Chereads / Asih Tanpa Kasih / Chapter 67 - Karin Terkejut karena Ternyata Bara Sudah Tahu dari Miftah

Chapter 67 - Karin Terkejut karena Ternyata Bara Sudah Tahu dari Miftah

Ini bukan soal siapa yang paling menderita. Tapi soal siapa yang berani menghadapi takdir mereka sendiri tanpa menyalahkan siapa pun.

Apalagi merasa paling tidak bahagia hidup di bumi.

Apa mereka akan kalah, atau tetap berusaha tegar dan mengambil banyak pelajaran atasnya? Semua tergantung si individu itu sendiri.

Matt telah menjadi motivator bagi Karin.

Belajar dari kisah Matt yang hari itu tetap terlihat kuat. Matt berusaha tegar.

Walaupun Karin tahu, hari itu dia sangat rapuh.

Namun, hidup Matt tidak berakhir dengan keputusasaan. Matt masih bertahan sampai sekarang.

Ada kedua pasangan suami istri yang tidak punya anak. Mereka juga salah satu tetangganya Karin. Masih di satu kawasan yang sama. Matt pun juga sudah mengenal mereka dengan sangat baik.

Dan akhirnya, Matt diadopsi oleh keluarga itu. Sebab Matt, tidak punya kerabat dekat.

Dan Karin merasa percuma saja tinggal di singapura. Karin dan keluarganya pun memilih untuk kembali pulang ke Indonesia.

Karin tidak ingin orang-orang terdekatnya di Indonesia mengetahui kalau Karin tidak lama lagi akan segera mati.

Karin meminta pada kedua orang tuanya untuk merahasiakan prediksi dokternya itu.

Kedua orang tua Karin menyanggupi. Namun, mereka membohongi Karin. Kedua orang tua Karin justru memberi tahu soal itu pada Miftah dan juga keluarganya.

Sampai Miftah pun menanyakan soal kebenarannya hal tersebut pada Karin kemarin. Awalnya Karin mengelak.

Namun, tatapan teduh Miftah membuat Karin tidak sanggup untuk berbohong padanya.

Karin pun jujur pada Miftah. Dan meminta Miftah untuk merahasiakannya dari siapa pun. Termasuk pada Bara.

Karin memohon-mohon pada Miftah.

Dan Karin sangat berharap Miftah tidak membocorkan soal hal tersebut pada Bara.

Karin tidak ingin Bara sedih.

Karin tidak ingin merepotkan orang lain.

Yang Karin inginkan, Karin bisa enjoy menikmati sisa hidupnya ini. Dan semua orang mengira Karin baik-baik saja.

Menurut Karin, itu lebih baik. Karin sangat tidak suka ditatap dengan tatapan iba oleh orang lain. Dikasihani oleh orang lain, Karin tidak mau.

Karin merasa dirinya kuat. Dia tidak lemah.

Sekarang, Karin membuka kedua matanya. Menatap langit-langit kamarnya sembari membuka telinganya lebar-lebar.

Dari luar kamarnya, ada yang memanggil-manggil Karin.

"Karin? Karin, Bara datang berkunjung. Apa kamu bisa menemuinya? Kamu sedang apa di kamar, Sayang?" teriak sang Ibu—Heni.

"Bara?" Kedua alis Karin bertaut. Bingung.

Mau apa Bara datang ke rumah Karin? Bukankah kemarin dia marah?

Apa Bara sudah sadar dengan sikapnya yang kekanak-kanakkan itu?

Karin bertanya-tanya. Tapi, dia tidak ingin hanyut dengan beragam dugaannya pada Bara.

Karin pun segera bangkit dari tidurnya dan langsung melangkah menuju pintu.

"Iya, Ma. Karin keluar," sahut Karin sambil berjalan.

Saat Karin membuka pintu. Sang Ibu menatapnya teduh. Dia tersenyum.

Karin memang sudah biasa ditatap seperti itu oleh sang ibu. Dan Karin juga tahu kalau tatapan itu adalah tatapan yang menyimpulkan perasaan sayang yang berselimut kesedihan.

Karin tahu kalau Ayah dan Ibunya sangat takut kehilangan Karin.

Dan tatapan baru itulah yang sebenarnya selalu mengganjal bagi Karin. Karin tidak tega.

Karin sendiri sebenarnya tidak ingin buru-buru mati. Karin masih ingin hidup. Merasakan petualangan hidup seperti orang kebanyakan.

Sekolah, bekerja, menikah, hidup berkeluarga, punya anak, menantu, dan kemudian punya cucu.

Jika mati, di usia remaja seperti sekarang. Ini terlalu muda untuk Karin.

Namun, Karin selalu mensugesti dirinya sendiri dengan yang baik-baik.

Karin sehat. Dan biarpun pada akhirnya Karin memang harus mati di usia muda. Karin menyerahkan semua skenario hidupnya sepenuhnya pada Sang Tuhannya. Karin percaya, Tuhan penulis skenario terbaik.

Dan tidak ada hak untuk Karin menyalahkan takdir.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Heni pada anaknya—Karin.

Karin menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja," jawab Karin sembari tersenyum.

"Baiklah, sana temuin Bara! Mama mau pergi dulu ya, soalnya buru-buru." Heni pun kemudian mengecup puncak kepala sang anak dan berlalu pergi lebih dulu setelah Karin mengangguk padanya dengan lembut.

Heni berjalan lebih dulu menuju bara yang sekarang tampak berdiri di ruang tamu. Heni menepuk bahu Bara dan kemudian pamit, pergi keluar rumah dengan langkah yang cepat.

Heni bilang pada Karin, kalau hari ini dia ada rencana untuk ketemuan dengan teman-temannya. Maklum, baru pulang lagi ke Indonesia.

Kemudian, Karin melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Di mana Bara belum juga duduk.

Bara melihat pada Karin yang sekarang sedang berjalan ke arahnya.

Sekarang, yang ada di hadapan Karin, beberapa meter adalah sesosok lelaki yang sangat Karin rindukan. Selalu.

Namun, entah mengapa sekarang perasaan canggung begitu menyelimuti. Baik Karin, maupun Bara.

Karin merasa tidak enak karena penolakkannya dulu pada bara. Sedangkan Bara, merasa tidak enak karena kemarin dia pergi begitu saja dengan egonya yang begitu tinggi.

Padahal, Bara tidak seharusnya merusak suasana hati Karin, yang semestinya kemarin itu menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Karin yang baru kembali pulang ke negara asalnya.

Seharusnya kemarin, Bara membuat Karin merasa menjadi orang yang paling istimewa sebab kehadiran Karin selalu dinanti-nanti oleh orang tersayangnya di Indonesia.

Tidak seperti Bara yang kemarin tidak paham dengan itu. Bara sangat menyesal.

"Ini, minumnya Tuan Bara," kata pembantu rumah yang sudah menghampiri Bara lebih dulu daripada Karin yang saat ini masih berjalan ke arahnya.

Bara mengangguk sambil tersenyum ramah. "Terima kasih, Bi," katanya.

"Sama-sama." Si Pembatu itu pun berlalu pergi kembali ke dapur.

Dan sekarang, Intan sudah mematung di hadapan Bara.

"Duduk! Kenapa tidak duduk?" tanya Karin, "kamu wasir?" Karin bercanda. Karin sengaja agar suasananya sekarang tidak canggung.

Bara tidak menunjukkan respon senang akan candaan Karin itu. Sekarang, kedua mata Bara mulai berlinang air mata.

Dia menatap Karin lekat-lekat. Bara tidak menyangka kalau Karin masih sempat-sempatnya melemparkan candaan pada Bara. Di tengah dirinya sekarang, pasti sangat terguncang. Dan kemarin, Bara juga seenaknya pergi begitu saja dari rumah Karin.

Pikir Bara, seharusnya Karin itu marah padanya. Setidaknya kesal. Misalnya dengan memasang wajah cemberut. Rata-rata orang seperti itu.

Tapi ini? Sekarang Karin tidak menunjukkan sikap seperti itu sama sekali. Pancaran senyum dari wajahnya sungguh menyentuh hati Bara. Bara sendiri kalut dengan keegoisannya.

Bara sungguh merasa sangat rendah di hadapan Karin sekarang.

"Karin," lirih Bara sambil melangkah mendekati Karin.

"Ya?" Karin terheran-heran dengan sikap Bara padanya.

Saat Karin akan membuka mulutnya kembali untuk mempersiapkan Bara duduk. Terlambat! Bara melangkah lagi dan langsung memeluk Karin. Jadinya, itu membuat Karin tidak bisa berkata-kata. Bungkam.

"Karin, maafkan aku. Maaf." Bara menangis.

Karin pun terkejut karena itu. Sampai tak sadar, kedua air mata Karin berair. Dan kemudian, menjatuhkan air mata.

Bara memeluk Karin dengan erat. Awalnya, Karin tidak membalas pelukan Bara padanya. Namun, setelah air mata Karin keluar. Karin tidak tahan untuk tidak memeluk Bara balik.

Karin pun mengeratkan pelukannya.

Karin merindukan dia. Sangat merindukan Bara. Bara pun sama.

Tidak sepantasnya mereka bergesekkan seperti sebelum-sebelumnya. Sebelum hari ini.

***

"Kenapa kamu bilang semuanya pada Bara?" tanya Karin pada Miftah dengan tatapan kecewa.