"Master Hanawa, good morning!" Leonxora yang sedang sibuk mengunyah omu-rice seketika mengesampingkan sendok, mengulur tangan ke udara dan melambai.
Senyum lebar terkembang di wajah Leon begitu melihat Hanawa menuruni anak tangga. Dia begitu rapi dengan kemeja berkerah ruffle warna putih.
Hanawa hanya sedikit menoleh, melirik Leon sekilas lalu lanjut berjalan menuju pintu keluar. Tidak ada senyum, anggukan, atau ucapan balasan.
Senyum Leonxora memudar sedikit demi sedikit. "Apa aku bikin kesalahan?" dia bertanya pada diri sendiri. Sisi lain dirinya merasa bingung.
"Tuan Hanawa kedatangan tamu investor pagi ini, jadi dia sedikit terburu-buru," Kuroisho masuk ke ruang makan, menyajikan beberapa pudding purin untuk cuci mulut.
Kedatangannya seakan menjawab pertanyaan Leonxora.
Bibir Leonxora membulat, dia mengangguk, "Ho.. begitu."
"Juga Tuan Hanawa nggak akan berinteraksi dengan Nona dulu sampai luka-luka di badan Nona sepenuhnya pulih," sambung Kuroisho.
Leonxora menundukkan sedikit kepalanya, dia tidak tahu apa ini informasi yang harus membuatnya bahagia atau justru sedih.
***
"Cantik," komentar seorang asisten Hanawa pada Leonxora.
Kesehariannya, dia merupakan seorang Professional Make Up Artist. Ruei, semua staf dan penghuni kediaman Hanawa memanggilnya begitu. Pria dengan perawakan tinggi, rambut sebahu, dan berkepribadian super lembut. Hampir 11-12 dengan wanita, tapi sepertinya Ruei lebih lembut. Dibandingkan tampan, Ruei lebih cocok disebut manis.
Leonxora yang masih duduk dan baru saja usai dirias lalu menoleh, "Ung.. terima kasih, R-ruei. Ini juga berkat bantuanmu," ucapnya. Leon tersenyum malu-malu.
Setelah satu minggu terhitung masa pemulihan dirinya tidak berinteraksi dengan Hanawa, hari ini Leonxora kembali mendapat perintah. Leon juga tidak tahu pasti, yang jelas dia diminta untuk menemui Hanawa di Skycastle.
Skycastle sendiri merupakan puncak lantai 4 dari rumah ini. Leonxora juga penasaran mengapa tempat itu dinamakan demikian. Apa karena posisinya di lantai puncak?
Ketika dia mau bertanya lebih lanjut, di saat itu juga tidak lama berselang Ruei sudah datang dengan peralatan make up juga tiga buah dress. Dia mendandani Leonxora dengan sangat teliti.
Ruei mengulas senyum, dia mendekat. Disentuhnya ujung dagu Leonxora yang kemudian ia angkat pelan, "Ada beberapa tipikal cantik yang nggak bisa didapat hanya dengan sapuan kuas bedak, salah satunya tipikal cantik punyamu.
"Beauty comes from inside, that's it. Also, pertahankan senyum manis ini, gadis cantik nggak layak untuk murung," Ruei mengedipkan satu matanya.
Kata-kata Ruei rasanya jadi hiburan kecil bagi Leon.
"Tuan Hanawa pasti akan suka," sambung Ruei.
***
Sosok Hanawa muncul begitu kedua sisi pintu dengan ukuran kusen yang tinggi dibuka oleh Kuroisho dan satu pelayan lainnya.
"Tuan sudah menunggu Nona di dalam, silahkan," ucap Kuroisho.
Leonxora membungkuk kecil, "Terima kasih, Kuroisho."
Gadis itu lalu berjalan masuk dan pintu ditutup rapat. Badan mungil Leonxora terlihat pas dengan dress malam berpotongan dada rendah. Ukuran asetnya yang ideal—tidak begitu besar, tidak juga kelewat kecil, terlihat pas dari berbagai sisi.
Hanawa duduk di tepian ranjang, beberapa kancing kemejanya dilepas. Pria itu menyeringai kecil. "Come."
Leonxora mendekat, gadis itu duduk di atas pangkuan Hanawa sesuai perintah yang diminta tuannya. Membiarkan Hanawa mencium helai-helai rambutnya. Aroma bunga ceri nan manis menghilir.
Badan Leon bergidik tiap kali ujung hidung Hanawa bergesekan dengan permukaan lehernya. Meskipun ini bukan kali pertama Hanawa menyentuhnya di titik tersebut, tapi dia tetap gugup. Leonxora sedikit memundurkan kepalanya, berusaha menciptakan batas. Dan tentu saja, mustahil.
Semakin Leon mundur, semakin juga Hanawa maju. Mengambil momen tersebut untuk menempelkan bibirnya dan mencium leher Leonxora kuat-kuat.
"Master!" Leonxora menengadahkan wajah ke atas.
Dahinya berkerut menahan sakit. Hanawa tidak lagi menciumnya, tapi menggigit.
"I-it's hurt!" rengek Leonxora.
Bertepatan gadis itu mulai merengek, Hanawa berhenti. Pria itu menyapukan ibu jari pada bibirnya sendiri yang terlihat basah begitu lepas. Senyum terkembang puas begitu melihat jejak-jejak kemerahan hasil karyanya di leher Leonxora.
Ujung telunjuk Hanawa kembali disentuhkan pada leher Leon, menariknya turun mengikuti lekuk leher, melewati dada, membuat Leonxora meringsek dari pangkuan akibat geli.
"Your body just like a whole clean canvas.. need some color to put on.." bisik Hanawa. Pria itu menghentikan jemarinya di ujung aset Leonxora. Memutarnya searah jarum jam.
Kedua pupil Leon membola. Buru-buru ia mengemam bibirnya sendiri sebelum hal memalukan terdengar dari mulutnya.
Hanawa terkikik kecil. "Why? You don't like it?" pria itu bertanya. Tapi tangan, jemari, masih berkutat di sana dan justru makin menekannya.
'A-aku nggak tau.. aku nggak tau.. aku nggak tau.. everytime you touch me it's like..'
"Master!" Hanawa membuat Leonxora memekik lebih kencang lagi dengan mencubit titik sensitifnya keras.
Hanawa menempelkan wajahnya ke dada Leonxora, mendongakkan sedikit kepalanya sehingga dia bisa melihat rupa Leon dari perspektif bawah. "Yes, Sho-so?"
Deg!
'H-how.. did he know that name..?'
Leonxora tertegun. Tidak, tidak, dia dan Hanawa baru bertemu, kecil kemungkinan pria itu untuk mengetahui nama masa kecilnya. Tapi.. lalu itu apa?
"Cukup dengan warming up-nya, it's time for the real game," Hanawa langsung menjatuhkan badan Leonxora ke ranjang dan menindihnya. Ia menyambar sehelai pita satin warna merah dan melilitkannya ke tangan Leonxora.
Dalam posisi demikian, ruang gerak gadis itu menjadi terbatas. Satu-persatu Hanawa mengentaskan dress malam Leon. Leonxora sedikit berontak, dia gugup, takut, dan tidak yakin.
"P-please.. d-do it s-slowly.. Master, do it ss-slow—hngg…" kalimatnya seketika tertahan, kepalanya menengadah ke atas seiringnya Hanawa menghentakkan tubuhnya ke depan.
Tangis meluber dari pelupuk mata Leonxora.
'Ini nggak menyenangkan.. sama sekali nggak! Cerita-cerita itu bohong!'
"S-stop.. it's hurt.. it's hurt.." Leonxora merenghik. "I-i don't like this.. it's hurt.. it's hurt.. it's—"
Leonxora tidak bisa berkata banyak lagi begitu kedua tangan Hanawa menangkup pipinya dan menyegel bibir gadis itu dengan ciuman.
***
Selepas menyelesaikan beberapa batang rokoknya di teras balkon, Hanawa kembali masuk ke dalam Skycastle. Dia membenarkan bagian kerah kimono tidurnya yang sedikit tersingkap karena angin.
Di depannya, Leonxora sudah lelap tertidur di atas ranjang. Matanya kelihatan sembab dan bengkak, dia terus menangis sepanjang malam setelah kali pertamanya diambil Hanawa.
Hanawa duduk di tepian ranjang, mengesah kecil. "Tck.. padahal aku melakukannya cuma satu kali dan reaksinya sedemikian emosional," usapan kecil ia berikan di puncak kepala Leon.
Gadis itu meringkuk dengan tubuh setengah telanjang, sebagian wajahnya tertutup rambut yang kemudian disingkap oleh Hanawa.
Jemari Hanawa bergerak menelusuri permukaan kulit Leonxora. Rasanya lembut. Dia memperhatikan bekas-bekas kemerahan yang tersebar di sana.
'Why there's a different feeling every time I see you?'
-To Be Continued-