Jantung Leonxora berdetuk kencang, sekencang saat dia lari mengitari lapangan sekolah dulu. Dengan scarf merah melintang menutupi mata, gadis itu tidak bisa melihat hal-hal yang ada di depannya. Kedua tangannya diikat ke belakang, bibir dibungkam seutas pita.
Gelap. Cuma kata itu yang bisa menjelaskan.
Badannya terasa dingin, terutama di bagian dada, lengan, paha. Kulitnya bisa jelas dirasakan tengah diekspos. Leonxora nggak tahu dirinya mau dibawa kemana dan sedang dimana.
Clueless.
Berulang kali dia menggeliat di kursi karena dress yang dipakai kelewat pendek dan ketat. jangan ditanya seberapa takutnya dia, jelas sangat takut.
Ada banyak suara yang terdengar di telinga Leonxora. Musik-musik yang disetel kencang, orang-orang yang bicara keras, tawa, semuanya bercampur. Hingga ketakutannya mulai bertambah ketika..
"Ini produk barunya," suara tipe husky kembali muncul terdengar.
Itu Miller, ya itu Miller! Leonxora yakin itu. Bertahun-tahun hidup dalam asuhannya, gadis itu kenal betul suara khas Papa angkatnya tersebut. Tapi kenapa dia membawanya ke sini?
Miller terdengar lagi berbicara dengan orang lain, dan dari suaranya jelas itu pria juga.
Leonxora bergidik, seseorang baru saja mendaratkan jari di pahanya. Mengusapnya naik hingga terus sampai ke dagu dan berhenti di pipi. Besar keinginannya buat berontak, tapi ikatan di tangan dan pita di bibir bikin semuanya jadi sulit.
"Impressive," seseorang memberikan komentar. "She's pretty."
"Of course, dia mutiara dalam tiram. Bukan produk sembarangan, Jeje."
"Berapa harganya?"
Wait, price..?
Pupil Leonxora membola di balik kain penutup. Bibirnya kaku tertahan.
'Papa mau jual aku?... Kenapa?'
Ada rasa sakit yang menyebar seketika di dadanya. Orang yang seharusnya jadi tempat berlindung justru jadi pihak pertama yang sukarela membuatnya hina.
Leonxora menunduk. Di antara suara dua pria yang tertawa dan bernegosiasi, dia menangis.
'Mama.. help me,' isaknya dalam hati.
"60 ribu dollar. 40 ribu dollar di muka."
'No, no one can do this to me. Run, Sho-sho, run!'
Dengan kondisi serba terbatas, Leonxora bangkit dari sofa, nekat berlari sekencang mungkin.
"Bastrad! Leonxora!!"
Semuanya gelap, ikatan di tangan, bibir, juga mata membuatnya tidak bisa berteriak atau sekedar melihat. Leonxora berlari tak tentu arah, menghindar dari kejaran Miller dan centengnya di belakang yang terus meneriaki dia jalang.
Pasrah mengikuti kemana langkah kakinya membawa. Suasana klub sangat ramai, khususnya di periode awal musim semi. Nggak tau juga sudah berapa banyak orang yang Leonxora tabrak, yang ada di kepalanya sekarang ini cuma lari dan lari. Lari sejauh mungkin. Sekuat yang dia bisa.
Bam!
Langkahnya terhenti. Leonxora ambruk tersungkur membentur lantai setelah menabrak seseorang di depannya. Keduanya jatuh dengan tubuh Leon berada di atas sosok yang dia tabrak.
Dahi Leonxora lecet, sedikit darah mengalir dari sudut peilpis kiri. Masih dengan mata tertutup kain dan tangan terikat, Leonxora mencoba mengangkat wajahnya.
"H-help.. me.. p-please.. i—"
Gelap semakin pekat, Leonxora ambruk untuk kedua kalinya ke lantai, tak sadarkan diri.
'Apa ini.. waktunya aku nyusul Mama..?'
***
'Berita terkini, pelaku terduga kasus sindikat human trafficking, Miller Loufrens dini hari berhasil dibekuk di salah satu klub kawasan Manhattan bersama kedua rekannya.'
Suara anchor TV sayup-sayup menusuk pendengaran, menuntun gadis dengan plester di pelipis itu bangun. Membuka matanya secara bertahap.
Butuh 5 menit buat Leonxora untuk benar-benar ngeh kalau sekarang ini dia berada di kamar asing.
Cahaya matahari pagi yang menrobos dari jendela besar di samping kiri membuat gadis itu langsung menoleh. Tertegun.
Mungkin bisa dihitung jari berapa kali Leonxora mendapat hal-hal yang bagus dalam hidupnya. Satu contohnya, saat ini. Ketika dia bangun dan langsung dihadapkan dengan jendela yang terhubung ke taman botanical.
Hamparan rumput hijau yang segar, bunga-bunga matahari, aster, dan peony, juga kupu-kupu yang hilir mudik. Ah iya, jangan lupa dengan keberadaan green house-nya—rumah-rumahan kecil terbuat dari kaca, tempat dimana tanaman berfotosintesis.
Semuanya tertata, cantik.
"Ah, Nona sudah bangun? Selamat pagi, Nona."
Sedang terlarut menikmati pemandangan yang mungkin cuma bakal terjadi dalam satu kali seumur hidup, Leonxora langsung mengubah pandang begitu ada seseorang masuk menyapanya.
Pria di rentang usia menuju tua berdiri dengan setelan jas rapi, membungkuk memberi hormat. Leonxora makin bingung.
"Apa aku udah mati?" Leonxora menebar pandangannya lagi ke sekitar. "Jadi ini penampakan alam baka."
Pria itu terkikik, "Belum, Nona. Anda belum mati dan ini bukan alam baka."
'Jadi ini rumah orang, kira-kira punya siapa? Sopan nggak ya kalau aku tanya sekarang?' Leonxora mulai sibuk dengan pikirannya.
"Nona..? Nona, apa baik-baik aja?"
"Ung.. eh, iya? Ah iya-iya, baik," Leon tersadar dan mengulas senyum.
"Kalau begitu, Nona bisa mulai membersihkan diri. Kamar mandi ada di lorong kecil sudut kanan kamar, pakaian dan perlatan Nona sudah saya siapkan di atas meja. Begitu Nona selesai, Nona bisa langsung turun ke lantai dasar."
"Lantai dasar?"
"Betul, Nona sudah ditunggu Tuan untuk sarapan bersama."
'Tuan? Sarapan bersama? Tuan siapa?' gumanya.
"Apa ada pertanyaan lain, Nona?"
"Ung.. enggak, enggak. Terima kasih, Tuan."
"Panggil aku Kuroisho, Nona."
"O-of course, Kur-kuroisho."
***
Leonxora menapaki satu per satu anak tangga. Jumlahnya cukup banyak, mungkin ratusan. Rumah ini sangat besar. Jarak dari lantai dua ke lantai satu pun lumayan jauh.
Dress tutu warna lemon terlihat cocok di badan putih Leonxora. Rambutnya dikepang satu ke samping dengan poni yang dibiarkan menjuntai. Sambil memegangi sisi pegangan tangga, Leonxora menebar pandang ke segala penjuru ruang.
Rumah ini tersusun 4 lantai dengan interior yang mengingatkannya akan scene-scene dalam film Disney. Semuanya teratur rapi, classic, dan elegan.
Hanya satu hal yang dia harapkan saat ini, semoga dia nggak tersesat di rumah ini.
Dia berjalan sampai kemudian menemukan ruang makan yang juga nggak kalah cantik. Semuanya berlapis warna marmer putih dengan ukiran emas di beberapa detail sisi.
Ada satu meja besar—mirip meja jamuan kerajaan. Dan seseorang terlihat sudah menunggunya di sana, duduk tegap lurus di kursi utama dengan jas rapi warna navy dipadu kemeja kerah ruffle, merapatkan jari-jarinya di atas meja. Melihat ke depan, ke arah Leonxora yang masih berdiri di ambang pintu.
Wajahnya lurus, tanpa ekspresi apapun tertulis di sana. Membuat Leonxora ikut diam dan balik memandanginya.
Leonxora pelan-pelan mengingat kembali kejadian-kejadian yang dilaluinya semalam. Menyambung-nyambungkan semua kepingan ingatan yang terpencar.
'Apa dia orangnya? Yang aku tabrak sampe jatuh juga aku mintain tolong semalem?'
Antara dia nggak mengerti harus bagaiamana, juga karena aura pria itu yang kelewat mengintimidasi.
Leonxora kemudian menutup matanya sejenak dan menghela nafas. Dia kemudian membungkuk memberi hormat dengan malu-malu.
"S-selamat pagi."
'If that so.. then aku harus berterimakasih. He saved me. He's a hero.'
Pria itu lalu melirik satu kursi kosong, "Sit down."
Tanpa banyak bicara, Leonxora menurut dan langsung duduk di sana.
"You sleep well?" tanyanya.
Leonxora memandang pria itu, kedua pupilnya nampak cantik terpantul cahaya.
"Ung.. yes, Sir," dia mengangguk.
"Hanawa."
"Sir Hanawa.." sambung Leonxora melengkapi kalimatnya barusan.
Pria itu kelihatan sibuk mengupasi kulit-kulit apel dan Leonxora yang sibuk memperhatikan. Untuk beberapa saat mereka saling diam, hening.
Leonxora meremas telapak tangannya yang selalu terlapis sarung tangan satin hitam. Dia ingin mengungkapkan sesuatu semacam kalimat terimakasih atau sebagainya, tapi melihat aura Hanawa yang begitu dia jadi agak malu.
'Dia udah selamatin kamu, Sho-sho. Seenggaknya tunjukin sedikit hormat kamu.' Sisi lain diri Leonxora memprotesnya sendiri.
"Tuan.. Hanawa."
Masih dengan mata yang fokus mengupas kulit dilanjut memotong apel, tanpa melirik Leonxora sedikit pun, Hanawa cuma bergumam, "Hm?"
"Thanks."
Seketika Hanawa terdiam dan menghentikan kegiatan memotongnya.
"Tuan Hanawa udah selamatin saya. Dan saya nggak tau kalau misal malam itu yang saya tabrak bukan orang baik seperti Tuan Hanawa mungkin saya—"
"Orang baik?" Hanawa mengesampingkan piring berisi potongan apel dan mendecah.
Dia nggak tersenyum, melainkan cuma mengangkat satu sudut bibirnya naik. Catat itu, cuma mengangkat satu sudut.
"Do you think so?" Hanawa balik memandang Leonxora. Mengangkat satu alisnya naik.
Lagi-lagi, Leonxora nggak bisa menebak ekspresi apa itu. Senang kah? Tersanjung? Marah? Atau ekspresi yang menganggap omongan Leonxora ini omong kosong?
Wajah Hanawa benar-benar tanpa klu.
"Sure, Tuan selamatkan saya, dan itu salah satu contoh dari perbuatan baik. Ya kan?" Leonxora bicara dengan teori polosnya.
"Gimana kalau itu semua ada harganya?"
"Ah?"
Hanawa tertawa kecil, "Aku nggak secara sukarela menolong kamu. Ada harganya, semua yang ada di dunia ini berbayar, nggak gratis."
Leonxora terdiam sebentar, "Apa itu.. harganya? Saya pasti usahakan sebaik mungkin buat membalas jasa Tuan Hanawa. Apa Tuan mau saya masakin sesuatu? Aku cukup terampil masak, bisa bikin cake juga. Atau mau aku mainkan piano? Aku bisa alat musik khususnya piano," ujar Leonxora dengan sangat antusias.
Baginya nggak masalah kalau memang ini ada harganya. Toh jasa Hanawa juga lebih besar, dia pahlawan, untuk hidup Leonxora khususnya. Hanawa menjadi yang paling bersinar di mata Leon sejak saat itu juga.
Terhitung malam dimana dia menyelamatkan dirinya, di detik itu juga Leonxora mulai menyukai Hanawa.
Hanawa mendecah. Ia lalu bangkit dan pindah posisi duduk ke kursi sebelah Leonxora. Dia membawa serta sepiring potongan apel. Menusukkan garpu ke satu dadu apel lalu mencolekkannya ke krim.
"Eat," perintahnya pada Leonxora.
Leon langsung memakannya tanpa bertanya. Pipinya sedikit mengembung, penuh oleh apel. Dan krim yang kelihatan tersisa di bibir merah plum-nya.
"All you have to do is.. sign the contract."
"Kontrak?"
Hanawa berbisik, "Kontrak atas kepemilikan diri kamu," dia mendekatkan wajahnya.
"buat jadi kucing punyaku."
Cup!
Dijilatnya habis krim di bibir Leonxora yang sekaligus menjadi momen awal ciuman mereka.
-To Be Continued-