"Gimana, dia masih nggak mau makan?" Hanawa menolehkan kepala begitu Kuroisho masuk kembali ke ruang makan setelah diperintahkan melongok Leonxora di kamarnya.
Kuroisho menggeleng, "Nona Leonxora bahkan nggak membuka pintu kamarnya. Nona cuma bilang kalau dia sedang tidak ingin diganggu dan minta untuk ditinggal sendirian."
Hanawa belum menyentuh sedikit pun makanannya. Sejak tadi pria itu cuma mengiris-iris smoked lamb di piringnya menjadi potongan kecil tapi tidak dimakan. Dicicipi sedikit pun tidak.
"Well, clean the table up," Hanawa berdiri, beranjak dari kursi makan.
"Tapi bagaimana dengan makan malamnya, Tuan? Anda belum makan sedikit pun sejak sore," Kuroisho memperhatikan punggung Hanawa yang kini berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua.
"Aku lagi nggak selera, nggak tau kalau nanti."
'Hands off!'
Teriakan Leonxora saat Hanawa membuka kain satin yang menutup matanya di ruang piano tadi masih terdengar memekakkan telinganya. Gadis itu lari meninggalkan ruangan dengan kimono dan rambut berantakan. Seolah Hanawa akan memakannya hidup-hidup.
"Disgusting.." decahnya.
Mengingat kembali bagaimana Hanawa tertohok melihat Leonxora diam-diam menangis membuatnya jadi merasa risih dan terganggu.
***
Tok.. tok!
Masih membenamkan wajahnya di dalam bantal, sejenak tangisan Leonxora terinterupsi dengan suara ketukan pintu. Gadis itu mendengus, bibirnya melengkung tanda tidak suka.
"Aku udah bilang aku nggak mau makan! Jangan tanya lagi, capek tau aku jawabnya, dari tadi kalian bolak-balik nanya hal yang sama sampe sepuluh kali," protesnya.
"It's me."
Deg!
Tangis yang menggenang seketika tertahan sebagaimana Leonxora melebarkan kelopak matanya. Iya, telinganya tidak salah dengar, itu suara Hanawa. Dia ada di depan pintu kamarnya.
"Boleh aku masuk?"
Leonxora menyeka tangis seadanya menggunakan bantal, "P-pintunya nggak dikunci."
Suara handle pintu berderit diikuti derap langkah kaki yang berbenturan dengan lantai linoleum. Figur Hanawa muncul di ambang pintu. Tubuhnya yang tinggi membuat Hanawa sedikit kelihatan seperti algojo.
Dia berjalan mendekat selepas menutup kembali pintu kamar dan mengambil posisi duduk di pinggiran ranjang.
Leonxora merapatkan masing-masing kerah kimononya yang masih belum terikat dengan benar. Membungkus kembali badannya.
"Percuma, aku juga udah liat," sindir Hanawa.
Leon diam. Bibirnya masih enggan bicara, isi pikirannya masih campur aduk.
Hanawa maju, mempersempit jarak antara wajah mereka berdua. Menggamit ujung dagu Leon dan mengangkatnya, matanya tertuju langsung pada permukaan bibir gadis itu.
Dari sudut ini, Leonxora bisa dengan jelas mendapatkan angle wajah Hanawa sepenuhnya.
'Even tho setelah di ruang piano tadi, aku nggak bener-bener membencinya dan aku nggak tau kenapa.' Leonxora larut memandangi hanawa.
Menjadikannya sebagai kompensasi setelah tadi untuk beberapa menit matanya ditutup kain.
Selepas menyapukan ibu jarinya di sana, Hanawa lalu bangkit dari sisi ranjang. Dia berdiri sambil mengulur satu lengan kanannya pada Leon, "Come on."
Leonxora menengadah, tentu gadis itu bingung. "Ah? Mau kemana?"
"Obati lukanya."
Leonxora diam lagi. Dia benar-benar tidak mengerti sebenarnya ada berapa banyak kepribadian seorang Hanawa? Dia monster tanpa wajah di menit sebelumnya, kenapa bisa secepat itu bertransisi jadi sosok manis?
"Aku hitung sampai 3 kalau kamu masih diam kugandakan hukumannya. Satu, dua—"
"Tunggu," Leonxora merapikan kimono dan mengikatnya dengan benar sebelum kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Hanawa lalu berdiri, mengekor langkahnya.
***
"Open it," perintah Hanawa. Pria itu meminta Leon untuk membuka ikatan kimono serta melebarkan bagian kerahnya.
Masih menempatkan kedua tangannya rapat-rapat di depan dada, Leonxora ragu-ragu. Alisnya berkerut disertai bibir yang melengkung.
"Aku lagi nggak minat minum susu."
"Sir Hanawa!" muka Leonxora dua kali lipat langsung memerah.
"Apa?"
Leonxora membuang pandangan ke samping, mendecah kecil. "Nggak bermoral,"
"Kamu mau terus defensif sampe aku yang buka sendiri kimononya?"
"..N-no, biar aku yang buka sendiri."
Pelan-pelan, Leonxora menarik tali pengikat di pinggangnya. Membuka simpul dan mengendurkan kerah kimono punyanya lebar-lebar. Mengekspos dadanya yang dipenuhi bekas luka gigitan ulah Hanawa tadi.
Kening Leonxora berkerut menahan pedih ketika jari hanawa mulai mengoleskan salep penghilang bekas luka di beberapa spot dadanya. Bibirnya sengaja ia bekap dengan telapak tangan sendiri.
Di sela-sela pengobatan, fokus pandangan Leonxora tertuju pada Hanawa yang berlutut di hadapannya. Wajahnya nampak serius mengoleskan salep pada satu per satu luka di dada Leonxora.
'Apa ini ada dalam kontrak? Seingetku 'seekor kucing' nggak boleh duduk di kursi sementara Tuannya berlutut.'
"Sir Hanawa."
"Hm?"
"Why did you help me?"
Diangkatnya kepala yang sedang serius mengobati luka-luka itu hingga pandangannya beradu dengan Leonxora. "Your tears."
"Tangisanku?"
"Yes, mengganggu," jawab Hanawa singkat. Pria itu kembali lagi fokus mengolesi luka-luka.
Menyisakan senyum kecil yang terkembang di bibir Leonxora.
"Selesai dari sini, kita makan."
"Nggak mau, aku nggak lapar."
'Growlll…'
Malangnya Leonxora, perutnya justru mengkhianati dirinya sendiri. Membuat Hanawa menatapnya dan langsung menghentikan pengobatan. Mengikat kembali tali kimono Leonxora lalu berdiri menarik tangannya, menyeretnya menuju ruang makan.
"Sir Hanawa.. Sir, aku nggak lapar, serius aku nggak lapar," celoteh Leonxora.
"Omong kosong."
***
Senyum terkembang lebar di wajah Kuroisho ketika menambahkan kembali daging lamb ke piring Leonxora. Usianya yang sudah memasuki setengah abad memunculkan wrinkle-wrinkle kecil di wajah tiap kali dia mengulas senyum.
"Tambah lagi lamb di piringnya, Kuroisho," perintah Hanawa.
Kuroisho mengangguk dengan senang hati, "Baik, Tuan."
Sementara Leonxora sedikit merengut malu-malu, karena memang benar dia masih mau lagi hanya saja takut untuk meminta.
"Nona nggak perlu sungkan kalau mau tambah potongannya lagi, Nona bisa makan sebanyak yang Nona mau," ucap Kuroisho.
Leonxora terdiam sejenak.
'Sho-so nggak perlu sungkan kalau mau katsudon lagi, Mama masak banyak, banyak banget. Sho-so bisa makan sebanyak yang Sho-so mau sampai pipi Sho-so gemuk hihi.'
Angin kecil berdesir pelan. Mendiang Mamanya seketika hadir melintas di benak Leonxora. Mengucapkan kalimat yang sama persis.
Alih-alih melanjutkan makannya, Leonxora justru merenung. Senyum kecil tertarik di sudut bibir diikuti tangis yang bergulir pelan.
'Ma.. it's been 9 years aku baru denger lagi kalimat itu. Even tho diucapkan oleh orang lain.'
Seakan baru sadar dan tertarik kembali ke dunia saat ini, Leonxora lantas mengangkat wajah, menyeka tangis kecilnya dan melempar senyum pada Kuroisho. "Sure, aku pasti tambah lagi," ucapnya.
'She cried again,' gumam Hanawa yang diam-diam memperhatikan dari kursinya.
***
Hanawa menyeka bibirnya dengan napkin begitu dia sudah menyelesaikan makan malam. Ia lantas berdiri dari kursi bersiap menuju kamarnya di lantai 3.
"Sir Hanawa," seruan Leonxora menghentikan langkahnya, ia kemudian menoleh.
"Hm?"
"Good night," ucap Leonxora.
Hanawa yang sudah menapaki sekiranya 4 undakan anak tangga lalu kembali turun ke lantai dasar. Mendekati Leonxora.
Ditempelkannya telapak tangan Hanawa ke puncak kepala Leonxora, menepuknya lembut, "Good night," balasnya lalu kembali melanjutkan langkah menapaki tangga.
-To Be Continued-