"Avery, setidaknya jangan jatuh cinta pada gadis biasa." Kata Eden dengan sangat serius.
"Tidak bisakah Ayah mengijinkanku menentukan pilihan untuk hidupku sendiri?" Avery bertanya dengan berani.
Eden menatap putranya dengan serius. "Ingat kerajaanmu sendiri! Ketika produksi mutiara kita krisis, kau akan berpegangan pada siapa?? Jika kau memiliki istri seperti Puteri Ariadne, ayah jamin kerajaan kita akan aman seumur hidup!! Camkan itu. Gadis biasa tidak akan bisa membantu menyejahterakan kerajaan kita Avery!!"
"Ayah, kau selalu saja bertindak semaumu. Kau tidak ingat apa yang terjadi di hari kemarin-kemarin? Kau menuntutku untuk selalu pergi ke kerajaan berlian sendirian. Kau memukuliku jika aku tak menurutimu. Kau juga akan memukul ibu jika ibu tidak menurutimu. Sebenarnya, kau seorang ayah atau bukan?"
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Avery. Lelaki itu meringis kesakitan karena rasa panas menjalar di pipinya. Tangan Eden masih saja main pukul dan terasa sangat keras.
"Turuti perintahku. Aku memang ayahmu, tapi aku di sini sebagai Raja!! Kalau kau tidak menuruti perintahku, silakan hidup di luar bersama gadis miskin yang kau maksud itu!!" Kata Eden sangat tegas.
Avery terdiam sambil memegangi pipi kirinya. Kedua matanya memanas begitu juga dengan wajahnya. Ternyata Eden masih sangat kejam padanya.
"Setidaknya, kau juga berkunjung ke kerajaan Berlian jika kau benar-benar ingin aku menikah dengan Ariadne!! Tunjukkan dirimu sebagai orang tuaku. Bukan hanya sebagai seorang Raja saja!!" Tegas Avery.
Perkataan Avery membuat langkah kaki Eden berhenti. Eden menoleh ke belakang dan menatap putranya lagi. Eden hanya diam dan tidak berbicara keras. Kemudian pria itu melanjutkan kedua langkahnya lagi untuk menuju ke dalam istana.
Avery langsung memukul pinggiran kursi besi di taman itu. Pukulannya berkali-kali sampai punggung tangannya berdarah. Eden memang tidak akan peduli dengan kehidupan Avery sedikitpun. Avery hanya ingin menikahi seorang gadis yang ia cintai.
Hari semakin malam dan Avery masih duduk di kursi taman. Lelaki itu hanya menunduk dan mengamati tangan kanannya yang sakit. Rasa sakit karena luka tidak sebanding dengan kisah buruk hidupnya.
Suasana kerajaan semakin sepi. Para pelayan juga menyudahi aktivitas mereka dan bersiap pergi ke kamar tidur. Hanya menyisakan para penjaga istana yang setia berdiri di setiap sudut dan gerbang kerajaan. Tidak ada suara apapun selain hanya keheningan. Bahkan burung hantu atau burung gagak tidak bersuara malam ini. Mungkin para burung itu pergi ke wilayah lain.
"Kau harus tidur, Pangeran."
Avery agak terkejut ketika mendengar suara itu. Ternyata Alice yang medatanginya ke taman.
"Ah, Alice. Kau mengagetkanku." Kata Avery sambil mengelus dadanya.
Alice tersenyum tipis dan langsung mengangguk sopan. "Maafkan aku. Aku diutus Ratu untuk mencarimu, Pangeran. Segeralah istirahat dan tidur."
"Ada apa? Ke mana ibuku?"
"Ratu Berenice sedang menemani Raja berdiskusi tentang jalannya produksi mutiara. Mereka masih berada di aula kerajaan bersama para menteri dan penasehat. Ratu tidak bisa menemuimu dulu, dan kau diutus untuk segera istirahat." Kata Alice menjelaskan dengan sangat hati-hati.
"Aku bukan anak kecil lagi. Aku akan tidur saat aku mau dan mengantuk."
Mendengar perkataan Avery, tentu saja Alice tidak berani membantah. Gadis itu mengangguk dan membungkuk sebagai rasa hormat. "Baiklah kalau begitu. Aku akan kembali ke kamar tidur para pelayan."
"Apa kau tidak ingin mengobatiku?"
Alice menoleh pada Avery. Gadis itu mengernyitkan dahinya. Apakah Pangerannya sedang terluka? "Ada apa Pangeran? Apakah kau terluka?" Alice bertanya dengan raut wajah yang panik. Langkah kaki gadis itu langsung menghampiri Avery lebih dekat.
Avery menunjukkan luka di punggung tangan kanannya. Darahnya masih keluar meskipun hanya sedikit.
"Astaga! Kau terkena apa pangeran?" Alice langsung memegang tangan Avery dengan hati-hati. Gadis itu terduduk di bawah karena Avery duduk di kursi taman.
"Aku memukul pinggiran besi kursi taman."
"Pangeran, jangan melukai dirimu sendiri. Baiklah aku akan mengambilkan obat beserta kain lembut."
Grep!
Tangan Alice ditahan oleh Avery. Gadis itu langsung terlihat gugup dan menundukkan kepalanya.
"Biarkan aku yang ikut denganmu, Alice."
Alice langsung menatap wajah Avery. Keduanya jadi bertatapan selama beberapa detik. Namun Alice langsung mengalihkan pandangannya. Bagi para pelayan, menatap wajah raja atau putra mahkota itu tidaklah sopan.
"Ah, biarkan aku saja yang mengambilkan obatnya."
"Aku saja yang ikut. Obati lukaku di dalam ruangan kosong seperti biasanya."
"Tapi ini sudah larut malam."
"Tolong turuti permintaanku, Alice." Kata Avery dengan sedikit memohon. Lelaki itu butuh teman bicara.
***
Sesuai perintah Avery, kini Alice dan Avery berada di dalam ruangan kosong yang jauh dari area kerajaan inti. Gedung ruangan kosong ini dekat dengan gedung dapur dan kamar tidur para pelayan. Namun letaknya sangat beda dan tidak akan ada yang tahu kalau di dalam ruangan kosong itu ada dua orang manusia.
Alice dengan lembut membasuh luka di punggung tangan Avery terlebih dahulu. Kemudian mengoleskan obat tetes dan membungkus tangan Avery dengan kain lembut yang khusus untuk membalut luka.
"Jangan melukai dirimu sendiri seperti ini, Pangeran." Kata Alice ketika selesai membalut luka Avery.
Avery menatap Alice. "Luka tidak sebanding dengan jalan hidupku."
"Aku tahu. Justru itu kau tidak boleh terluka. Kau sudah banyak memerangi hari yang buruk setiap hari. Maka dari itu janganlah terluka."
"Mengapa kau selalu ada di saat aku terluka Alice?"
"Karena ini tugasku, pangeran."
"Panggil saja namaku. Bicaralah santai denganku. Bukankah kau sudah lama merawatku?"
Alice tetap saja menunduk. Detak jantungnya berdebaran karena Avery berkata seperti itu. "Ah, aku hanya seorang pelayan. Aku bukan temanmu pangeran."
"Maka jadilah temanku." Kata Avery dengan mendongakkan dagu Alice dengan pelan. Membuat gadis di hadapannya menjadi lurus menatap dirinya.
Hampir saja Alice terbius oleh ketampanan Avery dan gadis itu ingin memalingkan wajahnya ke arah lain. Tapi Avery mencegah itu.
"Tataplah aku seperti seorang teman. Umurmu sama seperti puteri Ariadne. Bertemanlah denganku, Alice. Jangan terlalu formal saat hanya berdua denganku. Dan ini perintahku untukmu." Kata Avery dengan serius.
"Ah, baiklah jika itu maumu Pangeran."
"Sudah kubilang panggil saja namaku."
Alice menggeleng. "Aku tidak bisa. Kita akan berteman dan aku tidak akan bersikap formal lagi ketika kita sedang berdua. Tapi, aku tetap memanggilmu 'pangeran'."
Avery terkekeh kecil. "Baiklah jika itu maumu. Teman?"
"Teman." Alice terkekeh juga dan menyambut tangan Avery yang mengajaknya bersalaman.
Melihat Alice terkekeh, Avery sempat terpesona sejenak. Alice lebih cantik ketika tertawa dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Alice mempunyai dua lesung pipit di pipinya. Dan Avery baru sadar kalau Alice sangatlah cantik.
Dan baru kali ini Alice merasa lebih dekat dengan Avery. Sebelumnya, mereka berdua berbicara sangat terbatas saja dan canggung. Namun sekarang Avery ingin berteman dengan Alice. Hanya Alice yang bisa ia ajak bicara ketika kedua orang tuanya sibuk. Dan hanya Alice yang selalu berhasil membuat Avery tenang setelah menghadapi permasalahan apapun.
***