Tapi, Asih cukup mengerti dan dia pun juga tidak ingin berlama-lama mematung di luar kelas.
"Iya. Aku paham. Lagian aku juga belum siap ngaku kamu sebagai anak tiriku," balas Asih pelan tapi cukup jelas di telinga Bara.
Bara mengernyit, matanya membesar dengan ucapan Asih yang baru saja dia dengar.
Bara ingin sekali mengeluarkan ucapan kasar pada Asih karena dia telah lancang menjawab seperti itu.
'Emang gue juga mau ngakuin lo sebagai ibu tiri gue?' ucap batin Bara meluap-luap.
Tapi dia tidak bisa berkata langsung seperti itu pada Asih karena takut jika yang lainnya mendengar mereka dan Asih pun langsung pergi meninggalkan Bara dengan amarahnya sendiri, sampai belum sempat Bara berkata apa pun pada Asih.
Asih masuk kelas, diikuti oleh Bara. Semua murid yang memerhatikan mereka dibuat penasaran dengan kedua sepupu itu yang masing-masing dari wajahnya saat ini tidak enak dipandang.
Bermuka masam, sangat memperlihatkan sedang ada gesekkan antar keduanya.
Asih duduk di bangkunya. Dia termenung. Memikirkan nasibnya sesudah pulang, keesokan harinya, esok lagi, lagi dan seterusnya.
Rasanya sekolah akan menjadi tempat ternyamannya saat ini walaupun dengan teman cueknya, teman lelakinya yang aneh seperti Hasan, grup rusuh Bella, anak tirinya dan sederetan orang yang berkubu.
Asih masih belum punya teman yang bisa dia anggap saudara, seperti Neneng.
Asih jadi merindukan teman dekatnya itu, seolah suara Neneng berseliweran di kelas, wajahnya yang selalu semangat dan kadang juga rusuh dengan sikap lucunya yang selalu membuat Asih tertawa apalagi kalau mental ciutnya Neneng keluar.
Neneng orangnya penakut dan sering heboh duluan kalau akan menghadapi sesuatu yang dianggapnya itu adalah sebuah masalah.
Sesudah Asih duduk, setelahnya Bara juga tidak lama duduk di bangkunya. Dia melihat Asih yang kini sibuk membuka buku.
Pandangan Bara itu dipantau oleh Fira yang kini melihat Bara yang tengah fokus pada Asih. Bara pun sadar hingga dia gelagapan dan pura-pura bertanya pada Hilman.
'Apa Bara suka ke sepupunya sendiri?' tanya Fira yang mulai penasaran tentang hubungan teman sebangkunya itu.
Tapi Fira masih belum memulai obrolannya dengan Asih. Fira tidak ingin jika Asih bernasib sama dengan dirinya nanti.
***
Saat pulang sekolah di hari pertama, Asih menunggu jemputan pribadinya di depan gerbang.
Semua teman-teman barunya menyapa basa-basi, dan Asih pun menjawabnya basa-basi juga tapi dalam hati kecilnya dia senang walaupun belum kenal mereka semuanya tapi mereka menyapa Asih begitu manis.
Pikir Asih itu karena semua orang tahu kalau Asih adalah sepupu Bara yang terlihat sangat tenar di sekolah.
Seperti baru masuk sekolah tahun ajaran baru, Asih merasa asing dan punya tantangan tersendiri di sekolahnya saat ini. Seperti sikap yang lain, tentunya Bella dengan gengs-nya juga menyapanya saat ini.
"Asih, kamu nunggu jemputan pribadi, ya?" tanya Bella dan diikuti gengs-nya di belakang.
'Lagi-lagi dia,' gumam Asih dalam hati, dia sudah tahu tujuan Bella sebenarnya adalah Bara.
"Hehe, iya," balas Asih sembari tersenyum.
Bella and The Gengs kemudian pamit. Tidak lama setelah itu pun, Fira dan Hasan bergiliran melewati Asih. Mereka tidak menyapa Asih sama sekali, Asih pun juga tidak ingin mengawali diri.
Dia lebih memilih melihat matahari yang sangat terik, yang membuat langitnya pun sangat cerah.
Asih tidak punya jam tangan, jadi dia tidak tahu kalau supir yang bertugas menjemputnya telat berapa menit. Rasanya Asih sudah letih berdiri.
Tiba-tiba, seorang lelaki datang. Dia adalah Miftah.
Dia berhenti dengan motor besar ala-ala pembalapnya di depan Asih sedang teman-temannya sudah lebih dulu melaju.
"Hai" sapanya, " Asih, ya?" Miftah bertanya sembari membuka kaca helmnya.
Asih menyelidiknya.
"Oh, kamu," ucap Asih sesudah dengan jelas matanya mengetahui siapa sosok lelaki yang bertanya itu, "iya aku Asih." Asih tersenyum.
"Mengenai yang tadi aku minta maaf banget, ya," ucap Miftah terdengar sangat menyesal, "eh, tapi bajunya kok udah bersih?" Miftah heran.
"Oh ini." Asih melirik bajunya sendiri, seketika bayangan di kamar mandi bersama Bara juga terlintas di benaknya berikut ancaman langsung dari Bara sebelum dia masuk ke kelas. "Tadi tukeran sama Bara," jawab Asih.
Miftah terkejut mendengarnya, Bara bukan orang yang mau mengalah. Jikalau pun mengalah pasti dia hanya pada teman dekatnya dan siswa perempuan yang Bara suka.
Tapi pikir Miftah mustahil kalau Bara menyukai Asih dan wajar juga karena Asih adalah sepupunya.
Asih menatap kagum pada sosok Miftah yang tidak gengsi meminta maaf, Asih bisa menduga kalau Miftah adalah lelaki baik-baik.
Tapi saat Asih ingat kembali peristiwa di kantin, terlihat sangat jelas kalau anak tirinya—Bara, tidak menyukai lelaki yang kini masih duduk di motornya menahan beban motor.
Begitupun reaksi Bara saat mengejar perempuan cantik yang memakai kerudung.
Asih bisa menebak kalau anak tirinya itu terlibat cinta lokasi di sekolah.
Mereka seumuran, wajar jikalau Asih peka dengan banyak konflik perasaan dan yang pasti memang seumuran Asih dan Bara akan rentan terlibat cinta monyet di masa SMA.
Miftah pun langsung pamit, setelah Miftah pergi … mobil berwarna hitam dan kinclong datang. Asih sudah mengetahuinya kalau itu adalah suruhan suaminya Jajaka Purwa.
Harusnya Asih senang karena sekarang hidupnya berubah drastis. Sekolah pun, seperti anak sultan, diantar jemput.
Supir suruhan Jajaka Purwa keluar dan mempersilakan Asih untuk masuk.
"Maaf sebelumnya Nyonya menunggu lama," ucap Dadang—sang supir khusus untuk Asih pada Nyonya barunya.
Asih hanya tersenyum, dia takut jika orang-orang di sekolah mengawasinya saat ini.
Dibukanya pintu belakang, oleh sang supir, Asih pun terkejut.
Dia kira suaminya tidak ikut menjemput. Jajaka Purwa sedang santai membaca koran dengan duduk di korsi belakang bersamanya.
Asih risih duduk berdampingan dengan suaminya sendiri.
Setelah Asih duduk, kemudian Jajaka Purwa menutup otomatis tirai mobil.
Kanan dan kiri maupun depan, agar tidak terhubung dengan supir. Tepatnya Dadang tidak akan bisa melihat ke joki belakang.
Asih syok, dia sangat takut dengan apa yang akan dilakukan suaminya padanya. Lampu mobil pun dinyalakan, dilipatnya koran yang tadi dia baca dan ditaruhnya ke tempat khusus di belakang jok kursi depan.
Jajaka Purwa mendekati Asih. Memegang wajah Asih yang kini sangat kaku dan terlihat menghindarinya.
"Kamu mau minum, Sayang?" tanya Jajaka Purwa.
Asih sangat heran dengan sikap si Tuan Tanah ini. Asih kira dia akan kejam padanya, tapi layaknya suami … Jajaka Purwa justru memerlakukan Asih lembut walaupun tetap saja Asih ilfeel dengannya.
Terlalu tua pikir Asih, dia lebih pantas menyandang predikat ayahnya. Tidak ada pilihan lain bagi Asih.
Asih akhirnya mengangguk dan diambilnya air mineral botol yang juga tersedia di sana.
"Minumlah!" Jajaka Purwa memberikannya pada Asih.
Asih mereguknya sampai habis setengah. Bukan karena haus, tapi terlalu tegang sampai dia seperti kelelahan setelah usai lari marathon.
'Kenapa dia berubah seperti ini?' Hati Asih bertanya-tanya.
Tiba-tiba, Jajaka Purwa semakin menggeser posisi duduknya dekat dengan Asih.
Wajahnya sangat mirip buaya darat yang membelotot dan tidak sabar membuka mulutnya untuk memangsa.
Asih menutup matanya, ingin sekali dia menangis … tapi Asih tidak bisa berbuat apa-apa.
Jajaka Purwa tidak peduli jika sikap Asih tidak seperti istri-istrinya yang lain, yang langsung siap sedia bahkan menggoda dirinya tanpa dipinta.
Asih lebih menantang menurutnya, dan dia sangat suka. Asih membuatnya lebih merasa muda lagi dan bergairah.