Chereads / As A Princess (Indo Version) / Chapter 9 - 9. Ada Yang Cemburu

Chapter 9 - 9. Ada Yang Cemburu

"Mengapa kau bertanya tentang air putih, puteri? Ada apa?" Tanya Elie yang merasa bahwa Ariadne menyimpan sesuatu hal.

Ariadne langsung menggelengkan kepalanya. Melanjutkan aktivitas menyulamnya yang belum selesai. "Tidak apa-apa Elie. Aku hanya melihat air yang tumpah dari gelas besi itu. Aku hanya ingin bertanya saja."

"Ah, begitu."

"Iya."

Elie tersenyum ketika mengetahui gerakan tangan Ariadne yang semakin lihai menyulam. Gadis itu menyulam benang yang membentuk huruf 'A'.

"Mengapa kau menyulam sebuah huruf?" Tanya Elie.

"Hanya ingin saja. 'A' untuk namaku."

"Yang benar saja, tidak untuk pangeran Avery kan?" Tebak Elie.

Wajah Ariadne menegang. "Elie, apa aku sangat terlihat jelas menyukai Avery?"

"Tentu saja, puteri." Jawab Elie dengan terkekeh pelan. "Apa kau mencintainya?" Tanya Elie.

Ariadne mengedikkan kedua bahunya. "Aku tidak tahu. Tapi begitu dia menciumku kemarin malam, rasanya itu tidak bisa aku lupakan."

"Apakah itu ciuman pertamamu?"

Ariadne mengangguk. "Tentu saja, sebelumnya aku tidak pernah berciuman dengan siapapun."

"Aku melihatmu kemarin malam." Ujar Elie dengan menahan senyumannya.

Ariadne cemberut. "Sudah kuduga, Elie. Kau selalu bisa menemukanku."

"Apakah kau benar-benar suka padanya?"

"Aku tidak tahu, Elie. Kau tahu sendiri kalau aku belum berpengalaman mencintai seseorang. Jujur saja sekarang yang ada di dalam pikiranku adalah Avery."

"Tapi kemarin malam ia tidak sopan." Ucap Elie.

Ariadne mengernyitkan keningnya. "Tidak sopan? Bagian mana yang tidak sopan?"

"Pangeran Avery berlari meninggalkanmu begitu saja dan pulang. Lelaki yang baik akan pamit terlebih dahulu. Bukannya meninggalkan begitu saja."

"Oh ya? Apakah dengan begitu berarti pangeran Avery bukan lelaki baik?"

"Aku juga tidak tahu, puteri. Namun, lelaki yang baik akan menunjukkan sikap yang baik pula."

Ariadne mengangguk paham. Perkataan Elie memang ada benarnya. Pasalnya, Avery kemarin malam langsung berlari begitu saja. Mungkin, lelaki itu menahan rasa malu karena sudah menciumnya. Mengingat hal itu, membuat kedua pipi Ariadne langsung bersemu merah. Rupanya, menyukai seseorang rasanya sangat mendebarkan di dada.

***

Sesuai dengan pernyataan Ariadne kemarin, gadis itu kini terbebas berjalan sendirian menuju jembatan air terjun. Jembatan air terjun yanh dimaksud Ariadne berada di samping lahan tanaman kerajaan. Jaraknya hampir satu kilometer. Dan tentu saja Ariadne berjalan kaki dengan santai sambil menikmati angin sore.

Darian memang tidak terlihat sama sekali satu hari penuh. Ariadne tidak bertemu dengan pengawalnya itu sama sekali. Pantas saja seharian tadi Elie yang berada di sampingnya.

Selama Ariadne pergi ke jembatan air terjun, Elie diijinkan untuk melakukan hal yang disukai. Elie paling suka mandi dengan waktu yang lama. Berendam dengan banyak busa dan kelopak mawar. Jadi sekarang Ariadne benar-benar bebas dari pengawasan Elie.

Langkah kaki Ariadne berhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Kedua matanya terpukau melihat pemandangan sekitar yang sangat asri. Banyak burung-burung beterbangan. Dan di bawah jembatan itu mengalir air tawar yang bening. Letak air terjun terlihat dari jembatan.

Suara air terjun juga membuat Ariadne merasa semakin nyaman berdiri di sana. Di sini matahari baru terbenam sekitar pukul tujuh malam, atau bisa lebih.

Ariadne merasakan kedua tangan kekar melingkar di perutnya. Itu tangan Avery. Pangeran dari kerajaan mutiara itu memeluk puteri Ariadne dari belakang. Avery mengecup leher Ariadne yang terbuka.

"Sudah berapa lama di sini?" Tanya Avery.

"Aku baru saja sampai." Jawab Ariadne yang matanya terpejam menikmati ciuman kecil di lehernya.

"Aku kira kita batal bertemu." Ujar Avery menebak-nebak.

"Kenapa?"

"Biasanya Elie akan melarangmu banyak hal. Apakah sekarang tidak?"

Ariadne terkekeh pelan. "Umurku sudah tujuh belas tahun, Avery. Elie tidak akan banyak melarang lagi. Lagi pula aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk untukku."

"Baiklah.. mau naik kuda denganku?"

Ariadne membalikkan badannya. Menatap kuda putih milik Avery yang terlihat sehat dan gagah. Kuda putih itu memakai kalung, di kalung tersebut terukir nama 'Sparrow'. Ariadne membelai bulu kuda tersebut dengan pelan.

"Namanya Sparrow?" Tanya Ariadne.

Avery mengangguk. "Iya. Aku bertemu dengannya di gereja. Saat itu dia dikelilingi banyak burung gereja seperti saling berbicara. Dan aku langsung membelinya dari sang pemilik. Kupanggil saja dia Sparrow."

"Apa dia tidak marah jika aku naik?"

"Tidak, karena kamu naik bersamaku." Ujar Avery dengan mengulurkan tangannya pada Ariadne. Bermaksud membantu Ariadne untuk menaiki kudanya.

Ariadne tersenyum. Dengan senang hati ia memegang tangan Avery dan kakinya berpijak pada sanggurdi. Kemudian ia berhasil duduk menyamping di ujung pelana kuda. Dengan cepat Avery juga langsung naik di belakang Ariadne.

Kedua tangan Avery yang kekar itu mulai mengendalikan tali kuda. Tubuh Ariadne merasa sangat hangat. Posisinya membuat Avery memeluknya dari belakang.

"Mau ke mana?" Tanya Avery.

"Aku ingin mendekati air terjun."

Avery langsung menuruti permintaan Ariadne. Mengendalikan kudanya untuk berjalan ke arah air terjum berada. Menembus angin sore yang terasa hangat di kulit mereka berdua.

Ariadne tidak peduli pukul berapa nanti ia akan kembali ke istana. Yang pasti sekarang ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan Avery.

'Ibu, andai kau mengetahui diriku yang sekarang. Apakah ibu akan senang? Kini aku sedang menyukai seseorang.' Ucap Ariadne dalam batinnya.

***

Tepat pukul delapan malam di mana langit sudah gelap, Avery baru saja menurunkan Ariadne dari kudanya. Ariadne meminta untuk diturunkan lagi di jembatan yang tadi.

"Apa tidak apa-apa kau kembali sendirian, puteri?" Tanya Avery. Tatapannya terlihat gelisah membiarkan kekasihnya berjalan sendirian dalam gelap.

Ariadne menggeleng. "Tidak apa-apa. Pulanglah." Ujarnya.

Avery menuruti permintaan Ariadne. Lelaki itu langsung menunggangi kudanya lagi dan langsung meninggalkan Ariadne sendirian.

Dengan berjalan sangat santai, Ariadne sudah melewati jembatan. Namun, lelaki bertubuh tinggi dengan menunggangi kuda coklat berhenti di hadapannya.

"Darian?" Tanya Ariadne tidak percaya.

Darian turun dari kuda dengan lompat. "Aku disuruh ibuku untuk menjemputmu." Ucapnya.

Dan akhirnya keduanya menaiki kuda Darian. Ariadne ada di depan Darian dengan duduk menyamping. Bagi Ariadne posisi seperti ini sangat canggung. Padahal mereka sering melakukan berkuda berdua.

"Mengapa kau bertemu pria itu, puteri?" Tanya Darian.

"Pria itu? Jadi kau mengetahui aku bertemu dengan Avery? Dia punya nama, Darian. Tidak pantas kau menyebutnya seperti itu." Tegas Ariadne.

"Aku tidak suka kau bersamanya."

"Memangnya apa hakmu?"

"Aku pengawalmu." Tegas Darian.

Ariadne tersulut. "Kau hanya pengawal. Avery kekasihku. Untuk apa kau berani melarangku?!"

Wajah Darian memerah mendengar perkataan Ariadne. Kekasih? Ah, rasanya Darian ingin memukul wajah Avery sekarang juga.

"Seorang kekasih tidak akan pernah membiarkan kekasihnya pulang sendirian di jalan yang gelap." Ujar Darian.

Kini Ariadne yang terdiam mendengar perkataan dari Darian itu. Ucapan Darian benar. Tadi Avery langsung pergi begitu saja ketika ia suruh pergi. Setahu Ariadne, seorang kekasih juga tidak akan rela kalau kekasihnya tidak diantar pulang dengan aman.

***