Chereads / If You Hate Me So / Chapter 3 - Something In Piano’s Room

Chapter 3 - Something In Piano’s Room

"You can't fall in love with me"

Kalimat terakhir yang diucap Hanawa menggantung baik-baik di dalam kepala Leonxora. Gadis yang sekarang ini sedang berendam di bath-up seusai menandatangani kontrak, meringkuk merapatkan kedua kakinya. Dagunya ia sandarkan di atas lutut.

"Nggak boleh jatuh cinta padanya? Gimana caranya? Meanwhile I already fall in love with him.." Leon bergeming.

Leonxora mengalihkan wajahnya ke bawah. Memandangi refleksi dirinya yang polos di permukaan air.

"If I can't fall in love with you, then can I make you fall in love with me, Sir Hanawa?"

Gadis itu berkedip beberapa kali ketika air dari shower kembali mengguyur keseluruhan kepalanya. Dia merenung sejenak lalu kemudian mengulas senyum. "Sure, why not?"

"Di kontrak tertulis 6 bulan, it means aku masih punya jangka waktu 6 bulan buat deket sama Sir Hanawa dan who knows dalam 6 bulan itu Sir Hanawa mengubah prinsipnya, then maybe fall in love with me,

"Kalau itu bener terjadi, what a beautiful scene."

***

Dalam langkah hati-hati, Leonxora mengekor mengikuti arahan kuroisho di depannya. Sore ini, Hanawa memberi Leon sebuah kimono berwarna merah muda dengan motif bunga ceri kecil-kecil.

Bukan cuma kimono, Hanawa juga memberikan satu buah parfum dengan aroma yang sama, khas bunga ceri ketika mekar di musim semi yang mana sudah ditentukan harus disemprotkan di bagian titik mana saja pada tubuh Leonxora.

"Lewat sini, Nona," ucap Kuroisho.

Rambut Leonxora sengaja digerai bebas, sesuai dengan permintaan Hanawa. Ini kali pertamanya dia mengenakan kimono begitu, maka dari itu Leon sangat hati-hati, dia tidak ingin salah ambil langkah lalu terpleset dan membuat kimononya robek.

Sebelum menyuruhnya mandi, Hanawa berpesan kalau dia ingin menemui Leonxora di ruang piano petang ini. Sesuatu yang saat ini ada di benak Leonxora cuma satu, kenapa disebut ruang piano, apa isinya cuma piano?

Tok.. tok!

"Tuan, Nona Leonxora sudah tiba," ujar Kuroisho begitu mereka sampai di depan pintu ruang piano.

"Come in."

Pintu otomatis terbuka dengan sendirinya begitu sudah mendapat intruksi dari Hanawa sendiri. Memperlihatkan satu ruangan berukuran luas yang kental akan nuansa putih keemasan. Dan ya, sesuai namanya, ada satu piano klasik warna putih di sudut.

"Terimakasih, Kuroisho," Leonxora membungkuk memberi hormat sebelum dia melangkah masuk.

Hanawa sudah duduk di kursi piano memakai serta kimono berwarna hitam. Warna hitam sepertinya memang signature color seorang Hanawa. Aura pria itu sangat berbeda ketika memakai sesuatu berwarna hitam. Kombinasi antara penuh kontrol, sulit ditebak, juga deadly silent.

"Selamat sore.. Master." Suara Leon sedikit bergetar, sorot mata Hanawa mengintimidasinya bukan main.

Hanawa mengangguk kecil, dia sangat pintar mengelola ekspresi sehingga raut wajahnya benar-benar tidak menunjukkan apapun selain diam.

Hanawa menepukkan tangan ke pahanya, "Come."

Leonxora diam sejenak.

'Maksudnya dia minta aku duduk di pangkuannya..? begitu?'

Pipinya seketika berubah jadi merah. Dia berjalan mendekat dengan kaki sedikit gemetar. Sesuai dengan permintaan Hanawa, Leon langsung duduk di pangkuan pria itu.

Hanawa mengulur satu lengannya pada Leonxora, "Tanganmu," ucapnya.

Leon meletakkan tangannya yang kali ini terbungkus sarung tangan merah muda di atas telapak tangan Hanawa. Ditariknya gadis itu agar lebih mendekat.

"Kamu pakai parfumnya?"

"Yes, Master."

Kepala Leon kini sudah berada satu sentimeter di depan ujung hidung Hanawa. Membiarkan pria itu mengendus dan mencium wangi bunga ceri di rambutnya. Hanawa sudah mengatur parfum itu harus dibaurkan di titik-titik yang sudah ditentukan. Area rambut, lekuk leher, pundak, dan tungkai kaki.

"Good girl."

Masih dengan memangku badan Leon di pangkuan, Hanawa mengulur satu tangannya ke meja di samping kanan. Menarik satu laci kecil di baris kedua. Mengambil sebuah kain satin warna hitam.

"Is there something you wanna say sebelum aku mulai?"

'Banyak, tapi aku nggak tau hal mana dulu yang harus dikatakan.' Gumam Leonxora dalam diam.

Leon menggeleng.

Hanawa lebih mendekatkan lagi wajahnya, menempelkan ujung dagu di pundak Leonxora. "Hari ini, kita akan main games piano."

"Games piano?"

***

Leonxora menengadahkan wajah ke atas, jemarinya bergetar. Tuts yang seharusnya berdenting membentuk harmoni musik Mozart terdengar meleset begitu hanawa yang memangkunya menyelinapkan jari ke dalam kimono milik Leon. Memelintir bagian ujung sensitifnya cukup keras.

Seutas kain satin hitam melintang menutupi kedua mata Leonxora. Satu-satunya yang ia gunakan saat ini hanya intuisi dan instingnya sendiri.

"I saw a lot pertunjukkan piano kamu di bar. It's impressive karena satu gadis malu-malu ini berubah jadi ganas ketika dihadapkan dengan permainan piano,

"So now, show me some great performance, girl.." Hanawa menambah intensitas tekanan jarinya.

"Sir Hanawa!"

Memberikannya efek nyeri, Leonxora menjerit sejadi-jadinya. Badanya melonjak dari pangkuan Hanawa.

"Stay!" seru Hanawa. Satu telapak tangannya berpindah, membekap bibir Leonxora kuat-kuat.

Menyelipkan dua buah jemarinya ke dalam mulut Leonxora. Mempersulit gadis itu untuk meraung ataupun menjerit. Mengubahnya menjadi desau-desau pelan tertahan.

"Fokus ke musiknya, if you fail there's a punishment, remember?" bisik Hanawa.

'It's crazy.. crazy..'

"You got it? Anggukan kepala kalau itu iya."

Leonxora mengangguk. Badannya masih bergetar, antara menahan sakit dan konsenterasi dengan tuts piano, Leonxora berusaha keras untuk menyelesaikan musiknya sampai akhir.

"Good girl."

Hanawa mulai menarik kerah kimono Leon, menariknya turun sampai kedua pundak gadis itu terekspos jelas. Menanggalkan satu per satu sabuk pengikat kimono pada pinggang, menurunkan setengah pakaian itu.

Dari arah samping, Hanawa merendahkan posisi kepalanya. Menyentuhkan ujung lidahnya pada satu asset di dada Leonxora, mengecupnya kuat-kuat.

Permainan tuts piano Leonxora semakin liar. Jemarinya berpindah, menari dengan cepat seiringnya Hanawa menyentuh setiap sisi inci tubuhnya. Pandangan yang tertutup gelap, rasa sakit, takut, pikiran menebak-nebak mengenai apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya, hingga konsentrasi pada partitur musik piano menciptakan satu adrenalin yang sukses mencabik-cabik nalarnya.

Menghadirkan irama detukan jantung yang jauh lebih cepat dari biasanya dan rasa merinding yang sangat asing. Rasa merinding yang jauh berbeda dari momen saat pertama kali Leon melakukan pertunjukkan piano pertamanya.

'What kind of these feeling? It really… strange.'

Ada rasa sedikit kecewa pada Leon mengingat ia tidak bisa secara jelas melihat sosok wajah hanawa. Dimana ia sudah sangat menunggu untuk melihat bagaimana kharismatiknya pria itu dalam kimono hitam panjang. Meskipun wajahnya datar tanpa empati, tapi di beberapa kesempatan entah bagaimana wajah hanawa membuat sisi lain hati Leonxora jadi hangat.

Leonxora mulai terengah-engah. Menggigit kuat-kuat jari-jari Hanawa yang dimasukkan ke dalam mulutnya setiap kali rasa nyeri itu menyerang.

'Cepat selesai.. cepat selesai.. aku mau ini cepat selesai.. aku nggak suka.'

Tangis mulai berderai pelan. Perasaan Leon campur aduk saat ini. Air mata mulai merembes ke perumkaan kain satin. Beberapa di antaranya mengalir pelan lewat celah sekitar hidung.

'Selesaikan, Sho-so. Cepat selesaikan..' Leonxora mensupport dirinya sendiri dalam tangis.

'Ting..'

Jemari Leonxora mendetingkan satu tuts piano terakhir. Ia sampai pada bagian akhir lagu, Leonxora menyelesaikannya. Dan di saat bersamaan Hanawa menghentikan aktivitasnya.

"Good girl," senyum terkembang di wajah pria itu.

Nafas Leonxora masih memburu, dadanya naik turun, ia terengah-engah. Dengan posisi badan setengah telanjang, gadis itu lalu menundukkan kepalanya ke bawah.

Hanawa menggeser sedikit badan Leonxora, mendudukannya di kursi. Dia kemudian bangkit berdiri, melepaskan ikatan kain satin di wajah Leonxora. Menggamit dagunya, mengangkat wajah yang tertunduk itu pelan-pelan.

Leon yang masih menangis memilih untuk tetap menunduk, menghindar dari hanawa.

"I ask you to look at me," ucap Hanawa.

Hanawa mengangkat sekali lagi wajah Leonxora dan sedikit tertohok menemukan sklera mata gadis itu sudah memerah dengan air menggenang di sana. Matanya terlihat mengkilap terpantul cahaya lampu.

'Did she… cry?'

-To Be Continued-