Habisnya sih, Bara terkenal. Terkenal dengan banyak hal.
Tapi, Bara cukup berkawan dengan para pekerja di sekolah. Semisal pak satpam satu ini.
Namanya pak Mardi.
Asih mengangguk. "Iya, Pak. Tapi dia mau jemput aku. Cuman anehnya, kenapa ya jam segini belum datang?" Asih bingung.
"Datang ke sininya mungkin telat. Terus kecegat macet." Pak Mardi menduganya begitu.
Walaupun dalam hati, dia menduga hal yang berbeda. Yaitu, pastinya Bara malas menjemput. Pak Mardi sudah tahu bagaimana sikap Bara.
TIDITTT! DITTT! TIDITTT!
Suara klakson mobil terdengar. Membuyarkan obrolan Asih dan pak Mardi.
"Nah, tuh Bara!" Pak Mardi ikut senang dengan kedatangan Bara.
Karena itu berarti, Asih tidak perlu susah payah berdiri berjam-jam di dekat gerbang sekolah yang sebentar lagi akan ditutup.
"Woy, cepet masuk!" teriak Bara yang mengeluarkan kepalanya dari kaca mobil.
Asih menatapnya sebal.
'Lihatlah si Bara itu! Dia sekarang memakai kacamata hitam. Sok gaul.' Asih bergumam dalam hati.
Tanpa membalas ucapan Bara, Asih langsung melenggang menghampiri mobil Bara setelah dia pamit terlebih dahulu pada pak Mardi.
"Mari, Pak!" ucap Asih padanya. Tak lupa, Asih juga tersenyum untuk menandakan kesopanan.
"Ya, Nona Asih. Hati-hati ya di jalan!" Pak Mardi mempersilakan.
Bara pun memberi hormat pada pak Mardi setelah Asih masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
"Kita pamit, Pak! Bye!" Bara berteriak pada pak Mardi.
Pak mardi pun juga membalas hormat Bara.
"Hati-hati di jalan, King!" Pak Mardi tahu apa panggilan Bara oleh teman-temannya.
Makanya, dia juga sudah terbiasa memanggil Bara dengan sebutan 'King'.
Bara tersenyum lebar dan menginjak rem mobilnya dengan sangat cepat.
Pak Mardi juga sudah terbiasa dengan hal itu. Dia sangat tahu kalau Bara itu jika mengemudi memang suka selalu dengan kecepatan yang tinggi.
Dan pak Mardi hanya bisa geleng-geleng kepala saja jika melihat Bara kumat.
Bara berani mengemudi dengan kecepatan tinggi di depan sekolah, karena dia sekarang sedang di skorsing dan sekolah juga sudah sunyi.
***
Di dalam mobil, Asih cemberut.
Dia tidak sudi mengeluarkan sepatah kata pun pada Bara.
Tak peduli dengan Bara yang sedari tadi bertanya padanya soal kondisi di sekolah.
"Gimana tadi di sekolah?" tanya Bara ulang.
Bara takut Asih tidak mendengar pertanyaannya karena dari tadi Asih melihat ke kaca sebelah kirinya. Tanpa menoleh pada Bara sedikit pun.
"Asih!" panggil Bara kesal.
Dan karena sudah ditanya dua kali, dan dipanggil beberapa kali.
Bara pun akhirnya tahu kalau ibu tirinya itu kini sedang merajuk padanya. Asih marah karena Bara sudah telat menjemput Asih.
"Hei, gue tanya ke lo. G*BL*K!" Bara sampai mengeluarkan bahasa kasar.
Asih dibuat terperanjat karenanya.
Bahasa kasar yang Bara keluarkan sungguh membuat hati Asih terluka. Asih ingin menangis. Tapi dia tahan.
Asih tetap menguatkan diri dan membiasakan telinganya mendengar bentakkan-bentakkan Bara yang sering sekali terdengar oleh telinga Asih.
Bara memang suka berlaku begitu pada Asih.
Asih terus menyadarkan dirinya, kalau dirinya harus kuat menghadapi sikap anak tirinya yang super nyebelin, super rese seperti Bara.
Dan Asih tetap kuat untuk tidak menyahut Bara sekalipun.
Bara terus membunyikan klaksonnya beberapa kali. Dia sangat emosi.
Bukan hanya pada Asih. Melainkan pada situasi kali ini juga.
"AN*J*NG! Pake macet segala sih? Sial banget gue hari ini," umpat Bara.
Dia sudah seperti orang gila yang mengamuk.
Arsya mengacak-acak rambutnya sendiri.
Asih pun menoleh. Melihat Bara yang seperti sudah gila ini, Asih sendiri bingung.
"Apaan sih? Gila kali ya." Asih bergumam judes.
Dan Bara mendengarnya. Bara langsung melihat pada Asih dengan tatapan yang sangat menakutkan.
Asih pun sungguh terkejut dan jadinya sedikit takut.
Asih menyesal karena sudah meledek Bara.
Asih takut Bara menelan dirinya hidup hidup.
Sekarang, wajah Bara mirip dengan beruang besar yang siap memangsa Asih.
Asih pun dengan cepat mengalihkan pandangannya agar tidak melihat Bara yang sekarang marah tidak jelas.
Bara masih meracau enggak jelas.
Dan Asih sekarang larut dengan lamunannya.
Dia bingung. Kenapa suaminya—Jajaka Purwa tidak menelepon Asih? Padahal, Bara menjemput Asih sangat telat.
Dan di tengah Asih masih memikirkan hal itu. Bara kebetulan juga bertanya soal yang sama.
"Suami lo belum ngehubungi lo? Atau udah? Bilangin macet," kata Bara.
Bara menyuruh Asih untuk berbohong. Sebab, macet juga tidak lama. Dan sekarang, laju mobil Bara juga sudah lancar lancar saja.
Dan kali ini, Asih langsung menjawab, "belum. Memangnya kenapa?" tanya Asih.
Bara terkejut. Dia pun juga aneh mendengarnya.
"Belum? Lah, tumben dia gak nanyain lo kalau lo telat pulang?" Bara bertanya pada Asih dengan pandangan lurus ke depan.
Kedua tangan Bara pun juga masih setia memegang kemudi mobil.
Asih mengendikkan bahunya. "Mana aku tahu. Dari tadi aku nunggu kamu sampai sejam." Asih membeberkan kekesalannya.
"Awas lo kalau lo bilang gue datang telat. Bilang aja macet. Paham?" Bara mengancam.
"Ye, gak mau disalahin. Padahal memang salah." Asih tersenyum sinis dengan perkataannya yang terdengar ketus dan dingin.
Kedua lengan Asih pun dilipat di depan dadanya dan pandangan Asih tetap melihat ke kaca sebelah kiri.
Dan Asih enggan untuk menoleh pada Bara yang duduk di jok kemudi, sebelah kanan.
Bara melotot pada Asih sebelum dia kembali fokus ke depan.
"Ye … lo udah berani ngomong ya sekarang? Pokoknya awas lo kalau lo berani nambahin hukuman gue. Kalau lo bilang ke suami lo, gue datang telat ngejemput lo. Gue bakal bikin hidup lo tambah sengsara. Ingat itu!" Bara kembali mengancam Asih.
"Heh!" Asih ngegas juga jadinya.
Sudah lelah nunggu Bara satu jam, kepanasan pula, terus sekarang Bara mengancam dengan nada yang sama sekali tidak ramah di telinga Asih.
Asih jadinya berani melawan Bara. Khusus hari ini.
"Aku itu ibu tiri kamu ya. Yang sopan kamu ke aku. Anak sekolah kok gak tahu yang namanya tata karma?" Intan berucap ketus.
Bara yang mendengarnya pun langsung tertawa karenanya.
Tawa Bara sekaligus emosi.
"Gila lo! Lo bener-bener muai berani ya sama gue, hah?" Bara langsung menghentikan mobilnya ke bahu jalan.
Dia kemudian menatap Asih dengan penuh emosi.
"Lo pikir, lo siapa? Mentang-mentang lo Ibu tirinya gue, istri Ayah gue. Gue harus hormat ke lo, gituh?" Bara tersenyum sinis. "Heh, Asih!" Suara Bara menggelegar.
Bara memberikan peringatan pada Asih.
"Usia lo itu lebih muda dari gue. Dan kita itu satu angkatan di sekolah. Wajarlah gue gak merlakuin lo layaknya orang dewasa. Lo sok punya kehormatan aja deh, ah." Bara sangat kesal.
Asih sekarang menatapnya dengan perasaan takut. Tapi sekaligus jijik melihat Bara—anak tirinya ini bertingkah seperti orang gila yang mengamuk.
Sungguh memuakkan, bagi Asih.
Lama-lama, Asih kayaknya juga jadi orang yang sama emosionalnya dengan Bara karena Bara selalu memancing emosi Asih.
Bara pun mendekatkan tubuhnya ke Asih.
Asih semakin takut karenanya. Takutnya Bara melakukan hal yang tidak tidak pada Asih.
"Eh, kamu mau ngapain?" tanya Asih gemetar melihat Bara yang semakin mulai menyosor padanya.