Bara tersenyum ketus. Sunggingan sebelah bibirnya itu menampakkan niat jahat.
Bara juga menahan tubuh Asih agar jangan sampai bergerak dengan kedua tangannya memegang kedua lengan atas Asih kuat-kuat.
"Lo, harus gue kasih pelajaran. Gak peduli dosa atau enggak. Gue harus kasih lo pelajaran biar lo tahu diri, enggak ngelawan gue lagi," pekik Bara dengan nada jahat.
Asih pun mulai berpikiran yang tidak tidak.
Dan faktanya, dugaan Asih juga benar.
Bara akan melakukan tindakan yang di luar batas pada Asih.
"Bara, jangan!" Asih memberontak. Tapi tidak bisa.
Dan ketika Asih akan berteriak, mulut Asih sudah dibungkam dengan mulut Bara. Bara menguncinya kuat-kuat.
Bara mencium ibu tirinya sendiri.
Bara memang sudah kesetanan, pikir Asih. Asih yang tidak terima dilecehkan oleh Bara itu pun hanya bisa menangis karenanya.
***
Eits!
Yang tadi itu bukan kenyataan. Itu hanya fantasy-nya Bara saja.
Bara yang sekarang lagi kalut, sampai berpikiran yang macam-macam pada Asih.
'Salah! Itu tindakan yang sangat salah. Duh, kenapa sih otak gue kotor sekarang? Padahal gue tadi gak nonton film porno dulu deh. Kok bisa-bisanya gue punya pikiran mesum ke Ibu tiri gue sendiri? Gila!' Bara bergumam di hatinya.
Dia juga terus mengumpat dirinya sendiri. Bara juga mengumpat pada orang-orang yang sudah membuatnya kesal.
Di antaranya ialah Miftah, Karin dan sekarang Asih.
Karena kesal, Bara hampir bertindak di luar kendali.
Dan setelah mobilnya berhenti di bahu jalan dan Bara membayangkan hal aneh tadi. Bara pun kembali melajukan mobilnya.
Sampai-sampai, Asih yang tadinya kaget dengan sikap Bara yang kayak orang gila itu pun terkejut juga melihat Bara yang banyak sekali tingkahnya.
Tiba-tiba menghentikan mobil, kemudian melamun, dan sekarang Bara kembali melajukan mobilnya.
Bara juga diam seribu Bahasa.
'Lah, kenapa anak ini? Kayaknya si Bara otaknya kurang satu persen deh. Hidupku benar-benar sengsara banget sih. Kenapa punya anak tiri kayak dia? Si Bara memang super aneh.' Sambil bergumam, Asih melihat Bara dengan tatapan menyelidik.
***
Di rumah Karin, semua orang akan makan nasi liwet bersama.
Nasi liwet beserta lauk pauknya sudah siap, tinggal mereka santap bersama.
Ayahnya Miftah yang baru datang, menyampaikan rasa penasarannya perihal Bara yang tadi dia temui di jalan.
Mobil mereka saling berpapasan.
"Tadi, di jalan depan ketemu sama si Bara. Si Bara udah dari sini juga, kan?" tanya Handoko pada semuanya.
Terkhusus, dia bertanya pada anaknya sendiri—Miftah.
Karin hanya menunduk. Dia tidak mood membahas soal Bara.
Miftah yang ditodong oleh pertanyaan dari sang ayahnya pun sekilas menatap pada Karin.
Miftah bisa melihat kesedihan Karin sekarang.
Miftah sangat kesal pada Bara. Menurut Miftah, Bara tidak seharusnya bersikap seperti tadi.
Bara juga tidak boleh pergi begitu saja karena itu tidak sopan, pikir Miftah.
'Anak itu memang tidak pernah berubah. Selalu egois.' Miftah bergumam dalam hati.
Tapi Miftah berusaha untuk tidak menunjukkan kemarahannya terhadap Bara. Sebab, jika Miftah menunjukkannya. Suasana hari ini, di saat Karin baru saja datang. Hanya akan terasa tidak nyaman.
Dan Miftah juga bisa merusak hari bahagianya Karin ini yang baru pertama kali lagi menginjakkan kakinya di Indonesia.
"Oh iya, soalnya Bara ada urusan. Tadi sih dia bilang mau menjemput sepupunya," jawab Miftah.
Miftah tahu itu dari Bara sendiri yang memang beralasan seperti itu.
Tapi, baik Miftah maupun Karin sama-sama tahu kalau Bara itu hanya menghindar saja.
Tadi, Bara juga pergi dengan raut wajah yang tidak kondusif. Bahkan, Bara juga tidak pamitan dulu para orang dewasa yang ada di rumah Karin.
Sampai-sampai, Ibunya Karin—Heni, Ayahnya Karin—Halim, dan juga Ibunya Miftah—Iriana bingung dengan sikap Bara yang tidak sopan pergi begitu saja.
Tapi mereka tidak banyak bertanya pada Miftah dan Karin yang memang sudah menjelaskannya sama seperti apa yang sudah dijelaskan oleh Miftah barusan pada ayahnya—Handoko.
"Oh, gituh. Sepupunya siapa? Memang kenapa harus dijemput sama si Bara? Dijemut di mana?" Handoko sangat ingin tahu kejelasan sesungguhnya.
"Namanya Asih, dijemput di sekolah. Jadi, si Asih itu tinggal di rumahnya Bara. Orang tuanya di luar kota. Alasan pastinya sih gak tahu, kenapa sampai sepupunya itu tinggal sama Bara," jawab Miftah seadanya.
Miftah yang sudah tahu kalau Bara itu tidak sekolah karena mendapat skorsing, dia tidak membahas soal Bara yang mendapat skorsing di depan semua orang sekarang di sini.
Miftah tidak mau membebani Karin dan mempermalukan Bara juga.
Miftah memang sangat dewasa dalam menyikapi persoalan.
Handoko pun mengangguk-angguk sambil berkata 'oh'.
Handoko melihat pada Miftah dengan sebuah kode yang berarti Handoko sedikitnya tahu kalau anaknya—Miftah sedang menyembunyikan sesuatu.
Handoko sendiri tidak begitu yakin kalau Bara punya sepupu yang bernama Asih. Dan Asih dititipkan oleh keluarganya di rumah Bara.
Handoko tahu kalau semua keluarga Bara itu berasal dari kalangan elit.
Nama-nama keluarganya tidak serupa dengan nama 'Asih' yang bisa dikatakan cukup kuno.
Tapi Handoko juga tidak bisa menduga-duga lebih jauh karena Handoko juga tidak tahu apa-apa.
"Hemm oke kalau begitu, kita makan yuk! Keburu dingin." Ibunya Karin—Heni mengalihkan pembicaraan.
Semua orang pun menyepakati sarannya. Karena, semuanya juga memang sudah lapar.
"Duh, sambal buatan jeng Heni pasti selalu enak," puji Ibunya Miftah—Iriana, sambil menyomot sambal yang juga masih hangat-hangatnya.
"Ah, jeng Iriani bisa aja." Heni tersipu malu.
"Eh, bener loh. Gak bohong. Ya kan, Sayang?" Iriana meminta pembenaran dari sang suami yang kini makannya pun sangat lahap.
"Bener-bener. Mantaplah!" komentar Handok sambil mengacungkan jempol kanannya.
"Iya, Tante. Emeng enak kok. Aku aja bisa makan sangat lahap." Miftah juga memuji sambal buatan Heni.
Karin pun tersenyum sambil menatap Miftah yang duduk di hadapannya.
"Iya, Ma. Mama itu emang jagonya perihal sambal." Halim, sang suami pun memuji kemahiran istrinya dalam membuat olahan sambal.
"Duh, jadi malu gini. Makasih ya. Kalau enak, makan yang banyak." Heni tersenyum senang.
Mereka makan dengan lahap. Daun pisang yang menjadi alas untuk mereka makan, menghiasi kebersamaan yang ada.
Makan nasi liwet bersama memang nikmatnya tiada dua.
***
Mobil Bara pun masuk melewati pagar rumah yang sudah dibuka oleh satpam.
Mobilnya masuk ke pekarangan rumah yang sangat luas.
Setelah mobil berhenti, Asih langsung membuka pintu mobil dan pergi begitu saja.
Asih bahkan enggan untuk memberi ucapan terima kasihnya pada Bara.
Asih masih marah pada Bara yang setiap harinya selalu membuat Asih jengkel setengah mati.
Bara yang melihat Asih pergi begitu saja, tidak sopan.
Bara semakin sebal padanya.
"Heh, Asih! Woy!" teriak Bara memanggil-manggil Asih, "sialan tuh Anak! Kurang ajar banget."
Bara kemudian juga ikut ke luar.
"Pak! Pak Subagja!" teriak Bara pada salah satu satpam yang biasa memarkirkan mobil.
"Ya, Tuan Muda," sahut sang satpam itu sambil bergegas menghampiri Bara.
Setelah jarak sang satpam dengan Bara cukup dekat, Bara kemudian melempar kunci mobilnya.
"Tolong parkirkan mobilku!" titah Bara pada pak Subagja.