Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 66 - Gaun Indah dari Miftah

Chapter 66 - Gaun Indah dari Miftah

"Gue tahu. Lo gak perlu ceramahin gue!" Bara berucap dengan nada tinggi.

Miftah menoleh ke sana kemari.

Takutnya, suara Bara terdengar keluar mobil dan nantinya akan menciptakan kegaduhan.

"Gue tahu kalau dengan sikap gue yang kayak anak kecil, dari dulu …. Itu membuat Karin sangat sedih." Bara mengangguk-angguk.

Miftah melihatnya seperti orang yang tidak waras.

Dia memang menyadari sikapnya yang selalu bodoh dan suka ingin menang sendiri.

"Tapi, kan lo selalu ada buat dia. Dia juga mencintai lo, Mif." Bara tersenyum. Sinis.

Miftah sampai geleng-geleng kapala karena Bara kembali membahas soal itu lagi.

"Bar!" tegur Miftah.

"Apa, hem? Gue berkata sesuai fakta." Bara mengangkat dagunya. Dia menantang Miftah.

Miftah menatap Bara prihatin.

Miftah tahu, Bara sakit hati karena dulu cintanya bertepuk sebelah tangan.

Bukan hanya dulu. Sekarang pun juga sama.

Dan selalu Miftah yang menjadi alasannya.

Baik Karin, maupun Rani.

Kedua perempuan itu sama-sama lebih menyukai Miftah dibandingkan Bara.

Dan itulah yang membuat Bara semakin membenci Miftah.

Bel masuk pun terdengar. Sangat keras.

Miftah kemudian melihat ke jam tangannya yang membelit di pergelangan tangan kirinya.

Miftah kemudian menatap Bara.

"Serah lo deh, Bar! Gue udah pusing sama sikap lo." Miftah sangat kesal.

Miftah kecewa pada Bara. Sangat kecewa.

Bara selalu mempisikan dirinya sebagai sosok anak kecil yang ingin dimengerti. Bara tidak pernah mau mengerti soal perasaan orang lain.

"Inget ucapan gue!" Miftah menatap Bara lekat-lekat.

Bara pun menatap Miftah lekat-lekat.

Keduanya saling tatap. Seperti ada kilat yang menyambar di tatapan mereka masing-masing.

"Orang yang kita sayang, kalau sudah pergi. Mati …." Miftah menggigit bibir dalamnya. Miftah sangat geram sekali pada Bara.

Dan dengan menggigit bibir dalamnya, bisa membuat Miftah menahan diri untuk tidak menonjok wajah Bara yang semakin terlihat menyebalkan itu.

Dengan suara yang bergetar. Miftah kembali melanjutkan ucapannya pada Bara.

Sebelum Miftah keluar dari mobil untuk cepat-cepat masuk ke kelas. Sebab, bel masuk sudah hampir berhenti berbunyi.

Dan sebentar lagi gerbang sekolah akan ditutup.

"Lo gak bisa menemui dia lagi, Bar. Jangan sampai lo menyesal! Gue sama Karin masih menganggap lo sahabat. Meskipun lo selalu menyebalkan." Miftah tersenyum. Ketus.

Miftah memindai wajah Bara dengan tatapan yang mampu membuat Bara merasa rendah diri.

Tatapan meremehkan.

"Seperti sekarang, masih saja. Kayak Bocah!" Miftah kemudian membuka pintu mobil.

BRUKKK!

Miftah menutup mobil Bara dengan sangat keras. Dia kemudian berlari masuk ke dalam sekolah.

Yang sekarang akan segera ditutup.

Miftah melambaikan tangan pada satpam. Pak Mardi, agar jangan menutup gerbang sekolah dulu sebelum Miftah benar-benar masuk.

Setelah Miftah lolos. Melewati Pak Mardi.

Gerbang sekolah pun tertutup dengan sempurna.

Bara tak pikir panjang lagi. Dia kemudian langsung menginjak rem mobilnya hingga mobilnya itu melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Seperti satu detik, hilang begitu saja. Pak Mardi saja sampai geleng-geleng melihatnya sambil berdecak, "emch, dasar Anak Muda! Bara … Bara."

***

Di rumahnya. Tepatnya di dalam kamar, Karin tengah berkaca. Memandangi bayangan dirinya sendiri yang terpantul dari cermin.

Dia berpose cantik dengan gaun berwarna ungu tua pemberian dari Miftah kemarin.

Gaun sepanjang lutut itu sangat cocok di tubuh Karin yang kecil dan berkulit putih.

Terasa memberi warna pekat yang semakin membuat kulit putihnya Karin bercahaya.

Karin tertawa kecil. Menutup mulutnya sendiri. Dia merasa gemas dengan bentuk perhatian Miftah padanya.

"Hemmm, ini wajahku yang cantik atau gaunnya yang bagus, ya?" tanya Karin jahil pada dirinya sendiri.

Karin sih berharap bayangan yang terpantul di hadapannya itu bisa bicara padanya.

Seperti di film Disney Putri Salju.

Oh, tapi tidak.

Karin tidak sedang berdrama menjadi penyihir jahat yang bertanya pada cermin ajaibnya.

Karin kemudian menumpahkan dirinya ke kasur. Dia lalu memejamkan kedua matanya.

Tiba-tiba, pikiran Karin kembali terhempas pada hari di mana dia sangat down sekali.

Saat Dokter pribadinya bilang, kalau hidup Karin tidak akan lama lagi.

Karin menangis sejadi-jadinya.

Karin bak debu yang terbawa angin. Dan … hilang.

Karin merasa dirinya adalah seorang anak yang hanya bisa menyusahkan kedua orang tuanya saja.

Berobat mahal-mahal sampai rela pergi ke singapura. Tapi ujung-ujungnya, penyakit Karin tidak dapat disembuhkan juga.

Karin sempat menyalahkan Tuhannya. Karin merasa Tuhannya itu tak adil pada Karin.

Kenapa Karin harus hidup dengan penderitaan penyakit seumur hidupnya?

Karin bertanya-tanya pada Sang Maha Kuasa itu.

Yang keberadaannya, entah di mana. Karin juga tak terlalu yakin.

Sampai keajaiban besar datang tak diduga.

Dalam keterpurukkannya, Karin tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

Karin merenung sendirian.

Setiap hari, dia hanya duduk di depan rumahnya. Di Singapura.

Seperti seorang perempuan jompo yang sudah tak bersuami. Merana sendirian. Ya, Karin dulu seperti itu.

Air matanya terus saja bercucuran. Meratapi nasib hidupnya.

Ayah dan Ibunya hanya bisa menatap Karin dari dalam rumah, mengintip sang anak lewat jendela.

Karin tidak berkata sepatah kata pun. Karin selalu diam membisu.

Karin tidak ingin diganggu.

Dan pada suatu hari, ketika Karin sedang duduk seperti biasa di depan rumahnya. Terdengar suara mobil ambulance.

Kepala Karin pun menoleh ke sumber suara. Di mana mobil itu berhenti di depan rumah tetangganya.

Karin juga sudah sangat akrab dengan dia. Namanya Mathew. Semua orang memanggilnya Matt. Usia Matt di bawah Karin. Dia lebih muda satu tahun dari Karin.

Dan betapa terkejutnya saat Karin tahu kalau ambulance itu membawa jenazah ibunya Matt.

Ibunya Matt meningggalkan Matt karena penyakit lambung kronis yang dideritanya.

Orang tua Karin yang juga sama-sama mendengar suara ambulance pun segera berhamburan keluar rumah.

Ayahnya Karin langsung pergi ke rumah Matt segera.

Dan lanjut, Ibunya Karin dan Karin ikut menyusul.

"Sungguh malang anak itu. Dia sudah tak punya lagi keluarga," ucap salah seorang tetangga.

Setelah kisah pilu Matt tersaksi oleh Karin. Karin menyadari soal kisahnya sendiri.

Karin tidak ingin menyerah. Meskipun Dokter bilang penyakit Karin sangat sulit untuk disembuhkan.

Para Tenaga Medis yang dulu menangani penyakitnya sudah menyerah. Katanya, daripada menghamburkan banyak uang. Lebih baik Karin menikmati sisa waktu hidupnya dengan baik.

Karin mendengarnya miris.

Ibunya Karin mengelus punggung Karin. Memberi Karin semangat moral melihat kesedihan yang menimpa tetangga sekaligus teman dekat Karin selama di singapura.

Heni tahu kalau dalam hitungan detik selanjutnya, air mata Karin berderai membasahi kedua pipinya. Dan Karin pun terisak dalam pelukan Heni waktu itu.

Heni juga ikut menangis. Dia sendiri membayangkan nasib Karin nanti.

Karin juga akan meninggalkan mereka lebih dulu.

Karin tahu kalau Matt dari kecil tidak punya ayah. Ayahnya meninggal saat Matt baru belajar melangkah.

Dan sekarang, giliran Ibunya yang meninggalkan Matt.

Matt sebatang kara.

Dan setelah itu, Karin sadar. Kalau setiap individu pasti punya beragam kisahnya tersendiri.