Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 73 - Diajak ke Suatu Tempat

Chapter 73 - Diajak ke Suatu Tempat

Hilman dan Feri pun saling bertatapan. Hilman menepuk bahu Feri dan kemudian memberi isyrat dengan telunjuknya yang disimpan di kening dan digerakkan ke samping kanan. Pertanda Hilman itu bilang kalau teman mereka—Tobi tengah jadi orang sinting, gak waras.

Hilman dan Feri pun bersamaan tertawa karenanya.

***

Sepulang sekolah, seperti biasa. Bara harusnya menjemput Asih.

Tapi hari ini, bukan Bara yang menjemput. Melainkan suaminya sendiri—Jajaka Purwa.

Dengan sang Supir—Pak Dadang yang mengemudi.

Fira dan Hasan yang baru saja pergi meninggalkan Asih setelah saling melambaikan tangan untuk sama-sama pulang ke rumah masing-masing. Mereka berdua melihat Ayahnya Bara yang duduk di jok belakang mobil hitam mahal itu dan ditambah lagi dengan sang supir keluarga yang mengemudi di depan.

Mereka datang untuk menjemput Asih.

Fira dan Hasan saling bertatapan satu sama lain. Di benak mereka, tengah memikirkan hal yang sama. Keduanya bertanya-tanya sebab sungguh heran karena yang menjemput Asih bukanlah Bara. Melainkan Jajaka Purwa.

Sang Supir—Pak Dadang turun dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Asih.

Terlihat sangat sopan dan Asih seperti orang yang sangat terhormat di keluarga Bara. Fira dan Hasan yang melihatnya pun dibuat kebingungan.

Apakah segitunya pelayanan keluarga Bara terhadap kerabat mereka?

Jika memang begitu, baguslah. Tapi, Fira dan Hasan hanya merasa aneh saja.

Dan kenapa juga harus Jajaka Purwa yang menjemput Asih? Seperti memang disengaja.

Dan apakah dia tidak punya banyak pekerjaan? Sehingga dia mengistimewakan Asih segitunya? Yang harus dia jemput ke sekolah?

Fira dan Hasan tidak bisa berkomentar apa-apa selain sama-sama aneh melihatnya.

Kalau untuk pertama kali Asih masuk sekolah, mungkin itu hal yang wajar. Tapi untuk sekarang, terasa berlebihan, pikir keduanya.

Sementara itu, Asih yang sudah duduk manis di dalam mobil, tepatnya di samping Jajaka Purwa—suaminya sendiri pun memerhatikan Fira dan Hasan yang masih melihat mobil mereka melaju, menjauh dari sekolah.

Setelah mobil menjauh, dan dirasa di sekeliling mereka aman. Jajaka Purwa pun mulai merangkul Asih. Menyuruh Asih untuk duduk lebih dekat dengannya sampai tubuh mereka sangat dekat, dapat sekali.

Pak Dadang yang tengah fokus menyetir itu juga tidak merasa risih sebab Asih memanglah istri Jajaka Purwa. Hanya saja, Pak Dadang tahu kalau Asih sangat, sangat terpaksa menikah dengannya.

Pak Dadang yang sudah cukup tua itu masih bisa melihat gelagat Asih yang tidak ikhlas melayani suaminya itu.

Dan Pak Dadang juga merasa wajar dengan sikap Asih tersebut. Pak Dadang justru salut pada Asih. Dia anak yang berbakti pada orang tua, pikirnya.

Pak Dadang berharap suatu saat nanti, Asih bisa menerima semuanya dengan lapang dada.

"Mendekatlah!" ucap Jajaka Purwa mendekatkan tubuh Asih dengan tubuhnya, "kita gak akan buru-buru pulang ke rumah. Aku mau mengajakmu ke suatu tempat. Agar kau tahu betapa kayanya suamimu ini." Jajaka Purwa sombong.

Dan Asih hanya menampakkan senyum terpaksanya. Asih tak peduli mau sekaya apa Jajaka Purwa.

Asih tidak seperti para istri Jajaka Purwa yang lain. Yang mungkin, memang sangat peduli terhadap jatah bulanan dari sang suami mereka. Dan kalau kurang, pasti bakal uring-uringan, tidak terima.

Asih tidak memikirkan hal itu. Yang Asih pikirkan adalah soal hatinya yang tiap hari harus dipaksa kuat dengan nasib hidupnya ini.

Serba terpaksa.

Melayani orang yang tidak dicintai adalah hidup yang menyedihkan bagi Asih dan menurut Asih, itu sangat menjijikan sekali.

Melihat Asih tidak terlalu merespon ucapannya, Jajaka Purwa pun kembali berkata pada Asih.

Lebih tepatnya bertanya.

"Apa kamu tidak penasaran akan kubawa ke mana?" tanya Jajaka Purwa sambil melihat wajah Asih.

Jajaka Purwa menempelkan bibirnya ke pipi Asih. Membuat Asih tidak nyaman dengan gesekkan kumis baplangnya itu.

Tapi lagi-lagi, Asih tidak bisa berbuat apa-apa. Asih juga tidak bisa memprotes.

Asih juga sempat melihat pada Pak Dadang. Asih merasa malu dengannya karena sikap Jajaka Purwa, menurut Asih terlalu berlebihan.

Dia tidak tahu tempat di mana mereka sekarang.

Sambil meremas-remas jarinya, Asih pun berkata, "aku tahu kok kalau Tuan pasti akan membawaku ke tempat menyenangkan. Jadi, aku tak perlu bertanya kita mau ke mana." Asih berusaha mengelak dari pikiran sebenarnya.

Sebenarnya Asih memang penasaran mau dibawa ke mana dia oleh suaminya ini. Tapi Asih tak terlalu penasaran juga sebab jika Asih bilang kalau dia tidak mau dibawa ke sana, tidak ada gunanya juga, pikir Asih.

Jadi ya … semua terserah Jajaka Purwa saja.

Jajaka Purwa pun semakin genit. Dia mencolek dagu Asih sambil tertawa.

"Kamu memang unik. Beda dengan istriku yang lain. Duh, istri solehahku. Kamu buat aku tergila-gila, Asih. Makanya, aku betah tiap hari di kamar kamu," kata Jajaka Purwa dengan deru napas yang tersenggal-senggal.

Asih tahu kalau di seisi otaknya sekarang pasti mesum semua.

Tapi Asih tidak boleh menolak dan membiarkan Jajaka Purwa menikmatinya.

Mengecup Asih sampai beberapa kali.

Dan tanpa ucapan juga. Asih hanya diam membisu, dan sesekali tersenyum.

Senyum yang dipaksakan.

Jajaka Purwa tahu itu, tapi dia tak peduli dan menganggap kalau reaksi Asih yang seperti ini terkesan lucu. Terlalu lugu, dan dia sangat suka dengan kepolosan Asih yang memang belum disentuh oleh siapa pun. Terkecuali oleh suaminya sendiri—Jajaka Purwa.

Setibanya mereka di lokasi tujuan, Pak Dadang dengan sigap langsung membukakan pintu mobil belakang agar Jajaka Purwa dan Asih bisa keluar.

Pintu kanan untuk Jajaka Purwa dan pintu kiri untuk Asih.

Kedua mata Asih mengindai ke sekitaran.

Sekarang, Asih ada di halaman Villa yang terlihat sangat sejuk, dan bangunan kokohnya juga menampakkan keindahan.

Bukan hanya indah dari segi bangunannya saja yang sudah dapat Asih taksir pasti telah menggelontorkan biaya yang mahal demi membangun Villa dengan tembok bata merah yang terlihat menjadi ciri khasnya ini.

Tapi kawasan pegunungan yang ikut menambah keindangan Villa tersebut. Aura Villa itu menunjukkan kedamaian.

"Ayo kita masuk!" kata Jajaka Purwa sambil menggenggam tangan Asih.

Asih pun mulai berprasangka buruk. Asih pikir, pasti Jajaka Purwa akan mengajaknya bercinta di dalam. Sebab, kalau bukan untuk itu untuk apa lagi?

Asih juga tidak tahu kenapa tadi Jajaka Purwa meminta Asih berganti baju dulu dan bahkan, Jajaka Purwa membawa Asih ke salon.

Sekarang, Asih sudah memakai baju yang cocok diajak untuk jalan-jalan dengan wajah yang sudah dibalut oleh make-up yang natural.

Asih yang tadi sempat melihat wajahnya sendiri di cermin pun sangat menyukai riasan di wajahnya karena tidak membuat wajah Asih lebih tua dari umur sebenarnya.

Dengan langkah kaki yang masih terus berjalan, dan tangan Asih yang juga masih digenggam oleh suaminya itu.

Pikiran Asih juga ikut berdesak-desakkan. Membayangkan apa saja yang akan terjadi di dalam Villa.

Apakah Jajaka Purwa tidak punya otak?

Asih baru saja pulang dari sekolah, disuruh memakai baju baru dan mengenakan riasan wajah.

Sekarang, diajaknya ke Villa.

Jika bukan untuk bermain di ranjang, seperti pasangan yang berbulan madu. Lalu untuk apa?

Pak Dadang juga tidak ada. Asih tidak tahu dia ke mana. Mungkin, menikmati waktu sendirinya dengan merokok di depan Villa.

Entahlah.