Avery melepaskan jasnya dan ia pakaikan ke punggung Ariadne. "Sampai jumpa besok, aku pamit." Ucapnya dan Avery pergi begitu saja.
Sedangkan Elie langsung bersedekap dada ketika menemukan Ariadne yang termenung di kursi taman. Rambut Ariadne cukup berantakan dan mahkotanya miring. "Tidak bisakah kamu tidak mencuri waktu berdua dengan pangeran Avery? Bagaimana kalau ada yang melihat kalian?" Tanga Elie dengan perasaan yang sedikit kesal.
"Oh tidak, kau tahu aku ke sini dengan Avery?" Tanya Ariadne terkejut.
"Aku tidak pernah mengajarimu untuk bersembunyi, puteri. Dan jangan kau ulangi lagi setelah ini. Jaga kehormatanmu sebelum kamu menikah." Tegas Elie.
"Baiklah.. baiklah.. tidak akan lagi."
"Bagus. Mari kuantarkan ke kamar. Istirahatlah yang cukup. Besok aku akan mengajarkanmu cara menjahit."
"Apa? Menjahit?"
"Elie, aku lebih suka melukis dari pada menjahit. Kumohon, aku tidak mau jariku tertusuk jarum lagi."
"Tidak ada penolakan, puteri. Kamu harus bisa pandai menyulam. Besok kau akan sangat sibuk, puteri."
"Bisakah aku terbebas dari kesibukan itu sejak pukul enam sore?" Tanya Ariadne.
"Untuk apa?"
"Ah, mataharinya di jam tersebut langat bagus. Aku ingin berjalan-jalan setelah mandi sore."
"Baiklah, besok kutemani.."
"Ah, tidak tidak.. tidak usah. Aku ingin berjalan-jalan sendiri. Bebaskan aku beberapa menit tanpamu. Rasanya aku terkekang." Sungut Ariadne merasa sebal.
Elie akhirnya menganggukkan kepalanya. Mengijinkan sang puteri untuk sejenak terbebas dari pengawasannya. "Tapi aku meminta satu hal, puteri." Ujar Elie.
"Apa itu?"
"Jangan berani-berani melakukan hal ceroboh. Kalau sampai kau kenapa-napa, aku tidak akan memaafkanmu dan tidak akan mengijinkanmu keluar tanpa pengawal."
Mendengar itu Ariadne menghembuskan napasnya yang terasa berat. "Baiklah Elie, kau sangat cerewet sekali."
"Ini sudah malam. Sebaiknya kau segera masuk ke kamar, puteri."
"Iya. Aku bisa sendiri." Ujar Ariadne yang beranjak dari duduknya. Mengeratkan pegangannya pada jas milik Avery yang ia pakai untuk menghangatkan badan. Mungkin, Ariadne tidak akan melepaskan jas itu sampai esok hari.
***
Pagi hari, rutinitas Ariadne seperti biasanya. Gadis itu mandi di jam subuh dan sudah cantik ketika jam menunjukkan pukul enam pagi. Ariadne sekarang mandi sendiri, hanya pada saat berpakaian ia selalu dibantu para pelayan kerajaan.
Selesai mandi, hal yang pertama Ariadne lakukan sesudah sarapan adalah pergi ke aula kerajaan. Untuk mengerjakan berkas-berkas yang perlu disetujui. Dan juga rapat dengan menteri kerajaan dan penasehat kerajaan.
Setelah seselai melakukan kegiatannya di aula kerajaan, Ariadne digiring oleh Elie menuju ruang jahit. Ruangan tersebut sangatlah luas. Ada banyak jendela terbuka di sisi kanan dan kiri. Di bagian tengah ruangan ada semacam sofa empuk yang beralaskan permadani bundar yang megah.
"Elie, aku sudah bilang padamu. Aku tidak bisa menyulam. Apapun akan aku lakukan, kecuali bidang menjahit." Keluh Ariadne yang enggan melangkah menuju sofa tersebut.
Elie mendecakkan lidahnya. "Ayolah, puteri. Kamu sudah berumur tujuh belas tahun. Kamu harus menguasai banyak hal."
Bibir Ariadne cemberut. Namun ketika melihat wajah Elie yang tidak marah, Ariadne langsung duduk di atas sofa. Wajah Elie terlihat lelah setiap kali selesai menemani Ariadne atau membimbing Ariadne. Perempuan itu sangat setia ada di samping Ariadne sejak orang tua Ariadne meninggal tujuh tahun yang lalu.
Kadang kala Ariadne juga tidak tega membantah atau membangkang pada Elie. Ariadne akan menurut dengan sendirinya ketika tahu usaha keras Elie untuk mengajarinya sesuatu sangat berat. Elie sudah seperti ibunya sendiri.
Setelah semua jari Ariadne diberi tudung jari, Ariadne mulai menyulam. Kali ini terserah ia menyulam apa. Yang terpenting Elie sedang mengawasinya.
"Elie, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tanya Ariadne sambil tetap menyulam.
Elie mengangguk. "Boleh saja, puteri."
"Mengapa kau tidak lelah setiap hari ada untukku? Apa kau tidak ingin terbebas sejenak dariku? Rasanya kau sudah seperti ibuku sendiri. Jadi, ketika melihat kau kelelahan aku tidak berani membantahmu."
Elie terharu mendengar apa yang dikatakan Ariadne. Ia rasa Ariadne kini sudah semakin dewasa saja sikap dan sifatnya.
"Apa yang kulakukan ini karena pesan yang disampaikan ratu padaku."
Ariadne sedikit terkejut. "Ibuku sempat bicara denganmu?"
Elie menganggukkan kepalanya. "Iya. Ratu pada saat itu masih bisa bicara padaku. Sedangkan raja sudah tidak ada lebih dulu."
"Ibuku bilang apa?"
"Ratu memintaku untuk menjagamu dengan baik. Beliau memberikan surat wasiat berisi tahta kerajaan yang diberikan kepadamu sepenuhnya."
"Apakah hanya itu? Tidak ada pesan untukku, Elie?"
"Ada."
"Apa?" Tanya Ariadne dengan cepat.
"Ratu hanya pesan, jadilah seorang puteri yang bijaksana dan berani. Tumbuhlah dengan baik dan jagalah dirimu sendiri." Ujar Elie dengan lembut.
Gerakan tangan Ariadne berhenti. Mendengar apa yang Elie jelaskan rasanya sudah cukup mewakili segala perasaannya saat ini. "Apa itu benar Elie?"
"Aku tidak akan pernah berani berbohong padamu, puteri."
"Aku hanya bertanya. Karena saat situasi itu hanya kamu yang mengetahui bagaimana orang tuaku meninggal."
Elie tersenyum tipis. "Aku menuju kamar raja dan ratu saat mendengar bunyi napas yang sesak. Dan ratu membanting sebuah gelas besi untuk memberi isyarat bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Dan ketika aku masuk, raja memang sudsh tidak ada. Hanya ratu yang masih bisa berbicara."
Ariadne menitikkan air matanya. Andai saja waktu itu ia sudah dewasa pasti ia akan langsung berada di samping Clemmie. Tapi Ariadne tahu satu hal, orang tuanya tidak meninggal karena sakit. Tapi karena racun.
Tujuh tahun yang lalu, Ariadne melihat isi tumpahan dari gelas besi yang Clemmie lempar di samping tempat tidur. Bekas airnya diminum oleh kawanan semut, dan dalam beberapa detik semut-semut itu mati begitu saja.
"Elie, isi gelas besi yang dilempar ibuku berisi apa?" Tanya Ariadne.
Elie mengernyitkan dahinya. Perempuan itu berpikir sejenak sambil berusaha mengingat. "Air putih. Ratu selalu menyediakan air putih di samping tempat tidurnya. Ia mudah kehausan dan terbangun saat tengah malam."
Kini Ariadne benar-benar yakin bahwa itu adalah racun. Bukan air putih biasa. "Siapa yang biasanya mengantarkan air putih pada ibuku?"
"Meghan, bersama dengan para pelayannya." Jawab Elie dengan jujur.
Kedua mata Ariadne menyipit. Rasanya detak jantungnya berpacu dengan cepat. Apakah pelakunya Meghan? Untuk apa Meghan meracuni orang tuanya? Kalau ingin merebut tahta, mengapa Ariadne tidak Meghan racuni saja sekalian?
Napas Ariadne agak memburu. Kebenaran-kebenaran yang ia ketahui secara perlahan terkumpul. Ariadne harus bisa dengan segera menemukan dalang dibalik pembunuhan orang tuanya.
Ariadne tidak akan menyerah. Kalaupun Ariadne disuruh perang sekalipun, akan Ariadne jamin ia siap menghujamkan pedangnya pada orang jahat. Sekalipun orang tersebut orang yang ia cintai, Ariadne rela membunuhnya jika orang tersebut memang terbukti jahat.
*****