Sebab pengkhianatan, menghancurkan bangunan kepercayaan yang sudah dibangun susah payah sebelumnya.
Kalau sudah kecewa, itu berat.
***
Bara membantingkan tubuhnya setelah dia masuk ke dalam kamarnya.
Bara meringis kesakitan.
"An*j*ng! Ngilu banget." Bara baru merasakan efek bekas pukulan Asih.
Lukanya jadi kembali berdenyut hebat.
Inginnya sih Bara menemui Asih dan memaki-maki dia.
Hanya saja, rumah bukanlah tempat yang tepat untuk melakukan hal itu. Bara tahu sekali apa dampaknya nanti.
Bara memegangi kedua pipinya yang terasa berdenyut.
Namun, bukan Bara namanya jika hanyut dalam kesakitan. Dia kemudian merogoh handphone miliknya yang tadi dia simpan di saku celananya.
Masih merintih kesakitan, Bara kemudian memeriksa galeri di handphone-nya. Hanya untuk sekadar mencari foto seseorang.
Seorang gadis cantik yang wajahnya oriental. Dan terkenal muslimah di sekolah.
Siapa lagi kalau bukan Rani?
Ditemukannya satu foto Rani yang cantik. Bara mengambilnya dari sosial media milik Rani.
Dan satu foto yang terlihat manis ini sengaja Bara simpan untuk sesekali ditatapnya seperti sekarang.
Meskipun Rani sudah terang-terangan kalau dia lebih menyukai Miftah. Bara tetap menyukainya.
Entah apa alasannya, Bara sendiri bingung.
Bara hanya menyukainya saja. Tanpa balasan pun tampaknya tak apa. Aneh sekali. Sangat sulit bagi Bara untuk menghilangkan bayang-bayang wajah Rani dari seisi kepalanya.
"Gue ngerasa, lo bohong, Ran! Gue yakin, sebenarnya lo juga suka ke gue," gumam Bara.
Mungkin, karena keyakinan itulah Bara menganggap penolakkan Rani terhadapnya hanya akting belaka.
Padahal di balik itu semua, Rani hanya sedang menutupi perasaannya yang sudah terlampau jauh pada Bara.
Dan alasannya karena Rani tidak suka dengan sikap Bara. Sikap yang otoriter. Merasa dirinya paling berkuasa di sekolah.
Dan terlebih, Bara adalah mantannya Bella.
Semua murid di sekolah sudah tahu bagaimana perangai Bella dan Bara. Dan Bara tahu kalau Rani tidak ingin mengambil banyak risiko nantinya.
Tidak ada orang yang mau bermasalah dengan Bella.
Apakah Bara harus kembali meyakinkan Rani kalau Bella sekarang memang sudah move on dari Bara?
Tiba-tiba terbesit suatu rencana di otak Bara. Soal pendekatan yang diharuskan lebih intens lagi.
Karena … katanya perempuan itu suka malu-malu kucing. Jadi, Bara harus bisa menarik perhatian Rani lebih keras lagi.
***
"Bagaimana sekolahmu? Aman?" tanya Jajaka Purwa pada Asih.
Keduanya, kini sedang berduaan di kamar mereka.
Asih selalu tidak nyaman dengan perlakuan Jajaka Purwa padanya.
Padahal, harusnya Asih bersyukur sebab Jajaka Purwa masih bersikap baik pada Asih meskipun Asih tidak bisa seperti irstri-istri Jajaka Purwa yang lain. Yang bisa melayani Jajaka Purwa dengan keramahan mereka yang menggoda.
Berbeda dengan Asih yang kalau bicara harus ditanya dulu. Barulah Asih menjawab. Kalau tidak, Asih juga bingung harus bicara apa. Menurutnya, Asih lebih baik diam saja.
Asih mengangguk. "Aman-aman saja," jawabnya dengan suara lemah.
Asih sungguh risih ditatap oleh suaminya sendiri dengan pandangan buaya itu.
Jajaka Purwa sungguh bernafsu pada Asih. Dan setiap kali seperti ini, Asih selalu ingin muntah.
Asih benci dengan sikap suaminya yang selalu mencuri-curi kesempatan di saat Asih sedang belajar seperti sekarang. Duduk di meja belajarnya, dan Jajaka Purwa merangkul Asih dari belakang.
Menindihkan dagunya ke bahu kiri Asih sambil mengecup leher, pipi dan mengendus aroma tubuh Asih seperti di film-film erotis.
Niat Asih mengalihkan suasana yang mencekam pun selalu gagal.
Jajaka Purwa seolah tak peduli kalau Asih juga perlu fokus dengan dunianya sendiri. Semisal belajar.
Asih memang sudah terbiasa belajar. Namun bedanya, dulu tidak ada yang mengganggu Asih. Tapi sekarang, Asih harus selalu siap melayani sang suami jika suaminya ini perlu pelayanan darinya.
Asih sungguh heran, kenapa Jajaka Purwa terus saja menempel pada Asih. Di saat istrinya Jajaka Purwa itu bukan hanya Asih saja. Banyak.
Tapi Asih selalu jadi sasaran nafsunya.
Asih tahu, mereka memang baru menikah. Jadi wajar kalau Jajaka Purwa selalu ingin menghabiskan waktunya dengan Asih. Namun, seharusnya dia bisa adil dengan istri-istrinya yang lain.
Dan harus tahu juga posisi Asih kalau Asih itu masih anak sekolah yang kegiatannya tidak sama dengan para istri Jajaka Purwa yang lainnya.
"Syukurlah." Jajaka Purwa menghela napas lega.
Asih mengerjapkan. Dia tidak suka dengan deru napas suaminya itu yang terlalu dekat dengan hidung Asih sekarang.
Tidak beraroma busuk. Hanya saja membuat Asih tidak nyaman. Terlalu risih.
"Tidak ada lelaki yang menggoda kamu kan di sekolah?" tanya Jajaka Purwa. Begitu menusuk.
Seketika, Asih jadi teringat kembali pada Miftah. Asih takut jika suaminya tahu kalau Miftah menyimpan nomor handphone Asih dan sesekali menghubunginya.
Asih takut jika suatu hari nanti, Miftah memberi pesan pada Asih dan suaminyalah yang melihat pesan tersebut.
Asih tidak mau riwayat hidupnya berakhir seperti Famella dan Sandi. Tragis sekali.
Asih pun pura-pura tertawa. Meski tawanya kecil, setidaknya itu cukup membuat Asih tidak terlalu canggung dengan pertanyaan yang barusan dilayangkan padanya itu.
"Tidak ada. Aku tidak terlalu cantik untuk dapat menjadi primadona di sekolah." Asih berucap kikuk.
Apa ucapan Asih barusan sudah tepat? Asih ragu.
"Apa maksudmu?" Jajaka Purwa bertanya dengan nada suara yang meninggi.
Jantung Asih seperti mau copot.
Asih menelan salivanya susah payah.
Baru saja Asih akan menjawab, Jajaka Purwa sudah lebih dulu berucap. Dia tidak terima dengan pendapat istrinya tentang dirinya sendiri itu.
"Kau ini suka merendah. Kamu ini istriku, Asih. Dan kamu adalah istri tercantik sekaligus termuda. Aku sangat takut ada tangan-tangan jahil di sekolah yang berusaha menggodamu. Apakah si Bara bisa menjagamu dengan baik?" Jajaka Purwa menatap Asih dalam-dalam.
Menyusup pada kedua bola mata Asih yang sekarang terlihat menegang.
Jajaka Purwa terlalu berlebihan.
Apa dia sedang mengajak Asih mengobrol atau memang mengajak Asih bercinta?
Tangannya terus merayap ke mana saja, sampai masuk ke dalam baju Asih dan bermain di sana.
Setengah geli dan ingin menjerit. Asih tidak suka. Asih selalu jijik setiap kali suaminya ini seperti ini.
Bayang-bayang di benak Asih selalu mengembalikan Asih ke masa dulu. Masa-masa di mana dia tidak pernah membayangkan dirinya menikah dengan lelaki tua seperti Jajaka Purwa.
Asih juga selalu teringat dengan Dandi—pacar Asih.
"Iya. Bara bisa menjagaku dengan baik. Berkat dia, tidak ada yang berani macam-macam denganku," ucap Asih gemetar.
Asih tidak bisa menolak lagi. Jajaka Purwa sekarang meminta Asih untuk bangkit dari kursi belajarnya. Lalu, Jajaka Purwa pun menggendong Asih dan menjatuhkan Asih ke ranjang.
Lagi-lagi, Asih pasrah.
***
"Lo mau ke mana?" tanya Bara pada Kakaknya—Adrian dengan tatapan menyelidik.
Adrian yang sekarang tengah menyisir rambutnya sembari berdiri di depan cermin pun menoleh pada Bara yang sekarang tengah terkapar di lantai. Asyik main game.
Biarpun begitu, Bara tampak punya mata ketiga yang dapat selalu mengawasi gerak-gerik Kakaknya itu.
"Kepo!" Adrian tetap anteng menyisir rambutnya yang sebenarnya sudah rapi.