Asih juga jadi mengerti. Mungkin kalau rekan bisnis suaminya melihat Asih dengan luka lebam di wajah. Pastinya pandangan mereka akan negatif pada Jajaka Purwa.
Bisa jadi kan mereka menganggap kalau luka lebam yang Asih dapatkan itu berasal dari tangan kekarnya Jajaka Purwa? Semisal kekerasan dalam rumah tangga. Begitulah, kiranya.
Takutnya, Asih kelelahan sampai di sini, pikir Asih. Makanya dia menanyai kondisi Asih sekarang.
"Maaf, saya merasa pernah melihat kamu," kata Asih pura-pura. Dia pun pura-pura karena Asih tahu kala suaminya pasti bertanya-tanya kenapa tadi Asih tertegun melihat Dandi. "Aku Asih," katanya, memperkenalkan diri.
Asih pun meraih uluran tangan Dandi, dan keduanya pun saling berjabatan tangan.
"Oh ya?" Dandi juga berakting. Dia pura-pura terkejut atas apa yang Asih katakan barusan. "Ah, mungkin itu karena wajah saya pasaran," ucapnya lagi.
Dia dan Asih pun tertawa. Jajaka Purwa juga.
Tapi, melihat jabatan tangan Asih dan Dandi yang tak kunjung saling melepaskan. Dengan senang hati, Jajaka Purwa melepaskannya.
Asih jadi tidak enak hati di depan Dandi sebab Jajaka Purwa mulai menunjukkan sisi posesifnya.
Dia cemburu pada Dandi.
Dan Dandi pun tersenyum dengan raut wajah merasa bersalah. Tapi berbeda dengan hatinya yang sangat senang.
Dandi senang melihat kecemburuan yang terpancar di wajah Jajaka Purwa sekarang.
Bersamaan dengan situasi yang mulai tidak nyaman, Hanantyo pun datang.
Dia menyambut Jajaka Purwa dengan riang gembira.
"Eh, udah datang? Ya ampun, maaf tadi saya di belakang sedang memberi makan Ikan," ucapnya.
"Oh, tak apa. Kami baru datang." Jajaka Purwa tersenyum lebar pada rekan bisnisnya ini yang kini memeluk dirinya dan keduanya pun saling menepuk punggung masing-masing.
Asih sekarang mulai kebingungan. Sebenarnya ini Villa milik siapa? Asih bertanya-tanya di pikirannya.
Dan tatapan dingin kini sedang menyoroti Asih. Dandi. Dandi melihat ke arah Asih tanpa sedikit pun senyum terlukis di wajahnya.
Apakah Dandi mulai membenci Asih sekarang?
Setelah Jajaka Purwa dan Hanantyo berpelukan. Sorot mata Hanantyo kemudian beralih pada Asih.
Sorot matanya seakan penuh pertanyaan. Dia melihat Asih dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Lalu, dia pun tersenyum. Asih juga ikut tersenyum padanya.
"Sangat muda," ucap Hanantyo sambil melirik sekilas pada Jajaka Purwa.
Entah pujian atau sindiran, Asih tidak tahu. Tapi dilihat dari wajah suaminya—Jajaka Purwa.
Dia tampak senang dan tawanya juga sangat lebar. Dia juga kembali merangkul Asih.
Tubuh Asih ikut bergerak seiring tubuh suaminya pun juga bergerak naik turun karena tawanya yang masih terdengar.
"Seperti apa yang aku katakan," kata Jajaka Purwa.
Pikir Asih, Jajaka Purwa sepertinya memang sudah cerita banyak soal Asih pada Hanantyo.
"Saya Hanantyo," katanya sambil mengulurkan tangan pada Asih.
Lalu, dia melirik lelaki di sampingnya—Dandi.
"Sepertinya kalian sudah berkenalan, kan?" Hanantyo melirik pada Dandi dan juga sekilas pada Jajaka Purwa.
Asih, menatap Dandi yang sekarang mengangguk dan tersenyum pada Ayahnya.
"Sudah, Ayah," sahut Dandi dengan suaranya yang terdengar tenang.
"Bagus. Dia adalah anak saya," ucap Hanantyo setelah tangannya diraih oleh Asih, "kamu Asih, kan?" Dia menebak.
Asih tidak terkejut dengan itu. Pasti Jajaka Purwa sudah memberi tahu Hanantyo soal dirinya.
Asih mengangguk. "Ya, saya Asih. Senang bertemu dengan Anda."
Jajaka Purwa melirik pada Asih yang masih dirangkul olehnya. Jajaka Purwa senang karena etika Asih pada rekan bisnisnya sangat baik.
Tanpa perlu diajari olehnya, Asih bisa beradaptasi seperti golongan orang kelas atas.
Hanantyo tersenyum, dia dan Asih melepaskan pegangan tangan mereka secara bersamaan.
Hanantyo mengangkat kedua bahunya sembari berkata, "saya pun juga senang bertemu dengan Anda, Nyonya Asih."
Jajaka Purwa pun menghentikan basa-basi di antara mereka. Kemudian, dia menggiring Asih serta Hanantyo dan juga Dandi menuju ke lantai atas.
Dan di sana, ada meja serta kursi untuk mereka berempat.
Mereka mengobrol santai di sana dengan posisi duduk, Asih dan Dandi berdekatan. Di samping kanan adalah Jajaka Purwa dan di samping kiri Asih adalah Dandi. Dan di depan Asih duduk adalah Hanantyo.
Mejanya di hadapan mereka berbentuk bundar.
Dan Asih menyayangkan sekali posisi duduknya saat ini.
Asih bukannya tak suka bersebelahan dengan Dandi. Akan tetapi, Asih tak kuasa.
Seakan bayangan-bayangan di kepalanya kembali memutar masa indah dahulu kala bersama Dandi.
Asih harus percaya pada realita hidupnya kini. Kalau Dandi dan dirinya tidak bisa saling sapa seperti dahulu lagi.
Asih terikat dengan Jajaka Purwa.
Tak lama setelah mereka duduk, meja di depan mereka sudah dipadati dengan minuman dan makanan ringan.
Tadi Pelayan di Villa ini yang sudah mengantarkannya pada mereka.
Dan obrolan pun mulai menghangat. Mereka membicarakan hal yang random.
Dimulai dari basa-basi dan juga hal-hal yang berurusan dengan bisnis. Asih tak begitu mengerti dengan itu.
Sesekali, Asih dan Dandi saling curi-curi pandang satu sama lain. Dan wajah Dandi masih dingin.
Tidak ada senyum di sana selain senyumnya itu hanya merupakan bentuk respon terhadap pembahasan antara dia, Jajaka Purwa dan juga Hanantyo. Pembahasan yang tidak begitu Asih pahami.
"Seharusnya, kau tidak perlu memberi makanan untuk Ikan di sini. Ada pegawaiku yang berugas untuk itu," ucap Jajaka Purwa pada Hanantyo.
Pembahasan kembali normal. Dan tentunya, Asih paham dengan itu.
Jajaka Purwa membahas soal Hanantyo yang tadi katanya memberi makan Ikan di belakang.
Entah Ikan apa, Asih tidak tahu.
Biasanya orang kaya memang selalu mengoleksi binatang semisal Ikan untuk menemani hari mereka.
Mereka sebut itu sebagai penyegaran hidup. Katanya, dengan memelihara hewan yang mereka suka atau melakukan hoby, membuat pikiran mereka lebih tenang jika penat menyergap.
Tidak semua orang yang banyak aktifitasnya, terutama menyangkut soal uang. Mereka selalu hidup dalam ketenangan. Tidak.
Karena sering kali, semua rutinitas kerja dan semua tentang uang membuat mereka juga butuh hiburan tersendiri dan pada intinya, ketenangan individual. Makanya tidak aneh kalau mereka mempunyai Villa yang berfungsi sebagai tempat menyendiri ataupun berfungsi sebagai tempat untuk melepas penat bersama keluarga.
Yang terpenting, mereka bisa menghirup udara segar dan menghilangkan sejenak pikiran yang biasanya berkutik dengan banyaknya kesibukan.
Asih bisa menangkap semua itu. Semua tentang orang kaya.
Hanantyo pun tertawa. "Aku suka memberi makan para Ikan-ikan itu. Pikiranku jadi fresh kembali."
"Baiklah, jika kau suka." Jajaka Purwa pun tersenyum.
Asih mulai menyadari kalau Villa ini bukanlah milik Hananyo. Melainkan milik suaminya sendiri—Jajaka Purwa.
Di tengah obrolan biasa itu, Dandi menyelinap masuk dengan pertanyaan yang membuat Asih begitu terkejut.
"Maaf, Juragan yang terhormat," katanya sopan sebelum mengajukan pertanyaan.
Semua orang pun mulai tertuju padanya. Termasuk juga dengan Asih.
"Ya?" Jajaka Purwa menyahut. Dia mulai menunggu ucapan selanjutnya dari mulut Dandi.