali.
Dan setelah pikirannya membaik. Dia sekarang harus dihadapkan kembali dengan perempuan yang disukainya itu.
Asih ingin sekali menangis. Dandi bisa melihatnya.
Tapi Dandi berharap, Asih masih bisa menahan tangisannya itu. Karena kalau Jajaka Purwa tahu soal hubungan mereka dulu. Dia mungkin tidak akan suka itu.
Dan bagusnya, Asih mampu menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia begitu memaksakan diri.
Tak ada cara lain selain menutupi kesedihannya.
Dan hatinya bertambah perih lagi di saat tangan si lelaki yang kini berdiri di hadapannya itu menjulur di depan Asih.
Dandi mengajaknya bersalaman, sesudah Dandi memindahkan secangkir kopi miliknya yang semula dia pegang dengan tangan kanan dan sekarang beralih ke tangan kiri.
"Hai, Nyonya Juragan." Dandi tersenyum pada Asih.
Dan Asih yang mendapatkan senyuman itu, entah mengapa dia tidak suka.
Asih tahu, kalau senyuman Dandi tersebut tidaklah tulus. Kelihatannya saja sangat murni.
Tapi di dalam kemurnian itu. Ada hati yang teriris perih. Asih tahu itu. Sangat tahu.
"Aku Dandi, anaknya Pak Hanantyo. Salam kenal," sambungnya lagi.
Asih tertegun sejenak, sampai lamunannya disadarkan oleh Jajaka Purwa yang mencolek lengannya.
Asih pun tersenyum, kikuk.
"Asih? Are you oke?"jajaka Purwa bertanya pada Asih.
Jajaka Purwa takut istrinya pusing karena perjalanan tadi.
Sebenarnya tidak jauh. Tapi dia juga paham kalau Asih baru saja pulang dari sekolah dan dia tadi menghabiskan waktu cukup lama di salon. Sekaligus menutupi wajahnya yang lebam itu dengan make-up.