Seketika Bara langsung ngerem mendadak dan menyampingkan mobilnya ke tepi jalan desa, karena mereka sudah hampir dekat pulang ke rumah.
Bara lebih dari keterkejutannya tadi, Asih kira gampang emang ngelepasin dirinya dan cerai dari ayah Bara?
Bisa-bisa si Bara juga mati dibunuh ayahnya sendiri. Emang oleng otak Asih, pikir Bara. Apa Asih oleng juga karena Bara tonjok tadi? Kan enggak mungkin ya? Tapi juga bisa jadi.
Melepaskan Asih adalah suatu ketidakmungkinan yang akan pernah terjadi nanti, kiamat aja yang masih ngambang kapan terjadinya itu masih bisa diprediksi benar akan terjadi, kalau Asih?
Paling nunggu Jajaka Purwa mati, baru Asih bisa bebas. Kalau masih hidup, jangan harap deh Jajaka Purwa taubat. Enggak akan mungkin, wataknya sudah berkarat.
Asih juga sama terkejut, untung Bara tidak mengerem di jalan raya kalau di jalan raya namanya cari mati lagi dia.
Dia memang senang bikin Asih syok jantung, kesabaran Asih terus saja diuji untuk beberapa hari ini.
"Bara, bisa enggak sih ka –"
"Lo cari mati? Hah?" Bara bertanya.
Dahi Asih mengerut. "Yang cari mati kamu, gimana kalau ada orang atau –"
"Lo yang aneh-aneh aja lagi mintanya, gue enggak punya kuasa untuk ngelepasin lo dari jeratan Ayah gue. Lagian hidup lo enakkan? Tinggal jadi istri yang sholeh aja apa susahnya sih? Udah miskin banyak minta, syukur seharusnya lo dinikahin ayah gue, meskipun gue dan kak Adrian enggak suka lo hadir di rumah kami. Ngerepotin aja! Makanya, jadi orang harus kaya biar enggak jadi budak orang lain. Udah miskin, belagu lagi lo!" Bara terbawa emosi dan terus menatap Asih dengan tatapan tajamnya, Asih kemudian memalingkan wajahnya.
Dia tidak sanggup menatap Bara yang sedang emosional, Asih juga merasa sangat direndahkan oleh ucapan Bara.
Tangisnya pun tumpah seketika, sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Asih sangat sakit hati dengan ucapan Bara barusan padanya.
Asih pun secepat kilat membuka pintu mobil, dan keluar.
"Heh, mau ke mana lo Asih?" tanya Bara, "sial, dia mau nambah-nambah masalah lagi." Bara pun juga ikut keluar dari mobilnya. Dikejarnya Asih yang sudah berlari.
'Ya Alloh, aku tidak bisa hidup terus direndahkan seperti ini. Aku memang bukan keluarga kaya ya Alloh, tapi apakah sepatutnya dia berbicara seperti itu?' Asih terus saja mengobrol dengan dirinya sendiri.
Sepintas pikiran Asih untuk berniat menghabisi hidupnya pun terbesit lagi.
'Kak, kamu curang! Kenapa kamu bunuh diri? Kak, ajak aku juga. Aku cape!' Hati Asih meraung-raung.
GRAP!
Tangan Asih ditarik oleh Bara, sampai badannya pun terpental ke dada anak tirinya itu.
"Lepas! Aku bisa pulang sendiri, lepas!" Asih meronta-ronta, dia berontak dan memukul-mukuli dada Bara.
Bara menampakkan wajah cemas; penuh penyesalan dan takut dihukum oleh ayahnya karena Asih keras kepal.
"Oke, maafin gue!" ucap Bara keras.
Asih mendongak ke wajah lelaki itu. Air mata masih terus berjatuhan, tapi Asih tidak lagi berontak.
Asih seakan terhipnotis oleh kata-kata yang barusan diucapkan Bara, terasa mennyentuh sekali ke dalam hatinya.
Tapi, Asih kemudian sadar. Lelaki itu sudah menghinanya tadi, Asih tidak bisa terima. Tidak!
"Aku bisa pulang sendiri, lepaskan aku!" Asih bersikeras.
"Biar apa? Hah? Biar suami lo marah ke gue gituh? Biar gue dihukum karena udah jadiin muka lo sebagai sarana tinju dan udah biarin lo jalan kaki sampai rumah? Gituh? Lo mau bilang ke suami lo kalau gue kejam sama lo, gituh?" Bara semakin emosi, kalau Asih bukan seorang perempuan mungkin sudah Bara cekek dia.
"Memang gituh kenyataannya, kan?" Wajah Asih seperti menantang.
"Nyadar dong Asih, gue enggak bisa bebasin lo. Serius, gue enggak bisa!"
"Ya kalau enggak bisa, bilang aja enggak bisa. Nggak perlu sambil ngerendahin aku dan keluarga aku juga, kan? Emang kamu siapa, Bar? Tuhan aja enggak pilih kasih sama makhluknya, tapi kamu? Apa selama ini kamu enggak ngerasa dosa dengan sikap kamu yang brutal dan mudah ngerendahin orang yang menurut kamu lebih hina daripada kamu?" Mata Asih seperti menyala, seakan-akan ada kobaran api di sana.
TEGGG!
Bara merasa tersindir dengan ucapan Asih barusan, perlahan tangannya pun melepaskan cengkeramannya pada Asih. bara snagat lemas.
'Apa gue emang seperti yang Asih bilang barusan? Apa gue –' Bara bergumam di hati.
Setelah terlepas dari cengkeraman Bara, Asih pun membalik badannya dan kembali berjalan kaki.
Tak peduli jarak dari sana ke rumah besar milik suaminya masih jauh lagi, Asih hanya ingin menangis sepanjang jalan dan ingin menjauhi Bara.
Setelah Asih sudah beberapa meter cukup jauh darinya, Bara pun sadar.
"Gue enggak boleh biarin si Asih jalan kaki, enak aja dia mau ngaduin gue ke ayah gue. Kurang ajar!" Bara pun mengejar Asih lagi yang berjalan sambil masih menangi dengan tambahan emosi yang ingin sekali Asih luapkan, tapi pada siapa? Pada alam? Pada Tuhan? Tuhan yang sudah membuatkan skenarios kehidupan Asih seperti ini, Tuhanlah yang menuliskannya.
Tiba-tiba!
"Eh eh, lepaskan aku! Bara kamu kurang ajar, enggak sopan banget! Lepas!"
Bara membopong tubuh Asih secara paksa, bokong Asih pun terangkat hingga kepalanya terjungkir ke bawah.
Asih terus memukul-mukul punggung Bara sampai mencubitnya, tapi Bara tidak bergeming apalagi meraung kesakitan karena cubitan Asih.
Dibukanya pintu mobil dan Asih dipaksa masuk.
"Masuk lo! Kalau enggak, gue berani bunuh lo di sini. Mau?" ancam Bara, Asih pun duduk yang manis di dalam mobil. Kembali ke tempat duduknya tadi.
Asih terdiam, suasana sedikit mencengangkan ketika dia melihat raut wajah Bara yang tampak sangat serius. Seperti pembunuh berdarah dingin tahu enggak.
Serem banget. Bara pun menutup pintu mobil mewahnya dengan dibanting cukup keras.
"Apa dia enggak sayang sama mobil barunya apa?" gumam Asih sambil memperhatikan langkah Bara berjalan di depan mobil menuju pintu sebelah kanan.
Bara pun masuk mobil dan langsung tancap gas. Pulang.
'Ah, gue udah enggak peduli mau dihukum kayak gimana juga nanti di rumah. Mau dibentak, disiksa atau bahkan kartu-kartu debit sama kredit gue diambli juga enggak peduli gue,' dengus Bara di dalam hati.
Asih duduk di kursi dengan tegang, rahang Bara mengatup begitu kekar.
Tandanya Bara sangat emosi, tapi Asih jadi ingat tadi saat Bara membopongnya.
Seperti memundak sekarung beras saja, Asih jadi tidak enak sekali … baru pertama kali dia diperlakukan seperti itu oleh seorang lelaki, anak tirinya sendiri lagi.
***
Setibanya di rumah, Miftah berganti baju dan segala macamnya. Tapi, saat dia sedang ingin membuka buku untuk belajar –mengulas beberapa materi yang baru dipelajarinya tadi, handphonenya pun berbunyi.
"Karin?" Miftah terkejut saat ada panggiln video call dari perempuan itu.
Miftah dan Karin sudah tidak saling berkomunikasi lagi setelah Karin pergi ke singapura karena handphone Karin pun dipegang oleh ibunya untuk membatasi komunikasi Karin dengan teman-temannya.
Karin harus sembuh, itulah misi pertama keluarganya. Karin tidak boleh terdistraksi sana sini dan juga harus fokus untuk penyembuhan dirinya dan menyepi ke Singapura.
Menghilangkan hal-hal buruk yang kemungkinan bisa saja terjadi sewaktu-waktu.