Bibir Leonxora bergetar. Dari setiap gerak-geriknya merespon, sudah jelas ini merupakan kecupan kali pertamanya. Hanawa membenamkan lidahnya dalam-dalam. menyapu sederet gigi gadis itu.
Menggigit bibir Leonxora secara ganas tiap kali bibir mereka saling bertabrakan. Nafas Leonxora mulai tersengal. Bibirnya agak membengkak. Beberapa sisi terlihat lecet akibat bekas gigitan, membuat bibir Leon makin jelas kelihatan merekah.
"S-sir.. Hanawa.. i-i need a breathe.." Leonxora tidak bisa lagi menahan lebih lama.
Secara otomatis langsung dilepas oleh Hanawa. Selang beberapa detik, pria itu kembali mendekat ke sisi lain wajah Leonxora. Menggoreskan sedikit ujung hidungnya di daun telinga Leon.
"This is just a beginning. And once, ketika kamu tandatangani kontraknya, akan ada banyak hal yang jauh lebih menegangkan dan menyakitkan daripada ini. But, I guarantee you, kamu pasti bakal menyukainya," bisik Hanawa.
Dia mengulas senyum kecil di akhir kalimat.
Membuat Leonxora tercenung, harus diakui dia memang syok dihadapkan dengan sedikit dari sisi lain Hanawa. Memintanya jadi 'kucing' peliharaan? Darimana ide stinting itu berasal?
Hanawa bahkan tidak memperlihatkan sedikit pun empati di wajahnya ketika permintaan itu keluar dari mulutnya. Wajahnya.. datar. Tidak ada jejak ekspresi sedikit pun yang ditinggalkan di sana.
'Tapi.. senyum kecil di akhir kalimatnya barusan, bagaimana bisa dia punya dua sosok yang beda di satu wajah?'
"But, why should be me.. Sir Hanawa?"
Hanawa bangkit dari kursi, menegakkan postur tubuhnya. "Cause I want you."
Pria itu mengulur satu lengannya pada Leonxora. "The contract is waiting for you, ayo."
'Gimana, Sho-sho? Iya atau enggak? Aku nggak tau, bingung.'
***
(Manhattan, awal musim gugur, 6 bulan sebelumnya)
Klub minum untuk tipikal orang seperti Hanawa bukan lagi masuk ke prioritas hiburan, melainkan rumah kedua. Mengurusi persoalan Reiji sekaligus hubungan internalnya sendiri dengan Hiroshi—Papanya menguras setidaknya 60 persen kewarasannya.
Tubuh tinggi Hanawa langsung menjadi pusat perhatian begitu berjalan masuk ke dalam bar. Jas hitam panjang sampai ke lutut memberikan kesan malaikat pencabut nyawa. Membungkam siapapun yang melihatnya untuk tidak berkutik selain melongo.
Auranya begitu kuat, memunculkan rasa segan bagi siapapun untuk mendekat. Wajahnya cerah tapi sayangnya hal sama tidak terjadi dengan latar belakang dan keluarganya.
"Red Sangria extra lemon?" bartender klub sudah hafal betul apa yang disukai Hanawa.
Membuat pria itu tinggal duduk manis dan mengulas senyum kecil. Dia mengeluarkan golden card membership ke atas meja yang langsung diterima oleh si bartender.
Tepuk tangan mulai terdengar begitu sajian live music dimulai. Seseorang terlihat berjalan ke atas panggung menggunakan gaun hitam dengan potongan punggung rendah. Hampir mengekspos keseluruhan punggung putihnya.
Dia langsung duduk di kursi pianis, meregangkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan hitam sebelum menyentuh tuts-tuts piano yang ada di depan. Rambutnya panjang diikat satu dengan poni depan dibiarkan menjuntai menutupi sebagian wajah.
Aura gadis itu berubah begitu jari-jarinya mulai memainkan 'Four Seasons'—nya Antonio Vivaldi. Tidak ada keraguan, tidak ada ekspresi malu-malu sebagaimana dia naik dan berjalan ke tengah panggung. Ia menyatu dengan musiknya, masuk, tenggelam di dalamnya.
"Namanya Leonxora, dia pianis baru di sini. Dia mungkin masih sangat muda dan tampak lemah dari luar, tapi kemampuannya bermain piano lebih ganas dari kelihatannya. Senior bahkan nggak ada yang bisa mencapai levelnya," ujar si bartender sambil menyajikan Red Sangria punya Hanawa.
"Sejak kapan dia bermain di sini?"
"Sejak dua hari yang lalu."
"Begitu," Hanawa mengangguk kecil.
Hanawa kembali memperhatikan pertunjukan Four Seasons. Bertengger dagu sembari sesekali mencicipi Red Sangria.
'Ding!'
Tepat di tengah-tengah chorus, gadis itu menjentikkan satu tuts dengan nyaring dan berhenti. Wajahnya terangkat ke atas. Sekarang, Hanawa bisa melihat sedikit jelas rupa yang sejak tadi tertutup poni panjang.
Hidungnya berdarah, gadis itu mimisan.
Hanawa merogoh satu saput tangan di saku jasnya. Dia lalu berjalan ke arah panggung.
"Here," dia mengulurkan saput tangan untuk si gadis pianis.
***
"Jadi Sir Hanawa si pria saput tangan itu? Yes, yes, aku ingat!" Leonxora mendadak melonjak kegirangan di kursinya.
Pantas wajah Hanawa serasa tidak begitu asing buatnya, karena mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya.
"Tanpa kamu sebut kamu bisa main piano pun aku udah tau."
Leonxora langsung tersipu malu, dia menunduk sambil tertawa kecil. "Sorry.. aku nggak mengenali Sir Hanawa sejak awal."
"No problem."
Hanawa mengubah posisi duduknya. Matanya kembali tertuju pada lembar kontrak yang sudah dicetak khusus oleh jenis kertas yang hanya dimiliki Hanawa.
"Apa kamu punya pertanyaan sebelum aku jelaskan kontraknya?"
"Iya."
"Apa?"
"Aku nggak mengerti konotasi kucing peliharaan di sini.. m-maaf, Sir Hanawa."
Lagi, Hanawa menarik satu sudut bibirnya naik. Kali ini dia tidak diam di tempat, pria itu bangkit dan duduk di pinggiran meja tepat depan Leonxora.
Tangannya menggamit dagu Leonxora, membuatnya menengadah supaya dia bisa leluasa melihat ekspresi gadis itu.
"First, call me Master."
"Master."
"Good. Dalam Bahasa Jepang, neko artinya kucing. Dan kamu tau apa yang dilakukan seekor kucing?" ibu jarinya menyapu bibir plump Leon yang masih merah dan lecet.
"No, Master," Leonxora menggeleng.
Hanawa mendekatkan wajahnya ke sela-sela leher Leonxora. Mensejajarkan wajahnya dengan daun telinga Leon. "Menyenangkan tuannya," bisik Hanawa.
Kedua pupil Leonxora membola. Seketika dia langsung menoleh, menatap Hanawa di sampingnya.
"Menyenangkan tuannya?"
Hanawa mengangguk, "Be a good pet, and I'll grand you everything." Ia menyeringai di akhir kalimat.
"It means, bukannya sama aja kamu menyakiti aku kalau begitu?"
"It's your choice. Semakin banyak kamu melanggar semakin banyak rasa sakit yang akan datang. But, the more you obey me dan jadi kucing yang baik, the more you will get anything you want. Easy right?"
"Apa keuntungan yang bakal aku terima?"
"Fasilitas, uang, branded stuff, anything you want."
Leonxora diam sejenak. Tawaran ini memang terdengar sinting dan sangat tidak manusiawi, tapi bukan juga berarti tidak bagus 'kan?
'Lagipula, aku suka Sir Hanawa. Dari awal dia kasih saput tangan waktu mimisan sampai menyelamatkan aku dari Miller tadi malam. Dengan begini, aku jadi bisa ketemu Sir Hanawa tiap hari, ya kan?' Leon bicara dengan hatinya sendiri.
"Sir.."
"Hm?"
"Since you said aku boleh minta apapun yang aku mau, boleh aku minta kencan khusus atau pergi nonton film setiap seminggu sekali.. denganmu?"
Deg!
"No."
Belum usai Leonxora meminta, jawaban 'tidak' sudah jelas langsung keluar dari mulut Hanawa.
"But, why?"
"Cause you're only a pet to me, maka kamu harus tau batasanmu dimana."
"But, it's unfair," Leonxora menunduk, dia terus meremasi kedua telapak tangannya. Dia mungkin sedikit nervous dan juga takut, tapi dia juga tidak mau kehilangan kesempatan ini.
Masih dengan menunduk, Leonxora tidak berani mengangkat wajah dan melihat Hanawa, "K-kamu bilang aku bebas minta apapun yang aku mau. T-then.. that's it, t-that's what I want, Sir.." suaranya semakin mengecil di akhir kalimat.
Hanawa menegakkan tubuhnya, memandang penuh pertimbangan ke depan. Matanya lurus, jelas dia tengah berpikir.
"Dengan satu syarat," dia akhirnya bicara.
Leonxora seketika mengangkat wajahnya, ada harapan tersirat di kilap matanya.
"You can't fall in love with me."
-To Be Continued-