Sebulan setelah lulus sekolah aku sudah mendapatkan pekerjaan yang menurut ku cukup bagus sebagai pemula. Menurutku itu suatu keberuntungan yang aku miliki, untuk dapat bekerja di lembaga keuangan milik swasta. Meskipun bukan perusahaan besar, tapi untuk sekelas lulusan sekolah SMK yang baru lulus itu sudah seperti rejeki nomplok, karena banyak teman-temanku yang ingin mendapatkan pekerjaan namun belum mendapatkannya. Tak sedikit pula teman-temanku yang melanjutkan pendidikannya. Aku terkadang merasa iri pada mereka yang melanjutkan pendidikannya.
Hari pertama aku bekerja, serasa nervous sekali. Aku seperti orang bodoh yang bingung harus ngapain. Selama tiga hari berturut-turut aku belajar tentang seluk-beluk perusahaan mulai sejarah sampai aturan perusahaan,dan terutama job description yang menjadi tugas ku . Di kantor ada senior yang sepertinya menguji kemampuanku. Berkas yang seharusnya segera diselesaikan tiba-tiba saja menghilang. Awalnya aku merasa itu sengaja disembunyikan, tapi aku mencoba berpikir positif dan berusaha bertanggungjawab terhadap berkas tersebut. Aku bingung dan harus cerita dengan siapa saat itu. Beruntungnya kepala bagianku menyadari kebingungan ku, dan dia memberiku saran dan juga menyemangati ku. Namun, setelah beberapa hari ternyata berkas itu sudah selesai dikerjakan. Saat itu aku menyadari kalau seniorku sedang menguji ku. Tak hanya seniorku saja, manajer perusahaan juga seolah-olah menguji mentalku. Aku diberi beberapa pertanyaan tentang tugasku, mungkin itu terlihat seperti biasa namun bagiku itu hal pertamaku karena harus menjawab pertanyaan manajer di depan staff lainnya yang saat itu memperhatikan ku.
Hari-hariku di perusahaan dalam tiga bulan pertama sungguh berat. Terkadang aku marah tak jelas pada Agus untuk meluapkan emosiku karena penat dengan keadaan di kantor. Aku mengirim pesan curhat tentang kekesalanku di kantor. Dia hanya bisa memaklumi ku karena ini pertama aku bekerja.
"Yang sabar, " pesannya untuk ku.
"Kayaknya aku mau resign aja, aku tak sanggup. Tugasku banyak banget, belum lagi permintaan dari orang atas. Yang satu belum selesai sudah minta laporan lain. Capek aku. " aku mengeluh pada Agus.
"Kalau kamu berhenti sekarang, percuma dong tiga bulan yang kamu lalui itu" katanya menyemangati ku.
"Iya,ya.. Rugi tiga bulan dong. Lagian aku sudah terlanjur tanda tangan kontrak. " aku berpikir kembali.
"Kamu kapan pulang yank? " tanya dia.
"Nggak tahu. Kayaknya sulit banget mau pulang. Sudah terlanjur di sini, lagian aku sering lembur. " jawabku.
"Aku kangen tau. Sudah tiga bulan nggak ketemu" balasnya.
"Aku juga kangen, biasanya tiap weekend ketemu" jawabku dengan sedih.
"Kapan-kapan aku aja yang kesana. Biar kamu nggak kesepian " katanya.
"Bolehlah-bolehlah.. " kataku bercanda.
Sejak aku mulai bekerja, aku mulai hidup sendiri. Aku mengontrak sepetak kamar dengan kamar mandi dalam. Kamarnya cukup luas, mungkin itu juga keberuntungan ku. Ini untuk pertama kalinya aku tidur di kontrakan tanpa orang tua dan saudara. Awal pertama, tiap malam aku menangis sendiri di kamar. Aku merasa kesepian jauh dari orang tuaku. Namun, ada juga tetangga kamar sebelah yang seumuran denganku, namanya Fitri. Dia juga hidup sendiri dan pertama bekerja pula. Jadi aku sedikit merasa terhibur. Tak jarang kita saling berbagi cerita, saat kita libur kerja di hari yang sama. Fitri bekerja di swalayan besar yang ada di lingkungan sekitar. Jam kerjanya sistem shift, jadi agak sulit mencocokkan hari libur nya untuk keluar jalan bersama.
Selama tiga bulan ini, aku tidak bertemu dengan Agus, rasanya ada yang beda. Rindu sudah pasti, namun kita masih bisa melihat lewat video call Whatsapp. Terkadang aku bermimpi tentang nya. Namun, perhatian dan komunikasi kita membuat hubungan kita semakin dalam meskipun kita LDR.
Selama tiga bulan ini pula, dia seperti anak kecil, terlalu posesif terhadap ku. Kemanapun aku pergi selalu dia melakukan video call, hingga membuat ku merasa tak nyaman seperti tahanan kota. Mungkin karena takut kehilangan aku. Sejak kejadian di kafe, kita bertukar ponsel. Sampai saat ini, aku masih memakai ponselnya, begitu pula sebaliknya dia memakai ponselku. Sejak kejadian di kafe itu, aku tidak bisa menghubungi Agung. Namun, sebulan lalu Agung menghubungi ku lewat Facebook. Dia meminta nomor yang aku pakai sekarang, namun aku tak berani memberikan nomor ku. Aku mau menghargai hubungan ku dengan Agus. Tapi tak menampik, aku masih chatting dengan Agung lewat messenger. Terkadang kita juga melakukan video call saat Agus lembur bekerja. Agung tahu kalau Agus posesif, jadi kita hanya berhubungan ketika Agus sibuk. Aku mengira kalau aku sudah bersikap dewasa dengan memilih Agus, namun aku masih seperti anak yang serakah akan kasih sayang semua orang. Aku menginginkan perhatian dari Agung juga. Walaupun aku tahu dia masih mengharapkan ku. Dan walaupun aku juga menolaknya berkali-kali.
"Sibuk nggak. Aku kangen, mau lihat kamu sebentar saja. " isi pesan Agung padaku di messenger.
Setelah aku membuka messenger, langsung saja panggilan video darinya masuk.
"Ada apa? kok tiba-tiba telepon?" tanyaku.
"Kangen. suda lama nggak lihat wajahmu" katanya merayu.
"Sudah dapat pacar belum? tanyaku menggodanya.
" Kan kamu pacarku" jawabnya sambil tertawa.
"Tuh mulut asal bacot aja. " ucapku.
"Nggak mau ngakuin nggak papa. Emang cuma aku yang mengaku pacarmu." jawabnya.
Agung selalu saja seperti itu. Selalu membuat ku merasa bersalah karena telah menolaknya. Namun aku terbiasa dengan becandanya yang menggodaku.
Tak terasa sudah enam bulan aku bekerja, aku sudah mulai terbiasa dengan pekerjaanku. Tak seperti tiga bulan lalu yang aku merasa sesak saat bekerja dan terus-terusan ingin mengajukan resign dalam pikiran ku. Hubungan ku dengan Agus masih berlanjut, sering sekali kami bertengkar. Mungkin pertengkaran kami karena cemburu nya, aku memakluminya karena kami sedang melakukan LDR. Tapi sikap posesif nya terkadang membuat ku sesak. Hingga aku berpikir untuk putus dengannya.
Aku yang sering sekali menghubungi Agung, kini mulai berpikir, apakah aku harus memilih Agung?
Pikiran itu selalu muncul saat aku bertengkar dengan Agus.
Suatu hari aku dan Agus benar-benar bertengkar hebat di telepon. Aku merasa posesif nya sungguh keterlaluan, karena saat itu aku sedang bersama teman-teman kantorku untuk makan malam bersama. Dan Agus selalu menelpon ku,dan terus mengirimiku pesan untuk menyuruh ku cepat pulang. Sedangkan tak mungkin aku pulang duluan. Makan malam itu adalah makan malam untuk merayakan ulang tahun salah satu teman kantor. Itu juga membuat ku bisa akrab dengan teman lainnya untuk pertama kali aku bekerja. Setelah makan malam selesai aku segera menelpon Agus dan marah terhadapnya. Aku menjelaskan kalau posesif nya menggangguku. Ada kalanya aku juga ingin bersenang-senang dengan lainnya. Aku juga bosan kalau pulang kerja langsung pulang gitu saja. Toh, selama ini aku juga menuruti kemauannya. Untuk kali ini aku berontak dan tanpa sengaja aku mengucapkan kalimat "aku ingin putus" di akhir teleponku dengannya.
Setelah itu, aku menyesal dan menangis semalaman.. Aku juga membuat kata-kata sedih di halaman Facebook ku. Mungkin Agung membacanya sehingga dia mengirimiku pesan,.
"jangan sedih. lagi bertengkar ya?" tanyanya dengan stiker peluk.
"Iya. posesif nya sudah keterlaluan. " jawabku.
"kalau sudah nggak kuat, sini sama aku saja. " balasnya mengharapkan ku.
Seperti biasa aku tak membalas. Hal itu membuat ku merasa semakin menangis.