Miftah yang melihatnya pun jadi merasa aneh sebab adegan yang terihat barusan, menunjukkan persepsi yang aneh di kepala Miftah.
Asih dan Bara seperti bukan saudara sepupu. Terlihat ada tatapan yang berbeda dari keduanya.
Namun, Miftah tidak ingin berpikiran jauh. Miftah segera melupakan hal itu.
Dan setelah Asih keluar. Bara menyuruh Miftah masuk ke dalam mobilnya untuk mengobrol.
"Masuk! Kita bicara di dalam mobil," kata Bara.
Miftah sudah biasa dengan sikap Bara yang memang si tukang suruh-menyuruh.
Bara tidak ingin turun dari mobil. Dan menurut Bara, akan lebih bagus kalau mengobrol di dalam mobil. Jadinya tidak akan terlalu terlihat oleh orang lain.
Miftah pun berjalan memutar. Hingga dia dan Asih saling berhadap-hadapan.
Asih belum kunjung pergi. Dia masih mematung di samping mobil Bara dekat pintu yang baru dibukanya itu.
Miftah tersenyum pada Asih, dan Asih pun sama.
Tapi Miftah cukup mengerti situasi. Miftah tidak lama-lama tersenyum pada Asih. Miftah langsung masuk ke dalam mobil Bara dan menutup pintu mobilnya juga.
Saat Miftah duduk, Bara tersenyum sinis.
Wajahnya tampak mencibir.
"Awas ya kalau lo berani deketin Asih!" ancam Bara.
Miftah tidak menggubris ancaman Bara barusan padanya. Miftah hanya tertawa saja.
"Heh, malah ketawa lo! Gue serius." Tensi darah Bara naik. Bara kemudian menunjuk-nunjuk wajah Miftah dengan telunjuknya. "Kalau lo berani deketin Asih. Gue gak segan-segan buat lo menyesal. Gue gak mau kalau sepupu gue dideketin oleh cowok kayak lo." Bara tersenyum sinis.
Dalam hati, dia sebenarnya tidak menyukai kalimat yang sudah dia keluarkan barusan.
Sebab, bukan soal sepupu. Tapi Ibu tiri. Asih adalah Ibu tirinya Bara.
Walaupun Bara tidak menyukainya. Bara lebih tidak suka lagi kalau Miftah mendekati Asih.
Itu sama saja dengan merendahkan kehormatan Ayahnya Bara sendiri—Jajaka Purwa. Meskipun Miftah tidak tahu apa pun soal Asih yang merupakan ibu tirinya Bara.
Dia tampaknya sangat puas sudah berkata seperti itu pada Bara.
Dan Miftah sendiri hanya diam. Wajahnya sangat serius. Bara bisa mengenali raut wajah Miftah yang seperti ini.
Dia pasti tengah menahan emosinya atas ucapan Bara barusan.
Miftah sedang menenangkan dirinya sendiri. Menurunkan kadar emosinya yang tadi sepat naik karena ucapan Bara barusan padanya.
Bisa dilihat pula dari kedua tangan Miftah yang sekarang membuat bulatan sempurna. Mengepal di kedua sisinya.
Bara pun tersenyum melihatnya. Bara tahu kalau Miftah tidak ingin gegabah meninju Bara.
Lokasi mereka berdua sekarang tidaklah tepat.
Kawasan sekolah memang selalu dihindari oleh Miftah.
Miftah yang tadi tidak melihat pada Bara. Sekarang, Miftah menatap Bara dengan tatapan tajam.
Lalu, Miftah pun berkata, "Bar, ini bukan saatnya ngebahas soal itu." Miftah mengatur ritme napasnya dan tetap menatap pada Bara.
Bara menatap lurus ke depan. Sedangkan Miftah kini tengah mengenyampingkan badannya, melihat pada Bara.
Sosok Bara yang sebenarnya sangat ingin Miftah hajar dengan kepalan tangannya yang kekar itu.
Walaupun Miftah terkenal sebagai seorang murid lelaki yang sangat disiplin.
Miftah juga punya keahlian khusus dalam ilmu bela diri.
Bara juga tahu itu.
Bara hanya tersenyum saja menanggapi Miftah saat ini yang Bara rasa, Miftah sekarang hanyut dalam kesedihan.
Entahlah, Bara tidak tahu apa yang tengah Miftah rasakan sekarang.
Apa Miftah sedih dengan perkataan Bara tadi?
Ah, mana mungkin, pikir Bara.
Atau, Miftah tampak bersedih karena dia sekuat tenaga menahan emosinya pada Bara?
Ah, mana mungkin juga, pikir Bara.
Bukan itu. Pasti bukan karena itu.
Tapi, Bara sendiri juga tidak tahu kenapa.
Dan kemudian, pernyataan yang membuat hati Bara pilu pun meluncur dari mulut Miftah.
Seperti yang dari awal Miftah katakan pada Bara.
Ini tentang Karin.
Tapi bukan soal Bara yang kemarin pergi begitu saja, tidak sopan. Bukan soal itu.
Ini tentang alasan Karin pulang ke Indonesia.
"Sebenarnya, gue udah janji sama Karin. Kalau gue, gak bakal bilang semua ini ke lo," ucap Miftah. Raut wajahnya sangat sedih.
"Tapi, gue pikir lo harus tahu semuanya. Bagaimanapun juga, lo, gue, sama Karin adalah sahabat sejak kecil. Meskipun lo sama gue udah –" Miftah berhenti berucap.
Miftah pikir, dia tidak perlu membahas soal keretakan yang terjadi di antara dirinya dengan Bara.
Tanpa perlu diungkit, Bara pasti juga sadar soal kerenggangan yang terjadi di antara mereka berdua.
Miftah pun langsung kembali ke topik awal pembicaraan.
Mengenai kondisi kesehatan Karin.
"Dokter sudah memvonis Karin tidak akan hidup lama." Miftah terdiam sejenak.
Hati Miftah sangat sakit.
Dan Miftah tahu, kalau Bara pun juga sama.
Terlihat dari raut wajahnya yang mulai berubah merah.
Bara marah pada dirinya sendiri.
Kenapa harus Miftah yang selalu lebih dulu tahu soal Karin?
Kenapa bukan Bara?
Bara sungguh bertanya-tanya soal itu.
Bara merasa bukan siapa-siapa di hidup Karin.
Karin selalu menyembunyikan masalahnya dari Bara. Dan pikir Bara, Karin lebih nyaman bercerita pada Miftah.
Soal apa pun itu.
Apakah Bara tidak pantas jadi tempat curhatnya Karin?
Bara pikir, Karin menganggapnya begitu.
Mungkin karena Miftah memang yang lebih dewasa daripada Bara.
Miftah bisa menasihati Karin dengan baik. Menenangkan Karin dengan keunikannya tersendiri.
Berbeda dengan Bara yang selalu dinasihati oleh Miftah dan Karin.
Bara memang yang paling payah.
"Dan, Karin tetap memaksa untuk melanjutkan sekolahnya yang sempat tertunda. Minggu depan, dia sudah akan mulai sekolah lagi. Di sini." Miftah menatap Bara yang saat ini masih terdiam.
Bara seperti hanyut dengan kesedihannya.
Dan tampak air mata mengalir di kedua pipinya.
Wajah Bara kemudian menengadah ke atas.
Dia mengedip-ngedipkan kedua matanya.
Miftah tahu, tangisan adalah pertanda kelemahan bagi Bara.
Dan Miftah tidak ingin air matanya itu keluar. Apalagi di depan Miftah.
Bara juga terus saja menghindari pandangan Miftah padanya.
Dan Miftah, kembali melanjutkan ucapannya. Berharap Bara akan berubah setelah dia tahu apa yang sebenarnya akan terjadi kemudian pada Karin yang sama-sama mereka sayangi.
"Gue harap, lo gak terus-terusan egois, Bara! Dan, gue ingin lo sama gue biasa aja di depan Karin. Jangan sampai Karin tahu kalau gue sama lo udah gak kayak dulu lagi." Miftah sendiri kembali merasakan sakit di dadanya.
Mengingat dulu, memang membuat Miftah rindu akan kebersamaannya dengan Bara.
Tapi, ya … semuanya sudah berlalu. Pun, juga sudah berbeda.
Walaupun sebenarnya, Miftah sangat ingin hubungan baiknya dengan Bara kembali terjalin. Seperti dulu lagi.
Bersama-sama, sebagai sahabat paling dekat.
"Gue yakin kalau sampai Karin tahu, dia bakalan sedih," ucap Miftah lagi.
Dan seketika, Bara menatap Miftah dengan tatapan yang sangat tajam. Tampak penuh dendam dan kepedihan. Kedua mata Bara memerah.
Itu menampakkan kemarahan.
Tapi Miftah sangat yakin. Bara bukanlah marah pada dirinya.
Melainkan pada dirinya sendiri yang selama ini sudah sangat egois.
Air matanya mengucur di sebelah mata kanannya. Bara sempat menyekanya terlebih dahulu sebelum dia mengamuk seperti orang gila.