"Duduklah di sini, pangeran Avery. Aku akan menyiapkan Puteri Ariadne untuk bersiap." Ucap Elie sambil menunduk sopan.
Avery menganggukkan kepalanya. "Baiklah, lanjutkan saja."
Darian hanya mendecakkan lidahnya dengan tatapan kesal. Lelaki itu langsung berjalan ke arah lain. Ingin meninggalkan Avery sendirian bersama satu pengawal yang masih mengikuti pangeran itu.
"Darian." Panggil Elie dengan suara tegas. "Temanilah pangeran Avery. Ajaklah ia berbincang banyak hal. Dia pangeran dari kerajaan mutiara, tidak seharusnya kau bersikap acuh."
"Aku hanya ingin pergi berkuda."
"Ini sudah sore. Kepalaku ingin pecah ketika kau membantah. Temani pangeran Avery!" Ujar Elie.
Darian akhirnya hanya bisa menuruti perintah Elie dengan terpaksa. Lelaki itu lantas berdiri di samping tempat duduk yang Avery tempati.
"Duduklah. Bukankah kita seumuran?" Tanya Avery tanpa menatap Darian. Sementara Elie sudah berlalu pergi untuk ikut memandikan puteri Ariadne.
Darian bergeming. Perasaannya sangat kesal ketika dengan sok gagahnya Avery menawarinya untuk duduk bersebelahan.
"Kau bukan pengawalku. Jadi duduklah saja." Perintah Avery.
"Mengapa kau ke sini?" Tanya Darian yang akhirnya memilih duduk.
"Aku hanya ingin melihat keadaan Ariadne."
"Bohong."
Avery tersenyum tipis. "Kau pandai sekali membaca sikap orang."
"Terlihat dari wajahmu, Avery."
"Ya. Aku disuruh orang tuaku ke sini. Mereka ingin aku dekat dengan Ariadne."
"Untuk apa?" Tanya Darian.
"Untuk bisa bekerjasama. Menyatukan kerajaan berlian dengan kerajaan mutiara."
"Umur puteri Ariadne masih kecil. Apa kau gila ingin menikah di umur tiga belas tahun?"
"Aku tidak bilang kalau aku ke sini untuk mengajak Ariadne menikah. Itu bisa dipikirkan tujuh tahun lagi." Ucap Avery.
"Puteri Ariadne tidak akan sebodoh itu untuk menerima kerjasama dengan kerajaanmu."
Avery menatap Darian tajam. "Tunggu saja tujuh tahun kemudian." Ucapnya tegas.
***
Kini langit sudah mulai menuju gelap. Para burung beterbangan untuk kembali ke sarang mereka masing-masing. Mendominasi suara mereka yang terdengar indah di malam hari. Matahari benar-benar sudah terbenam ketika Ariadne kini sudah cantik dengan gaun mekarnya.
Entah ini gaun ke berapa yang Ariadne pakai. Yang pasti ia sering didandani dan digantikan baju oleh para pelayan kerajaan.
"Elie, apakah aku harus makan malam dengan pangeran Avery?" Tanya Ariadne dengan polosnya.
Elie yang duduk di bawah sambil melipat sprei itu hanya bisa tersenyum. "Bukankah tuan puteri sendiri yang menyetujuinya tadi?"
"Aku pikir dia akan pulang sebelum gelap. Aku tidak tahu kalau pangeran Avery ternyata menanti dengan sabar sampai jam makan malam tiba."
"Bukankah tuan puteri juga ingin memiliki teman? Maka bertemanlah dengan pangeran Avery." Ujar Elie memberi nasehat.
"Tapi dia laki-laki. Aku hanya ingin memiliki teman baru perempuan."
"Tenang saja. Pangeran Avery baik seperti Darian. Mereka seumuran."
"Tidak Elie, Darian dan pangeran Avery itu berbeda. Tidak bisa disamakan."
"Baiklah. Sesuka hatimu saja, tuan puteri. Aku akan ke dapur untuk segera menyuruh para pelayan menyiapkan meja makan. Tunggulah di sini, nanti aku akan memanggilmu ketika meja makan sudah siap."
Ariadne mengangguk patuh. Gadis kecil itu kembali menuju ke balkon kamarnya. Kebiasaannya saat ini adalah menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Sambil membayangkan dirinya bebas berlarian di luar sana bersama anak-anak warga yang lain. Namun hal itu tidak akan terjadi. Ariadne adalah Ariadne. Ariadne adalah seorang puteri kerajaan.
***
Ariadne memasuki ruangan makan dengan Elia yang berjalan di belakangnya. Ariadne sengaja didandani dengan mengenakan gaun malam mewah yang mekar dengan warna keemasan. Tentu saja dengan memakai sepatu kaca seperti cinderella.
Mahkota berlian yang ada di kepala Ariadne itu rasanya mulai agak mengganjal. Dan tentu saja mahkota itu tidak boleh lepas dari kepalanya, kecuali saat tidur dan mandi.
Ariadne duduk di kursi paling ujung. Sementara Avery berada di samping kirinya.
Hidangan makan malam kali ini sangat banyak dan mewah. Ada seekor ayam panggang utuh yang diberi banyak isian. Buah-buahan sangat lengkap. Ada kuah sup, daging sapi panggang, dan makanan berat lainnya.
Ada juga berbagai macam roti dan dessert. Seperti kue stroberi yang bentulnya bulat. Diatas kue itu ada banyak stroberi manis yang dicampur dengan buah leci. Sementara dessertnya ada kue keju, macaron, donat, agar-agar buah, dan cupcake.
Semua pelayan yang berjajar di sekitar meja makan langsung menunduk hormat. Menandakan mereka sudah selesai menyiapkan hidangan makan malam. Para pelayan tetap berdiri dengan setia, untuk berjaga-jaga jika Ariadne membutuhkan sesuatu.
"Terima kasih sudah mengajakku untuk ikut makan malam." Ujar Avery dengan sopan.
Ariadne tersenyum. Lebih tepatnya gadis itu pura-pura senang akan kehadiran Avery. "Sama-sama, pangeran Avery."
"Apa makanan kesukaanmu?" Tanya Avery penasaran.
"Yang paling kusukai adalah ayam panggang. Namun hanya bagian pahanya saja."
"Ah iya. Itu sangat enak dimakan. Kegiatanmu apa saja setiap hari, puteri?"
"Kemarin aku mengerjakan berkas. Namun aku tidak mengetahui isinya. Aku belum sepintar itu. Mungkin setelah ini aku akan diajari banyak tata krama oleh Elie."
"Itu bagus. Aku juga belajar tata krama di kerajaanku. Tentu saja yang mengajariku langsung adalah ayahku. Dia berkata, kelak aku akan menjadi seorang raja."
"Oh ya? Itu sangat mengagumkan." Ucap Ariadne.
"Tentu saja. Kau juga akan menjadi seorang ratu di kerajaan ini, puteri."
Ariadne hanya menanggapi perkataan Avery tersebut dengan tersenyum. Kemudian ia memilih untuk segera menyantap hidangan makan malam.
Kali ini Ariadne memilih memakan banyak kue. Elie yang berdiri di antara para pelayan itu tidak akan bisa mencegahnya. Ariadne hanya ingin memuaskan perutnya kali ini. Ia ingin memakan banyak kue yang rasanya manis.
Sementara Darian yang berdiri di samping Elie itu hanya bisa menghela napasnya berat. Tidak suka melihat Ariadne makan malam bersama Avery. Apalagi Avery makan dengan sangat lahap. Tidak menggunakan tata krama.
Detik selanjutnya Ariadne hanya bisa dibuat kesal. Tatapannya tajam ke arah Avery yang makan dengan berisik. Pangeran kecil itu makan dengan suara decak di lidahnya. Itu sangat mengganggu bagi Ariadne.
Apalagi dentingan pisau dan garpu yang Avery gunakan itu sangat berisik. Seperti tidak pernah diajari makan dengan gerakan yang pelan.
"Pangeran Avery, apakah kamu bisa makan dengan pelan? Bukankah katamu tadi sudah diajari tata krama?" Tanya Ariadne.
"Ah, maafkan aku. Rasa masakannya terlalu enak. Jadi aku hanya bermaksud makan dengan cepat. Baiklah, aku akan memelankan suara peralatan makanku."
Dan Ariadne hanya bisa menatap tajam lagi pada Avery. Pangeran kecil itu tetap saja makan dengan suara berisik.
"Pangeran Avery, bukan hanya peralatan makanmu yang berisik." Peringat Ariadne.
"Lalu apa?"
"Decakan lidahmu mengganggu telingaku." Ucap Ariadne dengan berani.
Sementara Elie yang mendengar itu hanya bisa menutup mulutnya. Tidak menyangka kalau Ariadne berani berkomentar dengan jujur. Sedangkan Darian, lelaki itu hanya bisa menahan tawanya. Senang sekali melihat Avery terlihat buruk di mata Ariadne.
***