Ariadne menangis sejadi-jadinya. Sedangkan Darian yang berdiri di depan pintu kamar Ariadne itu hanya bisa diam. Darian enggan untuk masuk, karena percuma jika ia masuk ke dalam kamar Ariadne pasti akan diusir secara langsung.
Isak tangis Ariadne memenuhi ruangan kamarnya yang sangat luas. Dengan kedua langkah kaki yang telanjang, Ariadne bergerak maju menuju ke balkon kamar. Memandangi keadaan istana dari atas. Menatap rumah-rumah warga yang berbentuk biasa saja.
Pandangan Ariadne kosong. Ia rindu Ayah dan Ibunya. Ariadne ingin sekali dipeluk Clemmie jika dirinya sedang rapuh seperti ini.
"Puteri, bolehkah aku masuk?" Tanya Darian dari luar kamar. Lelaki itu sedikit berteriak supaya Ariadne yang berada di dalam mendengar suaranya.
Dengan cepat Ariadne langsung menyeka air matanya. Gadis itu berlari kecil dengan gaunnya yang berat. Menuju pintu kamar dan membuka kuncinya. Terlihatlah Darian yang berdiri tegap di depan pintu dengan membawa nampan panjang berisi makan siang.
Darian mengikuti langkah kecil Ariadne menuju ke ranjang. Lelaki itu dengan cekatan langsung menata makan siang untuk Ariadne di atas meja makan kecil.
"Makanlah, aku akan menemanimu di sini sampai makanan ini habis." Ucap Darian.
Ariadne tidak menjawab, hanya menatap Darian dengan pandangan penuh selidik. "Apa kau disuruh Elie?" Tanyanya pelan.
"Iya. Ibuku tidak akan tega membuatmu kelaparan, puteri."
"Elie menyuruhku makan dengan tata krama. Aku hanya tidak mau. Ah, aku hanya belum siap belajar tata krama. Mengapa cara makan saja harus serumit itu?"
"Ibuku mengajarkanmu hal yang benar, puteri. Karena kamu adalah seorang tuan puteri di kerajaan ini. Ibuku bilang, setelah penobatan ini hari-harimu akan sedikit berat."
Ariadne terdiam, masih belum mengerti apa yang dijelaskan oleh Darian. Pikirannya masih pikiran anak-anak. Ariadne belum sedewasa itu untuk memahami situasinya sekarang. Yang Ariadne butuhkan adalah orang tuanya. Bukan Darian ataupun Elie. Ariadne ingin pergi saja dari istana ini.
"Sekarang kumohon makanlah makan siangmu, puteri. Ibuku berjanji akan membiarkanmu istirahat dulu hari ini."
"Benarkah?"
Darian mengangguk. "Iya. Ibuku tidak akan menemuimu untuk hari ini. Dia sedang disibukkan dengan mengurus dapur dan para pelayan bersama Meghan."
Kemudian Ariadne tersenyum. Kedua tangan kecilnya itu langsung bergerak untuk mengambil sendok dan garpu. Kemudian Ariadne makan dengan tenang dan Darian tetap berdiri tegap di samping ranjangnya.
Makan siang Ariadne kini ada seekor ayam panggang madu, salad sayur, irisan buah apel, dan roti gandum. Sedangkan minumannya ada susu segar.
Selesai makan, Ariadne memilih untuk tidur siang. Menenangkan segala isi pikirannya yang masih labil. Darian juga kembali lagi ke kamar Ariadne. Tentu saja Darian tetap berdiri tegap di samping ranjang Ariadne. Menjaga sang puteri yang tidur nyenyak siang itu.
***
Keesokannya di pagi hari tepatnya saat subuh, para pelayan sudah berjajar rapi untuk membangunkan Ariadne dan memandikan gadis itu.
Dan tepat jam enam pagi, Ariadne kini sudah cantik dengan gaun mekarnya yang berat. Dan sangat ketat sekali di bagian dada sampai ke pinggang. Rupanya para pelayan kalau memakaikan baju, bagian tali punggung sangat ditarik sampai ketat. Membuat Ariadne sedikit sulit memompa napas.
Ariadne duduk di kursi kerjaan yang mewah. Di hadapannya sudah terpampang meja kayu dengan banyak berkas di atasnya. Tersedia stempel kerajaan dan juga pena bulu dan tinta hitam. Semua ini harus diapakan? Apakah Ariadne disuruh menggambar sesuatu?
Hendak saja tangan Ariadne akan mencoret satu kertas yang berisi sebuah permintaan dengan kalimat sopan, Elie mencegahnya. "Bukan seperti itu, puteri." Ujarnya tegas.
"Lalu seperti apa? Apakah aku disuruh menggambar?"
Elie menggelengkan kepalanya. "Tidak. Semua ini adalah berkas-berkas yang ingin disetujui. Semua ini adalah berkas berisi permintaan pemasokan barang dari para warga. Ada yang berisi persetujuan kerjasama antar kerajaan. Juga ada surat dari menteri untuk ijin pengiriman berlian dari tambang. Silakan menggunakan stempel dan menaburkan tanda tangan tuan puteri di sebelah kanan bawah. Itu jika tuan puteri menyetujui isi berkasnya."
Penjelasan Elie terlalu panjang. Ariadne merasa dirinya tidak mengerti sama sekali apa yang dimaksud Elie. "Apakah aku harus menyetujui semuanya?"
Elie tersenyum. "Tidak harus. Setujui saja apa yang menurut tuan puteri bagus untuk dijalankan."
"Baiklah. Aku paham." Ucap Ariadne.
Namun, ada sekitar satu sampai dua jam lamanya Ariadne tidak menggerakkan tangan untuk menandatangani satu berkas pun. Bahkan gadis itu belum selesai membaca satu surat saja.
Elie hanya bisa menonton dan menghembuskan napas panjangnya. Kalau tidak ada yang menandatangani berkas, sistem kerajaan tidak akan bergerak. Dengan cekatan Elie langsung memanggil penasehat untuk membantu Ariadne memahami isi berkas-berkas itu.
"Mengapa Bibi Ariadne tidak kamu beritahu saja untuk mengurus kerajaan?" Tanya Meghan ketika Elie baru saja kembali dari gedung utama istana.
Elie mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu Meghan?"
"Kenapa harus anak kecil itu yang mengerjakan semua berkas di singgasana itu? Kalau masih ada keluarganya, kenapa tidak keluarganya saja?"
"Meghan, aku tidak mengerti apa isi pikiranmu. Tuan puteri kita harus kita jaga di kerajaan ini. Jangan sampai kita berpikiran tidak waras seperti yang kau pikirkan sekarang."
Meghan terkekeh. "Oh, apakah aku tidak waras? Aku hanya tidak suka melihat perempuan kecil itu sok pintar dan sok berkuasa. Bukankah lebih baik yang memimpin kita adalah seorang yang berwibawa dan umurnya sudah sesuai?"
Elie bergeming. Kemudian memilih pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Meghan yang menurutnya tidak penting sama sekali.
Sebenarnya memang benar, Ariadne memang masih mempunyai seorang Bibi yang tinggal di Desa Hallstatt. Bibinya bernama Mary, dan perempuan itu memang sudah lama hidup secara terpisah dari keluarga kerajaan. Karena ternyata Mary bukanlah keturunan kerajaan sepenuhnya. Saat masih anak-anak Mary diangkat anak oleh orang tua Winston.
Namun Mary memilih dikeluarkan dari keluarga kerajaan karena tidak menyukai aturan kehidupan di sana. Alhasil, Ariadne tidak punya siapa-siapa lagi selain orang tuanya. Apalagi kalau orang tuanya sudah meninggal seperti sekarang, jadilah Ariadne yang berkuasa dan tahta Ayahnya jatuh pada Ariadne sepenuhnya.
"Elie, apakah bisa aku tidak mengerjakan ini? Kepalaku pusing sekali melihat banyak tulisan." Keluh Ariadne ketika Elia baru saja datang dengan seorang penasehat kerajaan.
Penasehat kerajaan itu menunduk sopan ada Ariadne. "Biarkan saya yang mewakili pekerjaan tersebut, puteri." Ucapnya sopan. Rambut penasehat itu sudah beruban banyak. Janggutnya juga sudah putih. Lelaki tua itu menunduk pada Ariadne, memohon untuk mengerjakan berkas kerajaan tersebut.
"Baiklah. Silakan saja. Aku ingin bermain di taman." Ucap Ariadne singkat dan hendak beranjak dari kursi.
Namun Elie menahan. "Tidak bisa, puteri. Tuan puteri harus berada di sini sampai penasehat selesai mengerjakan semuanya."
Dan Ariadne hanya bisa pasrah dan berusaha duduk tegap agar mahkota berliannya tidak jatuh.
*****